Oleh Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation*
Sesungguhnya bukan baru penafsiran yang mengatakan bahwa “kutukan” yang menimpa kaum Luth bukan disebabkan oleh hubungan sejenis atau homoseksual. Tapi lebih disebabkan oleh “gasb” (pemerkosaan) atau “ikraah” (pemaksaan) dalam hubungan.
Hubungan seksual yang bersifat pemerkosaan atau pemaksaan itu menjadi bagian dari “penolakan” ajaran Nabi Luth.
Kesimpulannya adalah kutukan Tuhan bukan karena liwaath (homoseksual). Tapi karena menolak ajaran Tuhan yang dibawa oleh Nabi Luth.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Untuk itu, penafsiran mereka mengatakan bahwa kutukan atau azab yang menimpa umat Luth adalah salah. Bahkan penafsiran itu justeru banyak dipengaruhi oleh paham literal nash-nash Al-Quran itu sendiri.
Ruh universal
Dalam upaya memahami Kitab suci Allah ada banyak hal yang harusnya menjadi perhatian. Bahasa, sejarah, konteks sosial budaya dan tatanan kehidupan masyarakat secara luas termasuk sektor politik ekokomi, dan lain-lain.
Tapi dalam upaya mengambil pemahaman atau kesimpulan apapun dari Kitab suci, dasar-dasar pijakan moralitas, atau yang saya ingin sebutkan sebagai “universal spirit” dari ajaran Kitab Suci wajib menjadi patokan. Apapun kecenderungan pemahaman itu jika bertolak belakang dengan ruh universal tadi maka pemahaman itu akan salah.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-20] Tentang Istiqamah
Sesungguhnya universal spirit Islam itu sesungguhnya ada pada lima “Maqashidus syariah”. Menjaga agama, kelangsungan hidup, menjaga akal sehat, kelestarian keturunan, dan kepemilikan.
Kelima tujuan dasar hukum Islam itu kemudian terimplementasikan dalam tiga aspek dasar ajaran Islam: Tauhid, ibadah, muamalat (akhlaqul karimah).
Hubungan Sejenis dan Syariah
Berdasarkan pemahaman sederhana tentang ruh universal dari ajaran Islam dengan sendirinya akan menolak ide perkawinan yang tidak sejalan dengan ajaran yang telah ditetapkan secara baku dalam Islam.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Ambillah sebagai misal perkawinan kontrak yang biasa disebut “nikah mut’ah”. secara ruh universal hal ini bertentangan karena ajaran Islam mengajarkan rumah tangga yang kuat, serta hubungan suami dan isteri digambarkan hingga ke syurga dalam banyak ayat-ayat Al-Quran.
Dengan demikian perkawinan dengan sekedar tujuan senang-senang (mut’ah) walaupun secara hukum syariah memenuhi syarat-syaratnya (saksi, mahar, ijab qabul, persetujuan wali), adalah tidak diterima secara Islam. Karena jelas perkawinan seperti itu bertentangan dengan ruh Islam secara universal.
Apalagi jika hubungan tersebut memang sacara tabiat tidak sesuai. Hubungan sejenis (homoseks) tidak saja berentangan dengan ruh universal Islam. Bahwa dalam hubungan seksual salah satu ruh terpenting di balik dari itu adalah menjaga hidup dan kelestarian keturunan.
Hubungan sejenis jelas menghancurkan kehidupan. Karena kecenderungan hubungan sejenis mengancam eksistensi keluarga. Bahkan lebih 50% penyakit AIDS dan HIV disebabkan oleh hubungan sejenis.
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Suka Sama Suka
Ada juga alasan yang mengatakan bahwa hubungan sejenis tidak dilarang agau dikutuk selama dilakukan secara suka rela. Menurutnya lagi kaum Luth diazab karena mereka cenderung untuk sodomi pendatang secara paksa (perkosa).
Argumentasi ini sangat gamang dan berbahaya. Sebab kriteria baik dan buruknya ditentukan oleh “persetujuan” dua pihak (suka sama suka) dan tidak memperhatikan sama sekali pertimbangan moral universal dari dari ajaran Islam tadi.
Apakah suatu saat akan menjadi sesuatu yang biasa jika hubungan seksual “pria wanita” bebas karena berdasarkan suka sam suka? Artinya di mata pendukung penafsiran “suka sama suka” aturan-aturan itu (nikah) sesungguhnya tidak perlu asal ada rasa suka sama suka.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Penafsiran ini sekali lagi sangat berbahaya. Karena target yang sesungguhnya bukan lagi “perkawinan sejenis”. Tapi hukum-hukum agama dan motal yang dianggap tidak lagi diperlukan. Yang penting dalam hidup ini adalah “human desire” (keinginan manusia).
Beristeri
Alasan terakhir yang disebutkan adalah bahwa kutukan terhadap kaum Luth itu terjadi karena para lelaki yang demikian itu (menginginkan) laki-laki telah beristeri.
Penafsiran ini juga sebuah kecerobohan dan cenderung dipaksakan. Ayat tersebut jelas mengatakan bahw “kenapa kamu cenderung mendatangi laki-laki padahal di antara kalian itu ada wanita-wanita”?
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Ayat itu jelas tidak menspesifikasi wanita-wanita itu sebagai isteri mereka. Justeru jika dipahami secara jeli dan rasional, yang disampaikan adalah antithesis dari “homo”. Yaitu hubungan hetero (pria wanita).
Tapi anggaplah penafsiran itu benar. Apakah itu kemudian menjadi justifikasi akan bolehnya mereka yang belum nikah untuk mendatangi sesama jenis?
Saya kira hanya akal terbalik yang akan membolehkan. Sebuah akal yang selalu terbawa arus derasnya gerakan “laa diiniyah” (sekularisme). Bahkan jangan-jangan orang belajar agama untuk menjadi pembela anti agama. Wal-iyadzu billah. (R05/P4)
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
*) Shamsi Ali adalah imam di Islamic Center of New York dan direktur Jamaica Muslim Center, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York, Amerika Serikat, yang dikelola komunitas Muslim asal Asia Selatan. Shamsi Ali aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan komunikasi antaragama di Amerika Serikat (terutama pantai timur).
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman