Naypidaw, 13 Dzulhijjah 1437/15 September 2016 (MINA) – Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama dipastikan akan mencabut sanksi-sanksi ekonomi terhadap Myanmar.
“Saya menulis memberi tahu Anda tentang niat saya untuk mengakhiri penangguhan perlakuan istimewa kepada Myanmar sebagai negara berkembang yang menerima program General System of Preferences (GSP),” kata Obama dalam suratnya kepada anggota parlemen AS.
Tindakan itu dilakukan dalam bentuk sebuah surat teruntuk Kongres selama pertemuannya dengan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi di kantor Obama, demikian Anadolu Agency memberitakan yang dikutip MINA.
Saat ditanya kapan perubahan itu akan dilaksanakan, dengan tegas Obama mengatakan kepada wartawan, “segera”.
Baca Juga: Kota New Delhi Diselimuti Asap Beracun, Sekolah Diliburkan
Menurut Gedung Putih, Presiden akan berkonsultasi dengan Suu Kyi tentang sanksi AS untuk membantu transisi demokrasi di negara mayoritas Buddha itu.
Kunjungan Suu Kyi ke Washington adalah yang pertama sejak dia mengamankan kemenangannya menggantikan penguasa militer dalam pemilu tahun lalu di negaranya.
Setelah pertemuan, Gedung Putih mengeluarkan pernyataan yang mengumumkan penghentian darurat nasional dan perintah eksekutif presiden mengenai sanksi terhadap Myanmar.
“Amerika Serikat bermaksud untuk menandatangani jaminan pinjaman dengan lima lembaga keuangan mikro lokal untuk mendukung lebih dari $ 10 juta dalam bentuk pinjaman kepada usaha kecil di Myanmar, yang akan meningkatkan akses kepada peluang makanan dan dukungan kerja bagi masyarakat di Myanmar,” kata pernyataan itu.
Baca Juga: Ratusan Ribu Orang Mengungsi saat Topan Super Man-yi Menuju Filipina
Menurut pernyataan itu, kedua negara juga akan bekerja sama di beberapa daerah untuk mempromosikan transisi demokrasi dan kemudahan konflik etnis dan agama di negara itu, menurut pernyataan itu.
Meskipun kemenangannya, Suu Kyi dilarang menjadi presiden di bawah konstitusi militer yang disusun negara karena anak-anaknya bukan warga negara Myanmar.
Dia mengabdikan diri bukan sebagai pemimpin de facto negara itu dengan memegang posisi Menteri Luar Negeri dan Konselor Negara.
Suu Kyi, telah dikritik oleh kelompok hak asasi manusia karena gagal mengatasi penderitaan minoritas Muslim Rohingya di negara itu. Sekitar 125.000 orang tetap berada di kamp kumuh di pantai barat negara itu menyusul kekerasan antara umat Buddha dan Muslim pada tahun 2012. (T/P004/P001)
Baca Juga: Filipina Kembali Dihantam Badai
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)