Pandemi Tunda Keadilan bagi Perempuan Irak yang Kehilangan Rumah

Baghdad, MINA – Ratusan ribu perempuan Irak yang terpaksa mengungsi dari rumahnya selama perang, masih belum dapat pulang dan sekarang menghadapi penundaan yang lebih lama karena pandemi virus corona.

Sebuah penelitian oleh lembaga kemanusiaan Dewan Pengungsi Norwegia (NRC) pada Senin (11/5) memperingatkan tentang hal itu, demikian dikutip dari MEMO.

NRC menemukan bahwa perempuan 11% lebih mungkin daripada pria untuk menghadapi hambatan yang mencegah mereka pulang setelah bertahun-tahun berada di kamp-kamp pengungsi. Mereka mengungsi selama terjadi konflik dengan kelompok ISIS yang dimulai pada 2014.

Bagi wanita, perjuangan untuk membuktikan kepemilikan atas properti mereka sangat sulit karena akta kepemilikan biasanya membawa nama kepala rumah tangga, yang banyak di antara mereka terbunuh dalam masa kekerasan.

Sanne Boswijk, Penasihat NRC di Irak mengatakan, penutupan pengadilan karena virus corona menjadi kemunduran lebih lanjut, menunda sidang hokum.

“Ini memperburuk situasi para wanita ini secara umum karena akses ke pengadilan untuk wanita di Irak pada awalnya sulit dicapai,” katanya kepada Thomson Reuters Foundation. “Anda bisa membayangkan jika Anda menutup pengadilan selama sebulan.”

Sekitar 6 juta warga Irak – 15% dari populasi – terusir dari rumah mereka selama konflik dengan ISIS antara 2014 dan 2017, menurut data PBB.

NRC mensurvei sekitar 1.000 wanita di empat wilayah yang terkena dampak konflik di Irak untuk laporannya dan melakukan lusinan diskusi kelompok fokus dan wawancara mendalam.

Jennifer Abrahamson, kepala advokasi dan komunikasi di Landesa, sebuah kelompok advokasi hak tanah yang berbasis di Washington, mengatakan, pandemi virus corona telah memperburuk kesulitan bagi perempuan di banyak negara di mana hak-hak mereka tidak ditetapkan dengan baik.

“Wanita yang terkena dampak perang, konflik, mereka terlantar, mereka mencoba kembali ke rumah, menghadapi sejumlah krisis sekunder dan sekarang Anda menghadapi pandemi di atasnya,” kata Abrahamson.

Boswijk mengatakan, mekanisme keadilan suku untuk menetapkan kepemilikan properti dianggap lebih dapat diandalkan daripada pengadilan dan merupakan “rute yang dapat diterima secara sosial”.

Banyak yang menganggap tabu bagi perempuan untuk bertemu pemimpin suku sendiri tanpa dampingan saudara laki-laki, sehingga lebih sulit bagi mereka untuk membuktikan hak-hak mereka, bahkan dengan dokumentasi.

Namun menurut Boswijk, pandemi yang telah menewaskan sekitar 110 orang dan memaksa Pemerintah Irak menutup masjid, sekolah, dan sejumlah bisnis, memberikan kesempatan bagi mekanisme informal untuk menjadi lebih inklusif. (T/RI-1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.