Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menjadi Hamba yang Beruntung dengan Manajemen Waktu

Widi Kusnadi - Ahad, 25 Desember 2022 - 16:52 WIB

Ahad, 25 Desember 2022 - 16:52 WIB

38 Views

 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Tausiah Imaam Yakhsyallah Mansur pada Sarasehan Milad MINA ke-10

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَٱلْعَصْرِ (١) إِنَّ ٱلْإِنسَٰنَ لَفِى خُسْرٍ (٢) إِلَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْحَقِّ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ (٣) (العصر (١٠٣): ١ـــ٣)

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta

Demi masa (1) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian (2) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran (3).” (QS. Al-Asyr [103]: 1-3)

Makna yang terkandung dalam Surah Al-Asyr sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Jalalain, bahwa kehidupan dunia adalah waktu yang singkat. Karena itu, manusia harus memanfaatkan waktunya sebaik-baiknya untuk berbuat kebajikan dan saling menasihati antar sesama dalam kebenaran dan kesabaran.

Bangsa Arab ketika masa jahiliyah, sebelum datangnya Islam masyarakatnya sering mencaci waktu. Mereka mengatakan bahwa masa lalunya adalah waktu sial. Dengan keadaan sosial masyarakat seperti itulah, Allah Subhanahu wa Ta’ala membantah anggapan mereka yang keliru.

Jika seseorang gagal dalam pekerjaannya, itu bukan karena waktunya yang sial, melainkan karena kesalahan mereka sendiri yang tidak profesional dalam bekerja/berdagang dan tidak bisa mengatur waktu dengan baik.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari

Setelah turunnya ayat di atas, Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi Wasalam dan para sahabatnya memberi perhatian sangat serius terhadap waktu. Mereka memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk hal-hal terpuji sesuai dengan ajaran (syariat) Islam.

Mengomentari surah di atas, Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Seandainya Allah ‘Ajja Wajalla tidak menurunkan surah kepada makhluk-Nya, kecuali hanya Surah Al Ashr, niscaya (surah itu) sudah mencukupi hajat mereka.”

Kata Al-‘ashr secara bahasa bermakna memeras, atau menekan sesuatu sehingga isinya keluar. Para ulama sepakat mengartikannya ayat di atas dalam konteks “waktu”, yakni konsekuensi masa lalu yang berakibat ke masa sekarang, dan masa sekarang yang memberi pengaruh kepada masa akan datang.

Ayat di atas menunjukkan, ada dua kelompok manusia ‎di dunia dan akhirat kelak. Kelompok pertama adalah gologan orang-‎orang yang merugi, menyesal, kecewa, sengsara, dan kalah. Inilah yang disebut sebagai golongan kiri (ashhabus syimal). Kelompok kedua adalah golongan orang-orang yang beruntung, ‎bahagia, dan menjadi pemenang. Inilah yang disebut ‎sebagai golongan kanan (ashhabus yamin).‎

Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia

Waktu tidak akan pernah berhenti. Ia juga tidak akan terulang kembali meski hanya sedetik. Ia akan terus berjalan, berputar dan berpacu dengan kecepatan 24 jam perhari, 60 menit perjam dan 60 detik permenit.

Jadi, waktu harus digunakan sebaik-baiknya, efektif dan efisien. Jangan sampai manusia menjadi rugi dan celaka dengan waktu yang telah ia jalani. Sebaliknya, bagi orang-orang beriman, beramal shaleh dan saling menasihati, mereka akan menjadi orang-orang yang beruntung, dalam kehidupan dunia hingga akhirat.

Urgensi Manajemen Waktu

Orang yang bodoh adalah mereka yang diberi modal besar, namun modalnya dihamburkan sia-sia tanpa mendapatkan hasil. Begitu juga manusia yang sudah diberi modal berupa waktu dalam hadup di dunia, apabila ia menghambur-hamburkan waktu, tidak melakukan amal yang bermakna, maka bisa dikategorikan termasuk orang bodoh.

Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim

Maka, setiap desah nafas manusia adalah perjalanan menuju kematian. Satu detak jantungnya merupakan langkah menuju alam kubur. Betapa rugi dan celaka manusia, jika waktu-waktu yang ia jalani, tidak diisi dengan amal kebajikan, terbuang sia-sia dan akan menjadi penyesalan di kemudian hari.

Hidup bukan sekadar mengukur jarak, tetapi lebih dari itu, hidup adalah untuk mengukir jejak. Meninggalkan jejak-jejak kebajikan untuk dapat menjadi pelajaran berharga dan warisan yang bermakna bagi anak cucu dan keturunannya.

Manajemen waktu merupakan kebutuhan bagi setiap orang beriman. Bagi mereka yang mampu mengatur waktu dengan baik, maka akan terpenuhi target-targetnya dan terlaksana jadwal kegiatannya.

Membuat skala priorotas menjadi hal terpenting, terutama dalam situasi genting dan mendesak. Contohnya ketika ada dua atau beberapa kegiatan dalan satu waktu bersamaan, atau beberapa kebutuhan yang harus diselesaikan, maka kita harus memilih yang paling penting dan mendesak sebagai prioritas.

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Manajemen waktu sangatlah bermakna untuk medapatkan kebaikan dan kesuksesan dalam hidup manusia. Manajemen yang tepat dapat mengurangi kecenderungan menunda-nunda pekerjaan, bermalas-malasan dan mencegah sikap boros waktu dalam bekerja.

Syarat Keberuntungan dalam Konteks Surah Al-Asyr

Imam At-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa orang yang beruntung mempunyai empat ciri, sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Asyr:

Pertama, orang yang yakin dengan adanya Allah ‘Ajja Wajalla, meng-esa-kan-Nya dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

Keimanan yang ‎tertanam kuat di dalam hati, menjadikan seseorang yakin bahwa semua peristiwa yang terjadi, semua atas izin dan takdir Allah Yang Maha Kuasa. Ia yakin ‎bahwa Allah ‘Ajja Wajalla senantiasa mengawasi segala gerak dan tingkah lakunya. ‎Konsekuensi dari keyakinan itu adalah, dia akan selalu berhati-hati dalam ‎menjalani kehidupan ini. ‎

Adapun iman kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wasalam menjadikan seseorang yakin ‎bahwa beliau adalah sosok manusia teladan yang menjadi panutannya ‎dalam bertauhid, beribadah, bermuamalah dan berakhlak. Dia akan selalu siap ‎menjalani hidup yang penuh ujian, tantangan serta godaan, karena ‎ada panduan langsung dari Rasulullah sang penerima wahyu. ‎

Kedua, orang yang berbuat kebaikan, beramal shalih dengan menjalankan kewajiban serta menjauhi larangan-Nya. Iman dan amal shalih merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Seperti dua sisi mata uang, masing-masing saling berkait berkelindan.

Iman akan bermakna ketika diiringi dengan amal ‎shalih. Keimanan tanpa amal shalih hanyalah sebuah ‎kedustaan belaka. Sebaliknya, amal shalih tanpa iman menjadi sia-sia tanpa makna.‎

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Untuk mengoptimalkan amal shaleh, terkandung pula ajaran disiplin. Disiplin biasanya dikaitkan dengan pemenuhan aturan dan pemanfaatan waktu. Seseorang dapat disebut disiplin apabila mengerjakan tugas dan pekerjaan yang diembannya tepat waktu dan sesuai aturan yang berlaku.

Ketiga, saling berwasiat kepada orang lain dalam mengamalkan isi Al-Qur’an. Manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat keburukan dan maksiat karena nafsu yang ia miliki. Oleh karenanya, diperlukan saling menasihati untuk tetap konsisten dan istiqomah dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Saling menasihati menjadi salah satu wasiat Rasulullah dalam peristiwa haji wada (perpisahan). Dengan saling menasihati, keimanan dan ketaqwaan manusia akan terjaga. Itulah yang setiap khutbah Jumat, khatib selalu berwasiat untuk para jamaahnya.

Keempat, sabar dalam mengerjakan kebajikan dan memberi nasihat. Kesabaran harus menjadi modal utama bagi yang memberi nasihat, juga bagi yang menerima nasihat.

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Bagi yang memberikan nasihat, harus menyadari bahwa setiap orang berbeda-beda kadarnya dalam menyerap informasi. Ada yang mampu dengan cepat, namun ada pula yang perlu proses dalam memahami dan mengamalkan nasihat tersebut.

Seperti kisah Nabi Nuh Alaihi Salam yang berdakwah dalam kurun waktu 950 tahun untuk menasihati kaumnya, itupun beliau belum memperoleh pengikut yang banyak.

Sedangkan bagi yang menerima nasihat, nasihat berarti aib, kekurangan dan kelemahan dirinya akan dapat diperbaiki dengan nasihat itu. Ketika menerima nasihat, hendaknya bersyukur, bukan menyalahkan pemberi nasihat.

Umar bin Khatthab Radhiallahu anhu pernah berujar, ”Aku akan berterima kasih kepada siapa saja yang mengingatkan aib dan kekuranganku kepadaku”.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ

(A/P2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Tausiyah
Breaking News
Breaking News
Tausiyah