Penghalang dalam Mengenal Allah

Oleh , wartawan MINA

Ada orang yang tidak bisa Ilahi Rabbi. Bagaimanapun caranya untuk mengenal Allah, dia mengalami kesulitan. Setidaknya secara umum ada beberapa sebab yang menjadi seseorang untuk bisa mengenal Allah Ta’ala.

Secara garis besar, terdapat dua hal yang menghalangi manusia dalam mengenal Allah. Pertama, maradhus syahwat (berkaitan dengan penyakit hati; berupa nafsu dan kesenangan serta perilaku yang tidak terpuji). Kedua, maradhus-syubhat (berbagai hal yang menimbulkan keraguan, lebih banyak berkaitan dengan masalah akal dan logika).

Adapun yang termasuk dalam Maradhus Syahwat antara lain sebagai berikut.

Pertama, al-fisqu (kefasikan). Fasik adalah orang yang senantiasa melanggar perintah dan larangan Allah, bergelimang dengan kemaksiatan serta senantiasa berbuat kerusakan di bumi. Mereka hanya memikirkan kehidupan dunia saja, tidak memikirkan kehidupan di akhirat nanti. Mereka disibukkan oleh harta-harta dan anak cucu mereka serta segala yang berhubungan dengan kesenangan duniawi.

Mereka lupa kepada Allah, maka Allah pun membiarkan mereka bergelimang dalam kesesatan, lupa hakikat dirinya dan pada akhirnya semakin jauh dari jalan yang diridhai-Nya.

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“..dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Hasyr, 59: 19).

Orang-orang yang fasik itu sebenarnya mengetahui mana yang hak, mana yang batil, mana yang baik, dan mana yang jahat. Namun ia tidak melaksanakan yang benar dan yang baik itu, melainkan ia melaksanakan yang batil dan yang jahat. Sifat dan perilaku seperti itulah yang akan menghalanginya dari mengenal Allah Ta’ala.

Kedua, al-kibru (kesombongan). Kesombongan merupakan suatu sikap di mana hati seseorang ingkar dan selalu membantah terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala,

الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي آيَاتِ اللَّهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ أَتَاهُمْ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ وَعِنْدَ الَّذِينَ آمَنُوا كَذَلِكَ يَطْبَعُ اللَّهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ

“(Yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.” (QS. Al-Mu’min, 40: 35).

Allah menerangkan hukum-hukum-Nya bagi orang-orang yang menutup hatinya untuk menerima kebenaran wahyu, yaitu bahwa Ia akan menutup hati mereka.[Lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Jilid VIII, hal. 537]

Ketiga, adz-dzulmu (kedzaliman). Mengenai sifat dzalim ini, Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنْتَقِمُونَ

“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As-Sajdah, 32: 22).

Allah Ta’ala menerangkan bahwa orang yang paling zalim ialah orang yang telah sampai kepadanya peringatan Allah, telah sampai pula kepadanya ayat-ayat Alquran dan petunjuk Rasul, kemudian mereka berpaling dari ajaran dan petunjuk itu karena angkuh dan penyakit dengki yang ada di dalam hatinya. Sikap dzalim (aniaya) seperti inilah yang menghalangi mereka dari mengenal Allah Ta’ala.[lihat: Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Jilid VII hal. 597]

Keempat, al-kidzbu (kedustaan). Kedustaan merupakan sikap bohong (pura-pura) dan pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah Ta’ala. Hal ini seperti yang dilakukan oleh orang-orang munafik sebagaimana dimuat dalam firman Allah Ta’ala,

يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

 “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar, dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al-Baqarah, 2: 9-10).

Mereka memperlihatkan iman, kasih sayang dan menyembunyikan permusuhan dalam batin. Mereka menyebarkan permusuhan dan fitnah-fitnah untuk melemahkan barisan kaum Muslimin. Namun usaha kaum munafik itu selalu gagal dan sia-sia. Hati mereka bertambah susah, sedih dan dengki, sehingga pertimbangan-pertimbangan yang benar dan jujur untuk menilai kebenaran semakin lenyap dari mereka. Akal pikiran mereka bertambah lemah untuk menanggapi kebenaran agama dan memahaminya.[Al-Qur’anul Karim wa Tafsiruhu, Jilid I hal. 45]

Kelima, katsratul ma’ashiy (banyak melakukan perbuatan maksiat). Allah Ta’ala berfirman,

كَلا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” (QS. Al-Muthaffifin, 83 : 14)

Disebutkan dalam hadist Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ العَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ ” كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ”

”Sesungguhnya seorang hamba jika ia melakukan kesalahan, maka akan tercemari hatinya dengan satu bercak hitam. Jika ia menghentikan kesalahannya dan beristighfar (memohon ampun) serta bertaubat, maka hatinya menjadi bersih lagi. Jika ia melakukan kesalahan lagi, dan menambahnya maka hatinya lama-kelamaan akan menjadi hitam pekat. Inilah maksud dari ”al-Raan” (penutup hati) yang disebut Allah dalam firman-Nya: ”Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka.” [Al-Muthoffifin: 14] ” (Hadist Riwayat Tirmidzi (No : 3334) dan Ahmad  (2/297). Berkata Tirmidzi : “Ini adalah hadist Hasan Shahih).

“رَانَ“ artinya ghalaba (menguasai) atau menutupi. Berkata Abu Ubaid: “Setiap apa saja yang menguasai dirimu, maka disebut dengan ‘rona’”[Tafsir al-Qurthubi : 19/170].

Berkata al-Baghawi: “Ar-Rain artinya menguasai, dikatakan: ‘Minuman khamr itu telah membuat ‘ar-Rain’ atas akalnya’, maksudnya telah menutupi (menguasai) akalnya sehingga dia menjadi mabuk”. Sehingga, ayat tersebut bisa diartikan: Perbuatan-perbuatan maksiat itu telah menutupi dan menguasai hati mereka. Berkata Hasan al-Bashri: “Dosa yang menumpuk atas dosa yang lain, sehingga hati menjadi mati“.[Tafsir al- Baghawi, Ma’alim at- Tanzil: 8/365]

Maka berdasarkan ayat ini jelaslah, orang yang banyak melakukan maksiat pasti akan terhalang dari mengenal  Allah  Ta’ala. Na’udzubillahi min dzalik.

Adapun yang termasuk dalam Maradhu as-syubhah adalah sebagai berikut.

Pertama, al-jahlu (kejahilan/kebodohan). Yakni tidak mau memikirkan ayat-ayat Allah Ta’ala, baik ayat-ayat qauliyah -yang tersurat dalam Al-Qur’an-, maupun ayat-ayat kauniyah -yang tersirat di seluruh penjuru alam semesta-. Inilah yang menyebabkan terhalangnya manusia dari mengenal Allah Ta’ala.

Mereka tidak mau menggunakan potensi diri mereka untuk memikirkan ayat-ayat Allah Ta’ala, sehingga ia dicela dalam Al-Qur’an dengan ungkapan,

وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا صُمٌّ وَبُكْمٌ فِي الظُّلُمَاتِ

“…dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita.” (QS. Al-An’am, 6: 39).

Padahal Allah Ta’ala telah memberikan kesempatan yang cukup kepada mereka untuk memikirkan ayat-ayat-Nya,

وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ

“Dan mereka berteriak di dalam neraka itu : ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan’. Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun.” (QS. Fathir, 35: 37)

Kedua, al-irtiyab (keragu-raguan). Hal ini disebabkan karena sedikitnya ilmu dan ma’rifah (pemahaman). Bisa dikatakan pula, keragu-raguan ini lahir dari kebodohan. Begitulah orang-orang munafik, selalu berada dalam kondisi terombang-ambing antara iman dan kafir,

مُذَبْذَبِينَ بَيْنَ ذَلِكَ لَا إِلَى هَؤُلَاءِ وَلَا إِلَى هَؤُلَاءِ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلًا

“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir); tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (QS. An-Nisa, 4: 143)

Mereka disesatkan oleh Allah Ta’ala karena keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah Ta’ala. Maka orang-orang kafir dan munafik itu terhalang dari mengenal Allah Ta’ala, mereka dalam kondisi ragu-ragu sepanjang hidupnya hingga datang kematian yang tiba-tiba.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا يَزَالُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي مِرْيَةٍ مِنْهُ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ السَّاعَةُ بَغْتَةً أَوْ يَأْتِيَهُمْ عَذَابُ يَوْمٍ عَقِيمٍ

“Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al Qur’an, hingga datang kepada mereka saat (kematiannya) dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat..” (Al-Hajj, 22 : 55)

Ketiga, al-inhiraf (penyimpangan). Manakala manusia tidak mau berpegang teguh kepada petunjuk Allah Ta’ala; tidak mau berkomitmen melaksanakan tuntunan-Nya; bahkan mereka malah mengikuti hawa nafsu dan akal fikirannya; maka pada saat itulah hatinya akan keras membatu. Terhijablah petunjuk  Allah   Ta’ala darinya.

Ia pun melangkah semakin jauh dari jalan yang lurus, sehingga tak mampu mengenal Allah Ta’ala dengan benar. Hal seperti ini pernah dilakukan oleh orang-orang Yahudi pada masa lalu. Allah Ta’ala berfirman,

فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Maidah, 5 : 13)

Keempat, al-ghaflah (kelalaian). Dalam poin pertama telah disebutkan bahwa jika manusia tidak menggunakan potensi dirinya untuk memahami ayat-ayat Allah Ta’ala, maka mereka akan terhalang dalam mengenal-Nya. Hal ini karena kebodohan mereka itu membuat mereka lalai atau lengah,

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar-Rum, 30: 7)

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf, 7 : 179).

Semoga Allah Ta’ala menjauhkan kita dari kedua akar yang menjadi penyebab terhalangnya kita mengenal Allah.Wallahu A’lam.(A/RS3/P1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.