Wawancara MINA dengan Geisz Chalifah, Aktivis Kemanusiaan MER-C dan Pengamat Sosial Politik Keindonesiaan.
Sebanyak 70 delegasi dari 109 negara telah mengkonfirmasi untuk menghadiri peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) ke-60 yang akan diadakan pada 24 April 2015, mendatang. Salah satu acara puncak adalah KTT Asia-Afrika.Setidaknya ada tiga deklarasi yang akan dihasilkan yakni Bandung Message (Pesan Bandung), Penguatan Kerja Sama Negara Selatan-Selatan, dan deklarasi khusus mengenai Palestina.
Adakah yang masih teringat akan janji Presiden Jokowi dalam sebuah debat yang disiarkan melalui media TV nasional menyatakan akan memperjuangkan kemerdekaan Palestina jika ia terpilih? Pengamat sosial politik Indonesia yang juga Mantan Vice Presiden Indonesia Student Asociation For International Studies (ISAFIS), Geisz Chalifah, mengemukakan beberapa hal tentang Palestina dan kaitannya dengan KAA, dalam wawancara khusus dengan Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Selasa (14/4). Berikut petikan wawancaranya:
MINA: Deklarasi Palestina yang akan dikeluarkan di KAA nanti, menekankan pada dukungan Asia Afrika dalam capacity building untuk persiapan kemerdekaan Palestina. Bagaimana pengamat memandang deklarasi itu ?
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Geisz: KAA, selayaknya tidak lagi hanya mengandalkan rekomendasi sebagai salah satu point dari hasil konferensi, melainkan memberikan tekanan diplomasi pada PBB untuk mengakui kemerdekaan negara Palestina, hak berdaulat, hak untuk otoritas dalam mengelola sebuah negara pada bangsa itu sendiri. Menjadikan Palestina sebagai negara yang sejajar dengan semua negara lainnya di dunia. Berbekal KAA 1955, yang di inisiasi oleh Indonesia, India, Pakistan, Burma (sekarang Myanmar) dan Ceylon (sekarang Sri Lanka), dalam rentang waktu 60 tahun itu tidak banyak perubahan signifikan terhadap hak-hak bangsa Palestina, Palestina masih belum mencapai kemerdekaan. Ketidakadilan yang demikian sudah selayaknya menjadikan KAA mengupayakan usaha lebih maksimal termasuk melalui forum PBB untuk menjadikan Palestina sebagai negara merdeka.
MINA: Bagaimana peran Pemerintah RI selama ini dalam dukungan kepada upaya mewujudkan kemerdekaan Palestina?
Geisz: Indonesia cooperatif dalam kasus Palestina. Hal demikian tertampakkan dalam setiap pembahasan Palestina di forum-forum internasional tidak pernah berubah, namun demikian sebagai negara terbesar di ASEAN, lebih banyak hal bisa dilakukan Indonesia. Umpanya menggalang dukungan negara dengan kekuatan baru seperti China, Jepang, Korea Selatan dll, untuk memainkan isu ekonomi dalam geo-politik internasional dalam rangka membebaskan semua negara dari penjajahan tidak terkecuali Palestina.
MINA: Nampaknya lembaga non pemerintah (NGO) justru banyak memberikan kontribusi besar dalam mewujudkan dukungan riil pada Palestina. Bagaimana menurut Anda?
Geisz: NGO, tentunya memiliki peran yang signifikan dan memberikan bantuan riil terhadap Palestina akan tetapi organisasi di luar pemerintah memiliki keterbatasan dalam konteks kebijakan negara. NGO lebih berpeluang untuk menggalang opini dan bantuan sosial kemanusiaan, karena NGO lebih bebas bergerak, tidak mengalami hambatan interest politik, atau yang kita sebut dinamika kepentingan nasional yang tentu saja menghadapai bargaining posisition.
MINA: Palestina sekarang sudah resmi bergabung di Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC), dan bisa menuntut setiap pelanggaran yang dilakukan Israel secara internasional, bagaimana Indonesia memandang hal ini ?
Dulu Presiden SBY menunjukkan sikap tegas Indonesia pada kebiadaban Israel pada penyerbuan Israel ke Palestina, namun dalam tataran implementasi Kementerian Luar Negeri sepertinya kurang memberikan porsi perhatian pada tindak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel. Setidaknya Kepala Perwakilan Tetap RI untuk PBB di New York, kurang responsif sebagaimana seharusnya terhadap masalah tersebut dan sebatas mengecam. Tidak atraktif untuk menggerakkan sebagaimana yang dilakukan negara Amerika Latin, seperti Venuzuela maupun Brazil.
MINA: Pemerintahan Bersatu Palestina masih menghadapi kendala dari banyak sisi, salah satunya dari internal Palestina sendiri. Bagaimana anda memandang pentingnya rekonsiliasi kedua pihak dan adakah dukungan yang dapat diberikan Indonesia untuk itu?
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Geisz: Berdirinya Kedutaan Besar Palestina di Indonesia sebelum KTT Non Blok di Jakarta di masa Pak Harto, maupun tidak adanya hubungan diplomatik Indonesia dengan Israel, mencerminkan dukungan Indonesia pada Palestina.
Faksi-faksi yang ada di Palestina seperti Hamas dan Fatah merupakan keniscayaan dalam sebuah pergerakan kebangsaan yang mengalami penindasan. Problem terbesarnya adalah bukan internal Palestina akan tetapi ruang kemerdekaan yang dibatasi sedemikian rupa oleh Israel. Konflik dalam negeri akan bisa diselesaikan umpamanya dengan referendum maupun lewat institusi politik.
MINA: Deklarasi Palestina di KAA nanti akan menyatakan dukungan pada kemerdekaan Palestina secara diplomasi, adakah dukungan lain yang berbeda dari sebelumnya untuk Palestina di KAA tahun ini?
Geisz: Seperti yang saya katakan sebelumnya, bahwa KAA kali ini selayaknya tidak hanya menjadi moment seremonial dengan berbagai rekomendasi berupa daftar harapan. Padahal juga diperlukan program aksi yang serius misalnya menekan lima negara besar pemilik hak veto di Dewan Keamanan PBB, agar jangan menjadikan masalah Palestina sebagai bagian dari bargaining ekonomi maupun politik. Maka seyogianya kesepakatan bersama dalam deklarasi KAA, tidak hanya di atas kertas namun sesuatu yang dapat diimplementasikan, misalnya memaksa agar penjajahan di atas muka terhapuskan, sebagaimana dinyatakan dalam amanat Pembukaan UUD 45 dan sudah menjadi masalah utama dalam KAA 1955.
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
MINA : Pembangunan Rumah Sakit (RS) Indonesia di Gaza sudah selesai dan akan segera diresmikan. RS ini dikenal masyarakat internasional sebagai buah tangan anak bangsa sehingga mengharumkan Indonesia. Bagaimana komentar anda ?
Geisz: Rumah Sakit Indonesia di Gaza Palestina adalah sebuah lambang persaudaraan rakyat Indonesia dengan bangsa Palestina. Saya pribadi ikut aktif melakukan berbagai acara untuk mengumpulkan pendanaan Rumah Sakit Indonesia tersebut. Kita patut bersyukur proyek yang penuh rintangan itu akhirnya dapat terlaksana dengan baik. (L/P004/P2)
Miraj Islamic News Agency (MINA)