Oleh : Ali Farkhan Tsani*
Pengantar
Sejenak marilah kita tanyakan kepada batin kita terdalam, “Apakah sebenarnya yang kita cari dalam kehidupan di dunia ini?” Kita seperti ‘Pe Empat’ (Pergi Pagi Pulang Petang), bahkan pergi terlalu pagi pulang kelewat malam, atau ‘jarumsuper’ (jarang di rumah suka pergi), mencari penghidupan ke sana-ke mari. Lalu setelah dapat lembaran-lembaran kertas yang ada angka nolnya lima digit, kertas itu kita belikan beras, minyak sayur, gas, bayar rekening listrik, pulsa, air, kredit kendaraan, rumah, dst.
Begitu seterusnya sepanjang hari laksana robot yang telah disetel computer dengan sistem remote control. Mau dibilang jenuh, ya jenuh… Tapi, mau apalagi? Memang kita perlu uang dan uang. Pokoknya uang, itulah yang kita cari. Dengan sedikit menyadari bahwa setelah berakhirnya jatah umur kita masing-masing, maka habis sudahlah jatah uang itu. Harta yang kita cari, kita tumpuk, kita simpan, kita gunakan, seolah hilang begitu saja tanpa bekasnya di alam kubur nanti. Tidak dibawah ke aalam kubur.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Barulah kita menyadari bahwa sesungguhnya bukan itu yang kita cari, bukan uang ternyata yang kita perlukan secara abadi, bukan harta dan megah-megahan pula yang kita butuhkan untuk bekal menghadap Allah Robbul ‘Izzati, Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Keras Siksa-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’a sebenarnya sudah sejak di dunia ini telah menegur kita bahwa semua kenikmatan di dunia itu akan Allah Tanya dengan sangat jelas dan teliti, dalam kalimat-Nya :
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ ( ) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ ( ) كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ( ) ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُونَ ( ) كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ ( ) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ ( ) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِينِ ( ) ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ ( )
Artinya : “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan `ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS At-Takatsur / 102 : 1-8).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Ridha Allah
Lalu, kalau begitu, apa yang sebenarnya kita cari?
Jika kita mengkaji Al-Quran, maka sudah sangat jelas, tidak lain dan tidak bukan yang kita cari dan harapkan sepanjang hidup ini adalah “Mardhatillah”, Ridha Allah.
Allah sendiri yang mencantumkan di dalam Al-Quranul Karim :
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
Artinya : “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”. (QS Al-Baqarah / 2 : 207).
جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ
Artinya : “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga `Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” (QS Al-Bayyinah / 98 : 8).
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Ridha Allah, itulah yang menjadi jaminan hamba-hamba-Nya dimasukkan ke dalam syurga yang penuh dengan kenikmatan sesungguhnya, abadi, dan kekal selama-lamanya.
Ini artinya, setiap kita berkata, bertindak, melangkah bahkan berpikir dan berprasangka, yang pertama dan utama kita camkan adalah apakah hal tersebut diridhai Allah? Atau apakah ada perintahnya? Adakah pula contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam? atau jangan-jangan dilarang Allah?
Sebagai contoh, kita berangkat kerja, di tempat kerja kita mengambil uang, menilep, menyortir yang bukan hak kita, apakah hal itu diperbolehkan Allah? Apakah Allah melihat kita? Apakah kita dapat bersembunyi dari pengawasan Allah? Kalau hal itu terlarang, atau ragu misalnya, maka sebaiknya tinggalkan. Sebab itu bukan hak kita, dan hanyalah kesenangan sesaat.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan kita di dalam sabdanya :
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
Artinya : “Kebajikan itu keluhuran akhlaq sedangkan dosa adalah apa-apa yang dirimu merasa ragu-ragu dan kamu tidak suka jika orang lain mengetahuinya”. (HR Muslim).
Maka, akan lebih baik jika kita meningkatkan kinerja kita, mencari tambahan penghasilan yang halal, mencoba hidup berhemat dan menerima apa yang kita peroleh sambil mensyukurinya. Insya Allah hal itu sudah cukup, bahkan Allah yang akan mencukupkan dengan kekuasaan dan keberkahan rezki-Nya.
Cukup dengan Pemberian Allah
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
Begitu pula setelah kita mendapatkan harta dari cara yang halal, lalu sudahkah pula kita mengeluarkan sebagian dari rezki yang kita peroleh itu untuk jalan Allah, sudahkah kita tunaikan zakat dan infaq kita? Sudah pulakah kita menyisihkan shadaqah untuk mereka yang lebih memerlukan daripada kita yang sebenarnya perlu juga.
Maka dengan demikian, kita pun hanya berharap kepada Allah, kita akan merasa ridha, rela, ikhlas, menerima, apa yang Allah karuniakan kepada kita. Kalaupun Allah menakdirkan kita mati dalam kelaparan, namun jika Allah ridha, tentu saja kita akan ridha juga. Walaupun pada kenyataannya tidak akan ada hamba-Nya yang mati kelaparan gara-gara menjalankan apa-apa yang telah Allah gariskan. Jika pun ada saudara-saudara kita di Palestina misalnya, yang berpuluh-puluh tahun dijajah Zionis Israel, atau saudara-saudara kita yang diblokade tanpa makanan dan kebutuhan hidup di sepanjang Jalur Gaza.
Ternyata yang kita saksikan, kita baca, atau kita dengar mereka merasakan kenikmatan luar biasa hidup dalam medan jihad menunggu syahid. Sebab yang membuat mereka bertahan hidup dalam perlawanan, yang membuat mereka menyambung nafas perjuangan, dan menjadikan mereka tidak pernah mati, adalah karena mereka hanya mengharap cukup ridha Allah, hingga semuanya hidup atas pertolongan Allah semata. Bukan atas dasar kekuatan materi, makanan, harta benda dan sejenisnya. Allahu Akbar!
Firman-firman-Nya memang sudah menjaminkan seperti itu :
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا ءَاتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ
Artinya : “Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah”, (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” (QS At-Taubah / 9 : 59).
…..وَكَفَى بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَى بِاللَّهِ نَصِيرًا
Artinya : “…..Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu).” (QS An-Nisa / 4 : 45).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Melawan Godaan Syaitan
Dalam menggapai ridha Allah itu, tentu saja kadang atau bahkan seringkali kira berhadapan dengan godaan-godaan keduniaan, ajakan-ajakan kemungkaran, serta rayuan-rayuan kemaksiatan, yang seakan-akan menjadikan kita merugi besar jika tidak mengikuti godaan, ajakan, dan rayuan itu. Tetapi ingatlah, bahwa justru itu semua adalah memang sedang menguji kita agar kita tetap kokoh dan teguh meniti jalan yang diridhai-Ny.
Demikian pula jika terjadi kontradiksi antara perbuatan yang mendatangkan ridha Allah dengan mayoritas pendapat keluarga, kerabat, atau rekan-rekan kita sekalipun. Maka kita akan tetap memilih keridhaan Allah tanpa keraguan sedikitpun di dalam hati. Mendahulukan Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan Allah jaub lebih membahagiakan jiwa-jiwa muslim daripada yang lainnya.
Allah mengingatkan kita di dalam firman-firman-Nya :
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
Artinya : “Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan [dari] berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”. (QS At-Taubah / 9 : 24).
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۚ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكَىٰ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيم
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih [dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu] selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nuur / 24 : 21).
Dengan adanya visi mencari ridha Allah, maka segala tindakan misi hidup akan diarahkan kepada ridha Allah. Itulah manusia visioner, yang memiliki wawasan jauh ke depan hingga ke alam akhirat. Sehingga ia dapat merasakan adanya syurga dan adanya neraka persis di hadapannya. Manakala ia berbuat kebaikan, beramal shalih, berinfaq dan bershadaqah, ia dengan jelas telah melihat syurga calon tempat tinggalnya. Lalu, ia pun rela berlama-lama dalam kebaikannya itu, sampai-sampai ia ingin menghadap Allah dalam kebaikannya itu, atau yang disebut dengan “husnul khotimah”, penutup dalam keadaan baik. Semoga kita termasuk di dalamnya. Amin.
Sebaliknya, manakala ia berbuat maksiat, mungkar, atau zalim, segera tak berlama-lama ia pun kembali ke jalan yang benar, seraya beristighfar, dan bertaubat kepada-Nya. Jangan sampai dirinya mengakhiri hidupnya dalam keadaan “su’ul khotimah”, penutup dalam keburukan. Na’udzubillahi min dzalik. Kita tentu berlindung dari hal yang demikian.
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Artinya : “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS Ali Imran / 3 : 8).
Ya Allah kami tidak akan sanggup hidup tanpa petunjuk-Mu.
Karena itu limpahkanlah selalu petunjuk-Mu kepada ku. Amin.
Penulis, Redaktur Kantor Berita Islam Mi’raj News Agency (MINA)