Lebanon telah lumpuh oleh lebih dari sebulan protes yang menuntut perbaikan seluruh sistem politik.
Berikut ini adalah rekam tahapan aksi protes berlangsung sejak dimulainya, 17 Oktober 2019.
Kemarahan terhadap pajak WhatsApp
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Pada 17 Oktober, pemerintah mengumumkan pajak atas panggilan yang dilakukan melalui aplikasi pengiriman pesan seperti WhatsApp, yang banyak digunakan di Lebanon.
Keputusan di tengah krisis ekonomi yang menjulang, di negara yang infrastrukturnya tetap bobrok hampir tiga dekade sejak berakhirnya perang saudara, pengumuman itu dilihat oleh banyak orang sebagai langkah terlalu jauh.
Ribuan orang turun ke jalan-jalan di Beirut dan kota-kota lainnya. Sebagian mereka meneriakkan slogan “rakyat menuntut jatuhnya rezim”. Sementara pasukan keamanan menembakkan gas air mata untuk mencoba membubarkan massa.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Pemerintah kemudian membatalkan pajak aplikasi perpesanan di hari yang sama, tetapi protes terus berlanjut.
Demo tumbuh
Pada 18 Oktober, ribuan demonstran dari spektrum yang luas, dari sekte dan afiliasi politik membuat ibu kota lumpuh.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Mereka menuntut perombakan sistem politik, mengutip berbagai keluhan mulai dari langkah-langkah penghematan dan korupsi negara, hingga infrastruktur yang buruk dan pemadaman listrik yang merajalela.
Tentara membuka kembali beberapa jalan raya yang dihadang oleh pengunjuk rasa dan membubarkan kerumunan besar di Beirut dengan meriam air dan gas air mata. Lusinan orang ditangkap.
Demonstrasi berkembang pada hari-hari berikutnya. Pertemuan besar juga terjadi di kota terbesar kedua Tripoli dan pusat-pusat lainnya.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Reformasi diumumkan
Pada 21 Oktober, Perdana Menteri Saad Hariri mengumumkan pemerintahannya telah menyetujui serangkaian reformasi ekonomi, termasuk mengurangi gaji para anggota parlemen dan menteri.
Namun, protes terus berlanjut dan para demonstran menolak tindakan baru itu sebagai tidak cukup.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Hizbullah mendukung pemerintah
Pada tanggal 25 Oktober, pemimpin gerakan bersenjata Syiah Hizbullah yang bersama sekutunya memegang kursi mayoritas di parlemen, mengatakan kepada para pendukungnya untuk tidak mengambil bagian dalam protes.
Sekjen Hizbullah Hassan Nasrallah juga memperingatkan kemungkinan terjadinya kekacauan jika pemerintah mundur.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Keesokan harinya, Hizbullah memobilisasi aksi unjukrasa, memicu pertikaian dengan para demonstran anti-pemerintah.
Pemerintah mengundurkan diri
Pada tanggal 29 Oktober, puluhan demonstran kontra menyerang demonstran anti-pemerintah di Beirut.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Malam itu, Hariri mengajukan pengunduran dirinya bersama pemerintahannya, mendorong pengunjuk rasa sorak-sorai dan menari di jalanan.
Hari berikutnya, Presiden Michel Aoun meminta pemerintah untuk tetap dalam kapasitas sementara sampai kabinet baru dibentuk.
Para pengunjuk rasa berkumpul kembali pada hari-hari berikutnya, menuntut pemerintah teknokrat, independen dari partai politik tradisional yang terbagi dalam garis sektarian.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Mahasiswa bergabung
Dalam pidato televisi langsung pada 3 November, Presiden Aoun mengumumkan rencana untuk mengatasi korupsi, mereformasi ekonomi dan membentuk pemerintahan sipil.
Tetapi ribuan pemrotes mengalir kembali ke Lapangan Martir Beirut, meneriakkan “Revolusi!”
Pada 6 November, ratusan mahasiswa memimpin demonstrasi di seluruh negeri. Keesokan harinya, ribuan mahasiswa dan pelajar sekolah menengah juga turun ke jalan.
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Pada 12 November, Aoun mengatakan bahwa orang-orang Lebanon yang tidak bahagia dengan mereka yang berkuasa harus “beremigrasi”.
Pernyataannya memicu letusan demonstrasi baru. Tentara melepaskan tembakan untuk membubarkan pengunjuk rasa di selatan Beirut, menembak seorang pria yang kemudian meninggal karena luka-lukanya.
Parlemen dikepung
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu
Pada 15 November, para pengunjuk rasa bereaksi marah atas penunjukan taipan bisnis berusia 75 tahun dan mantan menteri keuangan Mohammed Safadi sebagai perdana menteri baru.
Dua hari kemudian, Safadi mengumumkan dia tidak akan mengambil peran itu.
Aoun pada 19 November mengatakan, dia terbuka untuk pemerintah yang akan mencakup perwakilan dari gerakan rakyat.
Terkepung oleh pengunjuk rasa yang marah, parlemen Lebanon menunda sesi untuk membahas rancangan undang-undang yang kontroversial.
Pada 21 November, dalam pidatonya menjelang peringatan ulang tahun kemerdekaan ke-76 dari Perancis, Aoun menegaskan kembali seruannya untuk berdialog. (AT/RI-1/P1)
Sumber: Nahar Net
Mi’raj News Agency (MINA)