Ketika Aziz Isa Elkun mengetahui ayahnya yang berusia 78 tahun meninggal pada 2017, dia bergegas menelepon ibunya dari rumahnya di London utara, Inggris. Seperti biasa, mereka tidak dapat berbicara lama.
Selama bertahun-tahun, polisi setempat di Tiongkok menghina dan mengganggu keluarganya setiap kali dia menelepon. Jadi hari itu, ketika sang ibu berkata, “Agak sulit untuk berbicara saat ini,” dia tahu sudah waktunya untuk menutup telepon.
Sejak ayahnya meninggal pada 2017, seorang mantan warga Cina ini belum mendengar kabar dari keluarganya lagi – dan khawatir mereka bisa ditahan di sebuah kamp karena menerima teleponnya.
Isa Elkun (48) terakhir berbicara dengan ibunya yang berusia 76 tahun, Hepizem Nizamidin, melalui telepon dari flatnya di London utara pada 2017.
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Sejak itu semua panggilan telepon yang ia coba selalu tidak terjawab, menurut Telegraph, Ahad (12/5).
Isa Elkun dan keluarganya adalah warga Uighur, etnis minoritas Muslim yang menjadi sasaran pihak berwenang Komunis Cina di provinsi Xinjiang, di bagian barat negara itu.
Bepergian, memiliki keluarga yang tinggal di luar negeri atau bahkan menggunakan aplikasi buatan barat dapat berujung pada penahanan di kamp-kamp yang dikenal sebagai ‘pusat pelatihan keterampilan kejuruan’ dan ‘sekolah asrama’.
“Dua tahun, aku tidak punya informasi tentang ibuku, kerabatku,” ujar kepada The Telegraph. “Dimana mereka?”
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Sebagai seorang mahasiswa di 1980-an, Isa Elkun bergabung dengan protes di Xinjiang atas perlakuan pemerintah komunis terhadap etnis minoritas.
Kemudian dia memprotes di Lapangan Tiananmen sebelum ditandai sebagai pembangkang dan melarikan diri ke Inggris pada 2001.
Sekarang sebagai seorang warga negara Inggris, Isa Elkun mengatakan, pemerintah harus melakukan lebih banyak upaya untuk melindungi hak asasi manusia suku Uighur di Tiongkok.
“Pemerintah Inggris secara hukum juga memiliki tanggung jawab untuk memprioritaskan hak-hak warga negara mereka untuk dapat berbicara dengan keluarga mereka,” tambahnya.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Istrinya, Rachel Harris, seorang pakar budaya Uighur di London School of Oriental and African Studies, mengatakan, respon keseluruhan dari pemerintah ia rasa masih kurang.
Dia mengatakan pemerintah Inggris harus menekan Beijing untuk menghentikan tindakan penahanan.
Tetapi Inggris mendapat keuntungan dari kesepakatan perdagangan 40 miliar poundsterling dengan Cina dan meskipun diplomat Inggris, termasuk Menteri Luar Negeri Jeremy Hunt, membenarkan laporan kamp-kamp itu ‘secara luas akurat’, Isa Elkun mengatakan tidak banyak yang telah dilakukan pemerintah.
Hunt dan Mark Field, menteri Asia, telah mengangkat masalah ini dengan Cina. “Kami memiliki keprihatinan serius tentang situasi hak asasi manusia di Xinjiang,” menurut juru bicara Kantor Luar Negeri dan Persemakmuran.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Karena hubungan dekat Inggris dengan wilayah itu – pada tahun 1890-an Inggris adalah salah satu dari sedikit kekuatan asing dengan konsulat di Kashgar, Xinjiang selatan – para pakar dan kelompok hak asasi mengatakan harusnya lebih banyak yang bisa dilakukan.
Charles Parton, mantan diplomat Inggris di Cina, mengatakan: “Ada perdebatan yang lebih luas antara kemakmuran – perdagangan dan investasi dengan Cina – tetapi di sisi lain, kebutuhan untuk mempertahankan kepentingan dan nilai-nilai keamanan kita sendiri.”
Xinjiang memiliki sejarah panjang bentrokan antara 11 juta Uighur, Muslim Sunni keturunan Turki, dan mayoritas Han Cina. (AT/R11/RI-1)
Sumber: The Telegraph
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung