Menjadi Orangtua Wow untuk Kids Zaman Now (Bag. 1)

Oleh: Indrawati Zuhara, S.Pd, M.Si

 

Kids zaman now, sebuah generasi yang dikelilingi berbagai aspek positif dan negatif di lingkungannya. Perkembangan informasi dan teknologi serta ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, telah mampu merangsang anak-anak zaman sekarang untuk bisa berkembang jauh lebih maju dibanding anak-anak zaman dulu. Namun, layaknya pisau bermata dua, perkembangan zaman itu juga mengancam keselamatan anak-anak baik secara fisik maupun mental. Semakin canggihnya media komunikasi dan beragamnya jenis tayangan media eletronik telah mempengaruhi pola sosial masyarakat yang mempengaruhi tumbuh kembang anak-anak, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Hasil survei KPAI melaporkan bahwa kasus pornografi anak mengalami kenaikan dalam dua tahun terakhir, hal ini ditengarai karena mudahnya anak mengakses dunia maya melalui smartphone. (Tempo.Co, 2017). Efek dari pornografi bersambung ke perilaku seks bebas yang sejak tahun 2014 telah dikabarkan bahwa 63% remaja Indonesia melakukan seks pranikah (Kompasiana, 28 Desember 2014). Berita mencengangkan diperoleh dari Medan yang menyebutkan bahwa seorang siswi SMP berusia 16 tahun dijual oleh temannya sendiri kepada pria hidung belang dengan bayaran Rp500.000 (tribunnews.com, 26/9/2017).

Sementara itu, dalam kasus penyalahgunaan obat-obatan, 27% pengguna narkoba di Indonesia dikabarkan berasal dari kalangan mahasiswa dan pelajar (Republika.co.id, 7 Desember 2017). Dengan kasus kematian akibat narkoba yang tidak jarang kita dengar, salah satunya adalah kematian bocah SD (11 tahun) di Jakarta akibat mengonsumi narkoba jenis flaka (harianriau.co, 14/9/2017). Perilaku liar juga terlihat dalam sekian banyak kasus geng motor yang tidak sedikit anggotanya adalah siswa usia sekolah. Seperti geng motor yang tertangkap oleh Satreskrim Polresta Depok yang beranggotakan rata-rata anak putus sekolah di tingkat SMP (Kompas.com, 28/12/2017). Kasus moral bertambah mengenaskan dengan semakin lantangnya kaum gay dan lesbian yang meminta kesetaraan hak beberapa waktu belakangan ini. Ketua Umum LPAI Seto Mulyadi mengatakan bahwa ancaman bahkan bahaya orientasi seksual menyimpang semakin nyata bagi anak (Tribunnews.com 17/9/2017).

Semua masalah di atas memerlukan penanganan yang harus dilakukan oleh semua aspek masyarakat yang terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Dalam tulisan ini, upaya penanganan akan dikhususkan dari aspek keluarga.

Pengasuhan yang berkualitas adalah solusi yang paling fundamental untuk dilakukan dalam menangani permasalahan sosial yang terjadi pada anak-anak. Karena pola asuh yang benar dan dilakukan dalam waktu lama secara berkesinambungan, akan membentuk karakter yang dapat membuat anak mampu membentengi diri mereka sendiri dari pengaruh-pengaruh buruk yang datang dari lingkungan sekitar.

 

Ada lima unsur dasar yang harus ada dalam proses pengasuhan anak, yaitu:

 

  1. Responding, yaitu respon yang tepat terhadap kondisi anak.

Diperlukan kepekaan yang baik untuk bisa merespon keadaan anak apakah dia sedang marah, bersedih, bahagia, memendam rahasia, dan sebagainya. Pengabaian terhadap kondisi anak, baik fisik maupun perasaannya, dapat menyebabkan anak merasa tidak diperhatikan bahkan hingga frustasi dan menyebabkan dia mencari tempat pelampiasan lain. Perhatian adalah kunci dari proses responding yang benar.

 

  1. Preventing, yaitu tindakan pencegahan terhadap perilaku bermasalah.

Pencegahan dapat dilakukan dengan memberi pengertian kepada anak mengenai baik buruknya efek yang terjadi atas suatu tindakan. Membuka komunikasi yang baik untuk memahamkan anak dalam hal ini merupakan jalan paling efektif untuk dilakukan. Misalnya untuk mencegah anak terjerumus ke dalam perilaku seks bebas, perlu diberikan pendidikan seks yang sesuai dengan porsinya, mendiskusikan konteks seks dari sisi perspektif edukatif akan lebih efektif dibanding memberi larangan keras berupa ultimatum atau menakuti-nakuti tanpa menjelaskan akibatnya yang akan membuat anak malah semakin penasaran.

 

  1. Monitoring, yaitu tindakan pengawasan yang dilakukan secara positif dan proporsional namun tidak mengekang.

Mengenali siapa teman bermain anak, latar belakang keluarga teman-teman anak, mendengarkan cerita aktivitas anak bersama teman-teman mereka, baik di sekolah maupun di lingkungan bermain akan memudahkan proses monitoring. Monitoring juga dilakukan pada akses fasilitas yang diberikan kepada anak terutama yang bersumber dari media elektronik. Akses gadget terbukti menjadi celah terbesar tersebarnya pengaruh buruk bagi anak-anak. Oleh karena itu, pengawasan pada apa yang ditonton anak hendaknya menjadi prioritas dalam upaya pengawasan ini.

Untuk bisa melakukan monitoring yang bijaksana dan penuh kasih diperlukan kedekatan emosional (bonding) antara orang tua dan anak, karena kedekatan emosional itu akan membuat anak merasa nyaman untuk terbuka terhadap orang tuanya.

 

  1. Mentoring, yaitu membantu anak secara aktif untuk membangun karakternya.

Sebuah kesalahan besar yang dilakukan dalam mendidik anak adalah menuntut anak untuk melakukan hal-hal baik tanpa berusaha membantu mereka untuk memahami apa dan bagaimana menjadi baik. Anak adalah manusia muda yang menjalani kehidupannya dalam kurun waktu masih jauh lebih sebentar dibanding orangtua. Dalam kurun waktu tersebut anak belum memiliki pengalaman dan daya pikir seperti orangtua, maka menuntutnya menjadi seperti apa yang diharapkan orangtua tanpa membimbingnya menuju harapan tersebut akan membuat anak menjadi bingung, jika hal ini berlangsung terus menerus bukan tidak mungkin akan menyebabkan anak menjadi frustasi dan malah jadi tidak mengindahkan harapan dan tuntutan oragtua.

 

  1. Modelling,yaitu menjadikan diri sebagai contoh (role model) bagi anak.

Menurut teori sosial learning yang diungkapkan oleh Bandura (1977), tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil pemerolehan dari lingkungan. Sambil mengamati tingkah laku orang lain, individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut, dengan kata lain ia menjadikan orang lain menjadi model bagi dirinya. Proses imitasi selanjutnya akan diikuti oleh regulasi diri dimana pengetahuan kognitif dan pengalaman mengimitasi orang lain bersatu dalam proses berpikir untuk menentukan mana perilaku yang akan diambil.

Bagi anak-anak yang masih dominan mengimitasi lingkungan sekitar, orangtua adalah model pertama yang akan diikutinya karena orangtua adalah lingkungan terdekat bagi anaknya. Peran orangtua dalam proses ini sangat vital dan dibutuhkan upaya pendidikan terhadap diri orangtua itu sendiri. Untuk bisa memberi contoh berkata-kata yang baik, orangtua harus konsisten memilih kalimat yang baik di hadapan anaknya, untuk bisa mencontohkan perilaku sabar, orangtua harus mampu menunjukkan kesabaran yang persisten di hadapan anak, begitu pula untuk melakukan segala hal baik yang diinginkan agar bisa tertanam dalam diri anak, maka semua itu harus dimulai dari diri orangtua dulu. Gagalnya seringkali terjadi dalam proses modelling ini. Hal itu terjadi ketika orang tua hanya mengeluarkan intruksi kepada anak tanpa memberi contoh, apa yang diucapkan orangtua bertolak belakang dengan perilaku yang dilihat anak. Anak adalah pribadi peniru yang akan lebih menyerap apa yang mereka lihat ketimbang apa yang mereka dengar. Pengalaman melihat perilaku orangtua dan lingkungan sekitar akan menjadi referensi kuat bagi mereka untuk melakukan sesuatu. (A/RI-1)

Berlanjut ke tulisan “Menjadi Orangtua Wow untuk Kids Zaman Now (Bag. 2)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.