Oleh: Dr. Daud Abdullah, Direktur Middle East Monitor (MEMO), London, Inggris
Dewasa ini ada sebuah fakta yang dibangun, di mana kebenaran selalu menjadi korban pertama dalam sebuah peperangan. Dan ketika kebenaran menjadi korban, maka demokrasi akan rusak. Hal ini tampak lebih jelas data intervensi militer Barat di Timur Tengah.
Disadari atau tidak, wartawan telah berkontribusi terhadap distorsi fakta dan menyebarkan informasi yang salah. Pada poin ini, duta besar Brazil untuk China membenarkan ketika ia mengatakan kepada media di sela-sela pertemuan puncak negara-negara BRICS di Beijing pada tahun 2015. Katanya, “Membuat informasi adalah sumber yang paling penting bagi kekuasaan saat ini. Ketika Anda menghasilkan informasi, Anda menghasilkan persepsi.”
Pemberitaan media Barat tentang isu-isu Timur Tengah sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Kepentingan keuangan dan pengaruh politik dari media besar telah mempengaruhi kebijakan editorial sebuah surat kabar termasuk stasiun TV dan radio. Mengingat, kebanyakan media saat ini dimiliki oleh perusahaan-perusahaan multinasional yang besar, sehingga keuntungan finansial (profit oriented) yang lebih diutamakan ketimbang substansi dan akurasi.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Chomsky dan Herman dalam studi Manufacturing Consent berpendapat bahwa media beroperasi atas dasar ideologi tertentu, bergantung kritis pada sumber elit untuk informasi dan terlibat dalam kampanye propaganda untuk mendukung kepentingan mereka.
Secara bahasa, media adalah bentuk jamak dari medium, yang dapat didefinisikan sebagai “memadukan substansi melalui tayangan disampaikan kepada indera.”
Sebagai contoh misalnya adalah udara, ia dapat digambarkan sebagai media karena mentransmisikan suara. Bertentangan dengan klaim sering adanya ketidakberpihakan, liputan media Barat hampir tidak dapat dikatakan sebagai netral, ketika fakta-fakta secara rutin terdistorsi, ditekan dan ditutup-tutupi.
Hantu dan Wartawan
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Ketika kita bicara krisis di Irak, maka hal itu tidak bisa lepas pada invasi 2003 yang dipimpin oleh Amerika. Beberapa saat sebelum pasukan berangkat, wartawan BBC Andrew Gilligan mengungkapkan, berkas intelijen digunakan oleh pemerintah Tony Blair untuk membenarkan bahwa perang sengaja dibuat “lebih menarik” untuk mempertegas kasus pemerintah.
Bukannya dipuji karena mengekspos penipuan, Gilligan justeru dipecat oleh BBC. Kasus Gilligan adalah sebuah indikasi dari masalah yang lebih luas di jantung berita media Barat pada pemberitaan Timur Tengah.
The New York Times menerbitkan sebuah editorial pada 26 Mei 2004 yang mengakui bahwa liputannya tentang kontroversi “senjata pemusnah massal” di Irak didasarkan pada informasi palsu. Banyak koran yang mendapatkan informasi bersumber dari Ahmad Chalabi, pemimpin Kongres Nasional di Irak.
David Rose dari surat kabar Observer di London juga mengakui bahwa ia telah menggunakan informasi dari Chalabi, dan dia adalah korban dari sandiwara yang sudah diperhitungkan untuk propaganda perang.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Sedangkan New York Times telah meminta maaf karena salah terima informasi dari badan intelijen, dan tidak ada satupun surat kabar Inggris melakukan hal seperti itu.
Dalam operasi yang disebut sebagai “Operation Mass Appeal”, agen dari organisasi intelejen Inggris MI6, berkontribusi menyuplai media dengan cerita palsu tentang Saddam Hussein yang memiliki senjata massal.
Selanjutnya hal ini memicu maraknya rantai kekacauan yang melanda negara itu, dan merenggut kehidupan jutaan orang.
“Kita sekarang tahu BBC dan media Inggris lainnya dimanfaatkan oleh MI6 (dinas rahasia Inggris),” kata jurnalis veteran dan penulis Australia John Pilger yang mengatakan kepada para pemirsa di Columbia University New York.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Menurut mantan perwira MI6 Kim Philby, yang membelot ke Moskow pada tahun 1963, dinas intelejen Inggris telah menembus “media massa Inggris pada skala yang luas” bahkan kemudian mengerahkan beberapa agen di harian Daily Telegraph, Sunday Times, Daily Mirror, Financial Times dan Observer.
Di Amerika, surat kabar seperti New York Times menyimpulkan perjanjian rahasia dengan CIA untuk mempekerjakan setidaknya 10 agen mereka sebagai wartawan atau juru tulis di biro luar negeri.
Badan ini tidak merekrut agen-agen Inggris di Reuters karena mereka sadar bahwa mereka milik Inggris dan Amerika melihat ini sebagai wilayah MI6. Mereka akan memanfaatkan hanya jika situasi memang diperlukan.
Pada bulan Agustus 1989, wartawan Observer Farzad Bazoft ditangkap di Irak setelah sebuah ledakan menghancurkan kompleks persenjataan Al-Iskandaria di selatan Baghdad. Menurut catatan, ia mengaku menjadi mata-mata Israel. Salah satu wartawan investigasi, Simon Henderson, mengatakan Barzoft bekerja pada intelijen Inggris di Baghdad untuk menguji sampel tanah di daerah sekitar. Dia dieksekusi oleh rezim Saddam Hussein pada Maret 1990.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Lima bulan kemudian, Irak menginvasi Kuwait dan dengan demikian mulailah perang Teluk pertama dan kedua. Kadem Asker, seorang petugas intelijen Irak mengaku telah menginterogasi Barzoft, dia mengatakan bahwa ia tahu wartawan tersebut tidak bersalah tapi Saddam tetap saja bertekad untuk mengeksekusinya.
Kekuatan Kata
Kekuatan media tidak hanya tergantung pada hubungan antara wartawan dan editor mereka atau pemiliknya saja. Dalam konteks Barat menurut Robert Fisk, hal ini bergantung pula pada kata-kata dan penggunaannya.
Beberapa penggunaan kata memiliki mitos dan kesalahpahaman. Di Palestina misalnya, kita telah dijejali selama lebih dari dua dekade tentang sesuatu yang disebut “proses perdamaian” yang pada kenyataannya tidak ada. Hal tersebut adalah upaya tak tahu malu Israel dan AS untuk memaksakan solusi yang tidak adil bagi warga Palestina.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Pada 27 Februari 1994, sebuah artikel pada harian Independent on Sunday, Fisk mengemukakan bahwa pemukim Israel bertanggung jawab atas pembantaian di Hebron pada dua hari sebelumnya telah melakukan transformasi aneh di media. “Mereka tidak akan lagi disebut sebagai seorang tentara Israel, meskipun ia mengenakan seragam dan membawa senjata militer. Dia hanya dipanggil ‘seorang imigran Yahudi asal Amerika’.
Dalam istilah hukum misalnya, tentara Israel yang ditangkap di Gaza selama serangan dan invasi bertubi tubi di wilayah Palestina akan dianggap sebagai tawanan perang. Namun di media Barat, bagaimanapun, mereka selalu digambarkan sebagai “sandera” atau sebagai korban yang “diculik”.
Dari November 2012 hingga 7 Juli 2014, kelompok hak asasi manusia Visualising Palestine mencatat ada 191 pelanggaran gencatan senjata Israel dan 75 oleh Palestina. Mereka mencatat, Israel bertanggung jawab untuk 18 korban jiwa dan puluhan luka-luka, sementara itu tidak ada satupun yang dibunuh oleh pihak Palestina dan hanya 3 orang saja yang terluka.
Demikian pula, wartawan memberitahu kita secara teratur bahwa Israel adalah “satu-satunya demokrasi” di wilayah tersebut. Mereka tidak pernah mempertanyakan kebijakan untuk menentukan apakah mereka konsisten dengan prinsip-prinsip demokrasi, apakah mereka memenuhi standar yang diterima secara internasional atau apakah demokrasi mereka berbicara tentang semua warga negara Israel atau hanya beberapa dari mereka saja.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Saat banyak wartawan yang mendukung intervensi militer NATO tahun 1999 melawan Serbia di Kosovo karena terjadi “genosida”. Namun tidak pernah ada panggilan serupa yang dibuat untuk menghentikan pengeboman Israel di Lebanon pada tahun 2006 atau penyerangan di Jalur Gaza pada 2008-09, 2012 dan 2014 lalu.
Pembunuhan kejam Israel terhadap warga sipil yang tak pandang bulu, bahkan di kawasan PBB dan sekolah yang mestinya dilindungi, sering digambarkan di media sebagai “serangan penggeledahan” bukan disebut sebagai negara teroris. Dengan kedok menjadi mitra dalam “perang melawan teror” Israel telah berhasil menangkis pengawasan media dan kritik dari tindakannya, yang memungkinkan menunjukkan penghinaan hukum dan konvensi internasional.
Pada puncak pemboman Israel 2008-09 di Gaza, BBC menolak menyiarkan permohonan untuk sumbangan kemanusiaan oleh Disasters Emergency Committee (Komite Bencana Darurat), sebuah badan amal utama di Inggris. Pihak BBC mengatakan karena “banyaknya yang bertanya tentang bagaiamana pengiriman bantuan dalam situasi yang sangat beresiko, dan juga untuk menghindari resiko mengorbankan kepercayaan publik atas ketidakberpihakan BBC dalam konteks berita yang sedang berlangsung.”
Ini adalah tindakan bermuka dua yang mengejutkan, karena sebelumnya pada tahun 1999 lalu BBC juga menyiarkan imbauan penggalangan dana untuk Kosovo.
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Pada saat yang sama, Israel justru telah mengembangkan hubungan jaringan yang luas di seluruh Eropa untuk memantau dan memengaruhi konflik. Salah satu tugas utamanya adalah untuk memprotes keras para editor surat kabar dan stasiun TV jika ada yang menentang kebijakan Israel. Sejumlah besar keluhan yang muncul akibat pemberitaan Israel mendorong para wartawan untuk melakukan self-censorship (menyensor berita mereka sendiri) dalam liputan mereka terhadap Israel.
Konsekuensi dari hal ini adalah bahwa Israel seolah memiliki kekebalan tertentu dan lisensi khusus, mereka bebas melakukan apapun, mereka tahu benar bahwa tindakan mereka tidak akan dilaporkan secara akurat, apalagi dikritik.
Seorang tokoh Palestina Edward Said mengatakan, identifikasi Israel dengan peradaban Barat itu dilakukan “dengan harapan bahwa lebih banyak orang Amerika dan Eropa akan melihat Israel sebagai korban kekerasan dari umat Islam.” Taktik ini telah terbukti berhasil, dengan banyak orang yang bergabung untuk menyoroti bahaya yang ditimbulkan oleh “ancaman terorisme dari Palestina” dan “ancaman Islam”.
Kode Etik
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Pada tahun 1997dalam sebuah buku yang direvisi ulang karya Edwar Said berjudul Covering Islam (How the media and the experts determine how we see the rest of the world). Said menulis bahwa peliputan media terhadap Islam dan Muslim “seolah memiliki lisensi untuk menulis tidak sesuai dengan fakta, tetapi juga ekspresi dari etnosentrisme yang tak terkendali, budaya dan bahkan kebencian rasial yang dalam.”
Di bawah prinsip internasional kode etik jurnalisme dari UNESCO, wartawan wajib memberitakan fakta kebenaran dan menghindari propaganda. Mereka memiliki tugas profesional kepada publik. Apapun tekanan komersial dan politik, wartawan memiliki kode etik dan kewajiban untuk memberikan informasi kepada masyarakat dengan sejelas-jelasnya dimana dan darimanapun mereka melaporkan.
Distorsi fakta atau hanya berdiam diri di saat ada pelanggaran hak asasi manusia hanya membuat mereka semakin menjadi-jadi. Pertimbangan etis seperti ini, selama beberapa dekade, telah terasa lenyap dari banyak liputan media Barat di Timur Tengah. Wartawan cenderung mengadopsi aturan resmi pemerintah mereka sendiri dan sekutu mereka di wilayah tersebut.
Kasus Yerusalem adalah contoh mencolok dari hal ini, di mana wartawan BBC merujuk dari waktu ke waktu bahwa Yerusalem adalah ibukota Israel. Tidak ada negara atau pemerintah di dunia yang menerima klaim Israel ini, selain menjadi nyata tidak akurat, penipuan tersebut oleh BBC mendukung klaim Israel atas tanah yang diakui masyarakat internasional sebagai wilayah yang dijajah.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Selanjutnya, studi akademis dari surat kabar dan TV yang meliput pemberitaan Palestina telah menunjukkan sejumlah fakta tidak konsistennya dan tidak proporsional di kolom pemberitaan, serta jumlah waktu siaran TV sangat singkat yang sejatinya untuk menayangkan ketakutan Israel dan pendukungnya di Barat.
Salah satu konsekuensinya adalah ketika orang di Timur Tengah sudah lelah dan menyerah pada perspektif media Barat, sementara di Barat mereka beralih ke sumber media alternatif untuk pemahaman yang lebih baik dan apresiasi dari masalah. Penjualan yang jatuh dari berbagai koran di AS dan Inggris telah mengurangi kemampuan media perusahaan untuk mempengaruhi opini publik.
Sebuah contoh dari hal ini yaitu memudarnya pengaruh media Inggris pada kegagalan mencegah Jeremy Corbyn terpilih sebagai pemimpin Partai Buruh. Meskipun upaya untuk mencemarkan nama baiknya dengan tuduhan anti-Semitisme dan menghubung-hubungkan dengan “simpatisan teroris”, Corbyn akhirnya menerima 60 persen suara, jauh daripada yang pernah di raih Tony Blair pada tahun 1994.
Pada saat yang sama, situs media alternatif seperti Middle East Monitor, Middle East Eye dan Electronic Intifada menjadi semakin populer. Laporan dan analisis mereka telah membantu untuk memajukan aksi boikot internasional, kampanye pembebasan dan sanksi bagi Israel.
Pada akhirnya, wartawan Barat tidak diharuskan untuk menjadi juru kampanye atau menjadi penyebab hal tertentu. Setidaknya, mereka harus mengemban kewajiban moral untuk mengatakan yang sebenarnya dan menunjukkan unsur kepedulian terhadap penderitaan manusia.
Di daerah yang tidak stabil seperti Timur Tengah, wartawan dapat menghentikan kemewahan “Pengamat jurnalisme” atau menjadi instrumen di tangan penindas dan orang-orang yang mengambil keuntungan dari konflik dan perang. (DA/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
*Disampaikan dalam Bahasa Inggris dalam Konferensi Internasional Media Islam (International Conference Islamic Media – ICIM) yang diselenggarakan oleh Jama’ah Muslimin (Hizbullah) melalui Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency) bekerjasama dengan Kantor Berita ANTARA, Rabu, 25 Mei 2016. Diterjemahkan oleh Nu’man Nasif Nasafi, Kontributor Bahasa Inggris MINA.