Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meluruskan Istilah-Istilah Seputar Idul Fitri

Widi Kusnadi - Selasa, 20 Juni 2017 - 21:01 WIB

Selasa, 20 Juni 2017 - 21:01 WIB

2107 Views

Oleh Widi Kusnadi, redaktur MINA

Idul Fitri (Lebaran) memang menjadi momen istimewa bagi jutaan umat Islam di seluruh dunia. Mereka merayakan hari yang dinanti-nanti itu setelah sebulan lamanya menahan lapar dan dahaga dengan puasa Ramadhan.

Di Indonesia, umat Islam merayakan lebaran dengan bermaaf-maafan antara saudara, kerabat, tetangga dan handai taulan. Bahkan, bagi para urban yang berada di kota-kota besar, mereka rela bermacet-macet ria dan mengantri tiket di bandara, stasiun kereta dan terminal bus untuk pulang ke kampung halaman (mudik).

Khususnya di Indonesia, ada beberapa istilah seputar lebaran yang perlu masyarakat ketahui bersama. Namun, bukan berarti mengurangi makna sakral dari idul fitri itu sendiri. Penulis yakin bahwa penggunaan istilah itu cukup difahami maksudnya saja, bukan berarti hal itu termasuk dalam kategori bid’ah atau sesat karena itu hanya peristilahan bahasa saja. Berikut adalah beberapa contohnya:

Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam

  1. Minal Aidin wal Faizin

Masyarakat Indonesia biasa mengucapkan Minal aidin wal faizin yang mereka artikan “mohon maaf lahir dan batin”. Sebenarnya ungkapan itu kurang tepat dengan konteks dan artinya. Dalam beberapa literarur disebutkan, kata minal aidin wal faizin diucapkan oleh para sahabat Rasulullah shallalahu alaihi wa salam untuk memberi ucapan selamat kepada mereka yang baru saja pulang dari sebuah peperangan.

Masyarakat Madinah mengucapkan selamat kepada pasukan yang datang dengan ucapan tersebut yang artinya selamat dengan kemenangan kalian. Baik yang pulang dengan selamat ataupun yang gugur di medan pertempuran tetap diberi ucapan selamat karena hakekatnya yang gugur juga telah mendapatkan kemenangan dengan memperoleh ampunan dan tempat mulia di sisi Allah yaitu surga.

Adapun para ulama Indonesia, tidak sedikit dari mereka yang menjelaskan bahwa Ramadhan merupakan bulan peperangan melawan hawa nafsu bagi umat Islam. Jadi, diibaratkan setelah Idul Fitri tiba, umat Islam beru saja kembali dari medan laga setelah berperang melawan hawa nafsunya sendiri.

Menurut hemat penulis, sah-sah saja jika ada yang berpendapat demikian dan kita harus menghormatinya sebagai sebuah ijtihad dalam memahami sebuah peristiwa, namun kita belum menemukan literatur dan sejarah yang menunjukkan Nabi Muhammad saw, sahabat dan tabiin mengucapkan minal aidin wal faizin pada hari raya Idul Fitri.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal

Sebagai sebuah ijtihad, penulis berpendapat hal itu bukan merupakan hal yang tercela. Jadi silahkan saja dipakai, asalkan bukan menjadi sebuah keyakinan dan keharusan untuk mengucap yang demikian dalam silaturahim dan bermaaf-maafan.

Namun, perlu pembaca ketahui bahwa minal aidin wal faizin itu artinya bukan mohon maaf lahir dan batin, tapi arti yang lebih tepat adalah “selamat atas kemenangan kalian karena telah kembali dari peperangan besar”

Penulis menemukan ada beberapa istilah di Indonesia yang dipahami kurang tepat oleh masyarakat awam. Namun karena hal itu sudah umum digunakan, semua jadi faham dengan sendirinya. Contoh kata welcome yang ditulis di sebuah keset. Maka orang akan memahami bahwa bahasa inggrisnya keset itu welcome. Padahal itu berbeda sama sekali.

Contoh lain, di setiap pombensin (SPBU) ada tulisan No Smoking, maka masyarakat awam memahami bahwa bahas inggrisnya pombensin itu No smoking. Kan jauh banget sama arti sebenarnya.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Taqabbalallahu Minna wa Minkum

Dari hasil penelusuran penulis, Rasulullah Muhammad  tidak memberi contoh ucapan secara khusus untuk hari raya idul fitri, namun kami mendapati dari perkataan para sahabat. Dari Jubair bin Nafir, ia katanya:”Apabila sahabat-sahabat Rasulullah saw. bertemu pada hari raya, maka mereka saling mengucapkan ‘Taqabbalallahu minna waminkum’ artinya ‘Semoga Allah menerima amal kami dan amalmu’.”

Dalam kitab Al-Hawi (1/82), Imam Suyuthi berkata : Ibnu Hibban telah mengeluarkan dalam kitab Al-Tsiqot dari Ali bin Tsabit, ia berkata : Aku bertanya kepada Malik tentang ucapan orang-orang pada hari raya : Taqabbalallahu minna waminka. Beberapa shahabat menambahkan ucapan shiyamana wa shiyamakum, yang artinya puasaku dan puasa kalian. Jadi ucapan ini bukan dari Rasulullah, melainkan dari para sahabat.

  1. Halal bi Halal

Halal bi halal memang berasal dari bahasa arab, tapi kalau kita ke negara Arab dan berkomunikasi dengan penduduknya, lantas kita mengucapkan kata itu ketika idul fitri kepada mereka, dijamin mereka tidak akan memahami maksud kita.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Istilah halal bi halal dalam dunia Arab biasa dipakai dalam dunia jual beli, ketika calon pembeli akan mencicipi makanan yang akan dibeli, biasanya mereka bertanya kepada penjualnya, halal?

Jika penjual mengatakan halal, maka dia akan mencicipi makanan itu, tanpa harus membayarnya.

Atau dalam suasana lainnya, misalkan kita mau meminjam barang (contoh : sepatu) kepada teman, lalu kita bertanya, halal? Jika pemilik barang mengatakan halal, maka kita bisa meminjamnya sampai waktu yang disepakati.

Nah, yang dianggap aneh oleh orang-orang Arab ketika ada laki-laki dan perempuan yang bertemu di suatu tempat atau acara kemudian mereka mengucapkan halal bi halal, maka asumsi mereka tentu menjurus kepada-hal-hal yang berbau mesum.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Namun, ungkapan itu tentunya bukan sesuatu yang terlarang, sepanjang masing-masing pihak memahami maksudnya dan lantas tidak melakukan perbuatan maksiat. Lagi-lagi di sini berhubungan dengan kearifan lokal di masing-masih daerah atau negara.

Memang kita tidak bisa memaksakan orang lain harus memahami atau menerima kebudayaan suatu daerah atau sebagaimana kita juga tidak diwajibkan menerima dan memahami kebudayaan dan adat istiadat daerah lain. Tetapi jika kita memasuki daerah tersebut, atau bahkan tinggal di sana, maka kita harus menerima dan mengikuti kebidayaan setempat.

Biarlah halal bi halal itu menjadi budaya khas masyarakat Indonesia dengan tetap menghormati kebudayaan dan adat istiadat daerah/ negara lain.

Sebagai kesimpulan, masyarakat Indonesia perlu mengetahui peristilahan dalam tata bahasa Arab, dalam konteks maupun artinya. Akan tetapi jika hal itu tidak bertentangan dengan syariat dan merupakan kearifan budaya lokal, maka hal itu tidak mengapa dilakukan.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Semoga di hari raya Idul Fitri 1438 ini kita mendapat limpahan rahmat dan ampunan di sisi Allah SWT. Selamat hari raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin, taqabbalallahu minna wa minkum, shiyamana wa shiyamakum ajma’in. (P2/RS3)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

 

Rekomendasi untuk Anda