Oleh: Jason Gutierrez, Al Jazeera
Satu tahun setelah oposisi bersenjata Muslim mengepung kota pelabuhan Zamboanga, Filipina Selatan, penderitaan dan kematian terus menghantui puluhan ribu pengungsi perang yang berjuang membangun kembali kehidupan mereka yang hancur.
Lebih 100.000 orang melarikan diri ketika anggota “nakal” dari Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) mengambil alih sebagian kota Zamboanga tahun lalu. Sekitar setengahnya tetap tunawisma, banyak dari mereka berdesakan di lokasi evakuasi dan tempat penampungan sementara yang kumuh.
Pekerja bantuan mengatakan, air dan sanitasi menjadi masalah utama, dan ancaman wabah penyakit adalah bahaya yang selalu ada.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Bagi Jubaira Arsad, seorang nenek 54 tahun, setiap hari dia harus berjuang terus-menerus untuk menghidupi keluarganya sebanyak 16 orang, berbagi tempat di penampungan darurat yang terbuat dari kayu, terpal dan atap seng dengan ukuran tidak lebih besar dari garasi kendaraan.
Arsad mengatakan, ia dan keluarganya melarikan diri dari rumah mereka di pantai, ketika pejuang MNLF menguasai masyarakat, mengambil puluhan sandera dan kemudian menghancurkan lebih dari 10.000 rumah.
Setelah tiga hari berjalan dan tidur di jalan, keluarganya mencari perlindungan di stadion olahraga utama kota ini, yang pada saat itu telah berubah menjadi tempat penampungan darurat utama.
“Kami melarikan diri dengan hanya pakaian kami. Kami harus membawa suami saya yang sakit-sakitan,” katanya kepada Al Jazeera. “Kami tiba di sini, tapi tidak ada tempat untuk kami. Kami bernaung dengan tenda di bawah pohon.”
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Kesehatan suaminya memburuk dalam beberapa hari. “Ia hanya menyerah dan mati,” kata Arsad, yang telah menemukan pekerjaan dengan gaji $ 4 per hari sebagai tukang sapu di lapangan berlumpur, sedikit tapi penting yang hanya cukup untuk membeli jatah satu hari beras.
“LSM memberi kami air dan makanan, tapi harapan kami nantinya bisa kembali untuk membangun kembali rumah kami, karena jika Anda melihat di sekitar, sangat kotor, bau dan itu buruk bagi cucu-cucu saya,” katanya mengenai stadion.
Sekitar kamp, kotoran bertumpuk, anak-anak telanjang bermain di lumpur dekat jamban yang meluap. Banyak yang buang air besar secara terbuka. Manajer kamp bahkan terus memperingatkan mereka dari potensi wabah penyakit.
Protes MNLF pemicu kekerasan
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Pertempuran meletus pada tanggal 9 September tahun lalu, ketika pasukan MNLF bersenjata berkonvoi ke balai kota untuk mengibarkan bendera mereka sebagai tanda protes atas keputusan pemerintah Filipina yang menandatangani perjanjian damai dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF), kelompok yang telah memisahkan diri dari barisan mereka pada 1970-an.
Pejuang MNLF yang dipimpin oleh mujahidin veteran Habier Malik, menuduh pemerintah mengingkari kesepakatan damai 1996 dengan MNLF, karena telah menawarkan daerah otonom yang diperluas untuk MILF, yang secara efektif akan menggugurkan kesepakatan sebelumnya.
Kekerasan menggarisbawahi kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengakhiri perlawanan Muslim yang sangat gigih, yang dimulai lebih dari empat dekade yang lalu, salah satu perlawanan oposisi terpanjang dan paling berdarah di Asia yang telah menewaskan sekitar 120.000 orang.
Pada hari-hari pertempuran meletus, asap hitam menyelimuti langit Zamboanga, kota berpenduduk satu juta itu ditutup, darat, udara dan pelabuhan, menyebabkan kerugian ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Para pejuang menggali lubang perlindungan selama tiga minggu, di mana oposisi terlibat dalam pertempuran paling instens melawan pasukan pemerintah di wilayah selatan.
Lebih 100 pejuang MNLF tewas, sementara puluhan prajurit militer juga tewas dan terluka.
Malik, seorang pemimpin pejuang Islam yang setia kepada pendiri MNLF, Nur Misuari, terluka tapi berhasil melarikan diri. Kedua pemimpin ini masih bebas dan dikhawatirkan mereka tetap bisa sekali lagi melancarkan serangan lain sewaktu-waktu, karena pemerintah sedang mempersiapkan RUU Kongres pemerintahan otonomi untuk rivalnya, MILF.
“Beberapa keluarga telah kembali dan semuanya perlahan-lahan akan kembali normal, meskipun masih dalam perjuangan,” kata Jimmy Villaflores, kepala desa di Santa Catalina, sebuah distrik padat penduduk di Zamboanga, di mana sembilan dari 10 rumah dibakar.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
“Saya telah meminta tetangga saya (distrik tetangga) mengenai situasi mereka dan mereka mengatakan kepada saya, mereka manghadapi kondisi sangat sulit karena mereka tidak memiliki kekuatan lagi, dan pasokan air tetap menjadi masalah,” katanya.
Pemulihan sangat lambat
Pemerintah telah membangun beberapa tempat penampungan dan bangunan yang tersedia untuk beberapa orang pengungsi, namun tidak semua orang diberikan akses untuk ini, menimbulkan kekhawatiran bahwa kemajuan berjalan sangat lambat.
Di beberapa sudut, Marinir mengamankan rumah sipil yang hancur serta memperingatkan semua orang untuk tetap waspada dan melaporkan wajah asing yang bertindak mencurigakan. Para prajurit berpatroli di wilayah pesisir, memberikan beberapa keamanan bagi warga yang telah kembali ke rumahnya.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
“Pemerintah harus memastikan kemajuan langkah intelijen sehingga ini tidak akan terjadi lagi,” kata Villaflores, yang pada puncak konflik terjebak di rumahnya selama 20 hari, tetapi dia juga membantu membimbing tentara dengan menunjukkan posisi pejuang.
“Anak-anak masih trauma. Mereka tidak pernah akan hidup normal lagi,” katanya.
Juru bicara angkatan bersenjata Kolonel Ramon Zagala mengatakan, pasukan yang kuat bekerja sama dengan masyarakat untuk memastikan krisis tidak akan terulang di saat kota membangun ke arah normalisasi penuh.
“Faksi Misuari sangat lemah akibat serangan gagal mereka pada kota Zamboanga,” katanya kepada Al Jazeera. “Saat ini, dia bersembunyi dan akhirnya hukum akan mengejarnya.”
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Di kamp-kamp pengungsian, pekerja bantuan juga berjuang di bawah beban krisis kemanusiaan. Ada banyak laporan dari anak-anak dan perempuan yang mengalami kekerasan seksual, dan banyak yang dipaksa menjadi pelacur untuk bertahan hidup.
Wabah penyakit juga telah menelan korban bagi mereka yang rentan. Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan pejabat setempat melaporkan lebih dari 160 orang telah meninggal karena penyakit di lokasi pengungsian, mayoritas anak-anak.
“Kondisi yang kita hadapi di sini benar-benar tantangan, mengingat jumlah pengungsi,” kata Gabriel Daclan, perwakilan ICRC di Zamboanga. “Kami berusaha mendidik masyarakat untuk membantu memperbaiki kondisi hidup mereka, tetapi seperti yang Anda lihat, sanitasi tetap menjadi masalah besar.”
Dia mengatakan, pemerintah berencana untuk memukimkan mereka di kamp-kamp pengungsian pada bulan Desember, dan memindahkan mereka ke tempat sementara yang dikelolah lebih baik di sekitar kota. Mereka akan menunggu hingga pemukiman pulih. Namun, tujuannya adalah untuk memberikan setiap orang perumahan permanen pada bulan Juli tahun depan, hampir dua tahun setelah pengepungan.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
“Tantangannya sekarang ada di sisi pemerintah untuk bisa mempercepat laju rehabilitasi,” kata Daclan. “Pada akhirnya, hal yang paling penting adalah bisa membawa orang-orang ini ke tempat penampungan permanen dan mengembalikan martabat mereka.” (T/P001/R11)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu