Dhaka, 9 Dzulqa’dah 1435/4 September 2014 (MINA) – Myanmar telah membantah klaim yang mengatakan memiliki kesepakatan dengan Dhaka untuk pemulangan 2.415 orang Rohingya dari Bangladesh.
Surat Kabar Myanmar, Mizzima yang dipantau Mi’raj Islamic News Agency (MINA) melaporkan kesepakatan itu diperdebatkan dalam sebuah pernyataan oleh Wakil Menteri Luar Negeri U Thant Kyaw di situs Kantor Presiden pada 2 September menyusul laporan tentang keputusan repatriasi oleh beberapa media di Dhaka.
Mereka melaporkan bahwa kesepakatan yang dicapai antara Menteri Luar Negeri Bangladesh M. Shahidul Haque dan U Thant Kyaw pada pembicaraan di Dhaka pada 31 Agustus untuk pemulangan mereka yang mengidentifikasi diri sebagai Rohingya.
Situs resmi Presiden pada 31 Agustus mengatakan akan melibatkan repatriasi selama beberapa bulan untuk 2.415 warga negara Myanmar.
Baca Juga: Kota New Delhi Diselimuti Asap Beracun, Sekolah Diliburkan
“Myanmar tidak akan menerima hal ini sebagai apa yang disepakati antara negara kita, tidak peduli apa yang mereka umumkan di media,” direktur Kantor Presiden, U Zaw Htay, mengatakan pada halaman Facebook-nya pada Selasa 2 September.
Menteri Informasi Myanmar, U Ye Htut, mengatakan pada halaman Facebook-nya pada hari yang sama bahwa kewarganegaraan Myanmar dari 2.415 pengungsi berada di Bangladesh sejak 2005.
Menanggapi hal itu, anggota kabinet Pemerintah Negara Rakhine U Hla Han mengatakan, “Kami akan mengambil kembali warga Rakhine yang menyeberangi perbatasan tetapi untuk orang lain, tidak ada tempat bagi mereka.”
PBB telah menyatakan etinis muslim monoritas Rohingya dari Myanmar sebagai salah satu minoritas yang paling teraniaya di dunia, yang menghadapi diskriminasi sadis di tanah air mereka sendiri yang mayoritas penduduknya beragama Budha.
Baca Juga: Ratusan Ribu Orang Mengungsi saat Topan Super Man-yi Menuju Filipina
Musibah ini bermula dengan amandemen terhadap Undang-Undang Kewarganegaraan 1982 yang memperlakukan ketentuan baru, etnis minoritas Rohingya dinyatakan sebagai imigran ilegal, padahal etnis itu sudah sejak puluhan tahun lalu ada di sana.
Dengan dasar UU yang direvisi itu, Pemerintah Myanmar serta mayoritas warga Myanmar yang beragama Buddha, menolak mengakui istilah “Rohingya”, menyebut mereka sebagai “Bengali”, dan menganggap mereka sebagai orang asing dan tak diinginkan berada terus di Myanmar.
Kelompok-kelompok HAM menuduh pasukan keamanan Myanmar membunuh, memperkosa dan menangkap warga Rohingya dalam kekerasan sektarian tahun lalu.
Ratusan ribu Muslim dipaksa meninggalkan rumah mereka di Myanmar barat sejak Juni setelah serangan dari massa Buddha di daerah mereka.(T/P004/R11)
Baca Juga: Filipina Kembali Dihantam Badai
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)