PEREMPUAN AFGHAN DI ANTARA MENGEMUDI DAN BUDAYA LIBERAL

Wartawati Afghan, Rokhsa Azamee (23) menjadi perhatian kaum lelaki ketika dia mengemudi mobil di jalan Kabul. (AFP PHOTO / Wakil Kohsar)
Wartawati Afghan, Rokhsa Azamee (23) menjadi perhatian kaum lelaki ketika dia mengemudi mobil di jalan Kabul. (AFP PHOTO / Wakil Kohsar)

Oleh Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Sejak Rokhsar Azamee mulai mengemudi di jalan-jalan Kabul tahun lalu, ia harus bertahan dari perendahan, ejekan, dan bahkan ancaman terhadap nyawanya dari beberapa pria yang sengaja menyebabkan “kecelakaan” untuk mengganggunya. Tapi dia tidak tergoyahkan.

Wartawan 23 tahun ini belajar mengemudi untuk menghindari kenakalan laki-laki di jalan saat dia setiap pagi menunggu taksi.

Namun dengan membeli mobil sendiri belum melindunginya dari dominasi laki-laki, masyarakat ultra-konservatif Afghanistan.

“Bagi banyak pria,” katanya. “Itu adalah hal yang baru ketika melihat seorang wanita mengendarai mobil, mereka akan mengganggu Anda. Salah satu cara yang dilakukannya adalah dengan menyebabkan kecelakaan.”

Suatu ketika dia menuju pulang dengan Toyota Corolla 1997 putihnya, dia diikuti oleh empat atau lima orang mengendarai sebuah SUV.

Kecemasannya muncul, ia terus mengemudi sampai akhirnya sekelompok lelaki itu menghadangnya di sebuah jalan yang cukup sepi di pusat kota Kabul, memaksanya untuk menepi.

Tetapi ketika orang-orang itu mulai keluar dari kendaraannya, Azamee melihat kesempatan untuk melarikan diri, berbalik cepat kemudian menginjak pedal gas.

“Itu pengalaman yang sangat mengerikan bagi saya,” katanya.

Wanita Mengemudi Menuju Liberalisasi?

Tidak selalu seperti ini. Hingga tahun 1990-an perempuan Afghanistan biasa ditemukan di belakang kemudi, bahkan mengemudi bus setidaknya di kota-kota besar.

Tapi pada 1992, ketika rezim komunis di Kabul runtuh dan perang saudara pecah, sopir perempuan perlahan dilarang.

Dan ketika kelompok Taliban meraih kekuasaan pada 1996, wanita dilarang tidak hanya dari mengemudi, tetapi sampai meninggalkan rumah mereka tanpa burqa atau tanpa pendamping laki-laki (muhrim).

Perubahan tidak terjadi lagi sampai invasi Amerika Serikat (AS) menggulingkan Taliban dari kekuasaan pada akhir 2001 dan pemerintah yang didukung oleh Washington mengambil alih.

Kesetaraan gender diabadikan dalam konstitusi Afghanistan dan jutaan perempuan keluar dari rumahnya untuk bersekolah, ke universitas dan bekerja di kantor lagi.

Empat belas tahun, namun bagaimanapun, ide sopir wanita masih dipandang sebagai kontroversial, provokatif dan bahkan tidak bermoral.

Islam tidak melarang perempuan mengemudi, tetapi hukum dan norma-norma budaya bervariasi di seluruh dunia Islam, dari Arab Saudi di mana perempuan dilarang mengemudi seluruhnya hingga Iran dan Pakistan di mana sopir perempuan lebih umum.

Babrak, seorang pria Afghanistan berusia lima puluhan mengatakan kepada AFP, di Afghanistan, sopir wanita dipandang memaksakan kebudayaan Barat dan penolakan terhadap nilai-nilai Islam.

“Perempuan, anak perempuan muda khususnya, mengemudi dapat meningkatkan amoralitas dan bahkan menyebabkan prostitusi dalam masyarakat Islam,” katanya.”Wanita-wanita yang mengemudi mendorong saudara Muslim kita yang taat melakukan amoralitas. Hal ini menjadi tak tertahankan.”

Tidak jarang di Afghanistan berpandangan, pria yang memegang nilai-nilai kuat agama Islam khawatir, kebebasan seperti meningkatkan kemandirian perempuan dan kurangnya pendamping laki-laki jika keluar rumah, akan menghasilkan perilaku yang semakin liberal.

Tapi di kota-kota besar seperti Kabul, wanita sedang berusaha mengalihkan perubahan ke tatanan yang lebih modern. Peningkatan jumlah pengemudi perempuan telah berkembang pada tingkat yang stabil. Perkiraan departemen lalu lintas Kabul menunjukkan, ada hingga 1.000 perempuan setiap tahun sekarang mencoba bergabung dengan bisa mengemudi sendiri ke sekolah.

Pada tahun-tahun awal setelah akhir Taliban memerintah, pengemudi perempuan ada sekitar 50 orang, kepala polisi lalu lintas Kabul Jenderal Asadullah mengatakan kepada AFP.

“Para wanita memiliki hak untuk belajar, mereka memiliki hak untuk mengemudi, dan kami mendorong mereka untuk itu,” katanya.

Aktivis sosial Sohaila Sama (25 tahun) berharap bisa mengendarai mobil sendiri ke dataran hijau Afghanistan utara tanpa penganiayaan.

“Saya merasa lebih baik, lebih percaya diri karena saya belajar cara mengemudi,” katanya.

“Ketika saya melihat wanita lain memacu kendaraan mereka, saya merasa negara kita seperti bergerak maju menuju masa depan yang lebih baik, yang lebih beradab.”

Kemajuan yang menjanjikan, tetapi mungkin tidak cukup bagi masyarakat Afghanistan.

Sebuah kebangkitan dari kelompok Taliban dalam beberapa bulan terakhir membuat pejabat PBB dan aktivis HAM khawatir bahwa keuntungan rapuh para wanita itu bisa lebih terkikis ketika pasukan internasional akhirnya meninggalkan Afghanistan.

Azamee yang tanpa penutup kepala dan melalui jalan-jalan ibukota dengan mobilnya, cukup merasa frustrasi jika nantinya Taliban kembali. (T/P001/R02)

Sumber: Al Arabiya

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Bahron Ansori

Comments: 0