Oleh: Illa Kartila, Redaktur Senior Miraj Islamic News Agency (MINA)
Meskipun tentu saja pesantren tidak pernah mengajarkan kekerasan, pembunuhan, pengeboman dan tindak radikalisme lainnya – justru menumbuhkan cinta Tanah Air, mendukung cita-cita luhur kemerdekaan, dan menolak ekstrimisme – namun dalam beberapa kasus, lembaga pendidikan ini seolah-olah ‘dilibatkan’ di dalamnya.
Terkait ‘stigma’ yang belum tentu benar ini, maka Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid meminta masyarakat untuk tidak mendiskreditkan pondok pasantren dengan aksi-aksi terorisme yang terjadi di Indonesia.
Dia sangat menyayangkan jika pesantren dicurigai membawa benih radikalisme dan terorisme. “Justru seharusnya pesantren dihormati dan diajak bersama-sama untuk menghadirkan generasi Islam yang moderat dan Islam yang memajukan bangsa.”
Baca Juga: Tak Ada Tempat Aman, Pengungsi Sudan di Lebanon Mohon Dievakuasi
Hidayat Nur Wahid juga mengingatkan masyarakat untuk tidak terjebak dalam stigma negatif bahwa pesantren kerap membawa benih radikalisme dan terorisme. Sebab, dulu pada masa perang pra kemerdekaan, santri dan kiai serta pemimpin yang berada di pesantren berjuang untuk Indonesia.
Setelah Indonesia merdeka, para santri dan kiai pemimpin pesantren juga mengisi kemerdekaan dengan aktivitas yang luar biasa seperti melalui pendidikan dan aktivitas penting lainnya. “Jadi tidak benar jika pondok pesantren dikaitkan dengan radikalisme apalagi terorisme,” kata Hidayat.
Sistem pendidikan pesantren yang sangat beragam, menurut dia masih relevan hingga saat ini. Ada pesantren yang khusus mengajarkan pendidikan agama, ada pula yang menggabungkannya dengan pendidikan umum
Hidayat mencontohkan Gontor. Saat ini sudah mempunyai ribuan alumni dengan kurang lebih 380 pondok pesantren. Alumninya pernah menjadi ketua MPR, menteri, semuanya menghadirkan kebaikan. “Ini adalah suatu gambaran bahwa pondok pesantren tidak mengajarkan radikalisme apalagi terorisme, tapi hal-hal yang bermanfaat bagi Indonesia.”
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Terlebih lagi, katanya, pondok pasantren itu sangat bertumpu pada UUD 1945, pasal 31 ayat 3 dan 5. “Di dalamnya termaktub harus menegaskan pentingnya akhlak mulia, iman dan takwa, menjunjung tinggi nilai agama.”
Sependapat dengan Nur Wahid, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Dr H Mohsen menegaskan, pondok-pondok pesantren di Tanah Air tidak mungkin mengajarkan paham yang radikal atau menentang negara.
Penegasan ini disampaikan menanggapi pernyataan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) belum lama ini yang menyebutkan adanya 19 pesantren yang terindikasi memiliki afiliasi dengan kelompok radikal.
Kemenag sendiri belum mengetahui secara persis tentang 19 pesantren yang terindikasi itu. Namun dia yakin, tidak ada pesantren yang mengajarkan radikalisme, apalagi ada Peraturan Menag No. 13/2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam yang diterjemahkan dalam Keputusan Dirjen Pendidikan Islam No. 5877/2014 tentang Pedoman Izin Operasional Pesantren.
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Dalam regulasi itu dinyatakan bahwa pondok pesantren harus mengajarkan pemahaman keagamaan yang “rahmatan lil ‘alamin”, moderat, damai, dan taat terhadap NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai pilar berbangsa dan bernegara.
Selain itu, secara sosiologis pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia merupakan “tulang punggung” negara. “Jika ada orang yang meruntuhkan negara, pondok pesantrenlah yang pertama kali berada di garda depan,” kata Mohsen.
“Bila ada lembaga yang mengajarkan radikalisme, maka lembaga itu bukanlah pondok pesantren. Bisa jadi, sesuatu yang bukan pesantren lalu dikatakan sebagai pondok pesantren. Karena itu, kita jangan sampai melakukan generalisasi bahwa pondok pesantren itu radikal,” ujarnya.
Benteng lawan ektrimis
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Guru besar UIN Syarif Hidayatullah dan Prof Dr Ahmad Satori Ismail memang tidak menampik tudingan BNPT tersebut. Ia hanya berharap pemerintah dan lembaga-lembaga terkait lainnya benar-benar mencermati keberadaan pondok pesantren radikal tersebut.” Selain mencoreng citra pondok pesantren, mereka juga telah melakukan pelanggaran.”
Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (Ikadi) ini menyebut pesantren yang mengajarkan paham radikalisme sebagai pesantren keblinger karena melenceng dari tujuan awal pendirian lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia itu.
Satori mengingatkan mereka yang kurang mengerti dunia pesantren bahwa “fungsi pesantren sangat luar biasa dan itu sudah berlangsung berabad-abad. Sekarang ribuan pesantren besar dan kecil tetap mengajarkan Islam yang indah dan damai. Tak salah jika pesantren identik dengan tempat lahirnya ulama-ulama besar.”
Dia meminta agar BNPT lebih masif lagi menggelar sosialisasi tentang paham radikalisme dan terorisme di lingkungan pesantren. “Kita perlu terus membentengi pesantren dari pengaruh paham-paham tersebut. Dialog dan sosialisasi pencegahan terorisme harus dimasifkan agar para santri memahami bahwa sekarang ada kelompok yang ingin mengadu domba Islam.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Salahudin Wahid, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, juga tidak menyangkal sinyalemen adanya pesantren yang berfaham radikal. “Tapi saya tidak tahu jumlah pastinya,” katanya. “Namun hampir sebagian besar pesantren berorientasi kepada NU yang punya nasionalisme tinggi karena perjalanan sejarah bangsa kita yang panjang.”
Menurut Gus Solah, seharusnya pesantren tidak boleh bersentuhan dengan hal-hal berbau radikalisme dan terorisme. Selama sekian abad pesantren memberi ilmu dan pemahaman keagamaan yang toleran, seimbang, dan adil.
Sementara itu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anis Baswedan menilai, pondok pesantren adalah tempat pendidikan agama yang utama dan kabar-kabar yang beredar mengenai pesantren sebagai tempat diajarkannya radikalisme dan ekstremisme, terlalu berlebihan.
“Pondok pesantren merupakan tempat pendidikan yang mengajarkan Islam yang rahmatanlilalamin. Untuk menghadapi isu ekstrimisme yang dibutuhkan adalah kemampuan berpikir kritis. Kalau kita kritis, maka ide apapun yang tidak masuk akal tidak akan diterima,” katanya. “Jadi benteng kita harus kuat menghadapi ekstrimisme.”
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Adalah Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang menegaskan bahwa corak Islam di Indonesia adalah Islam Nusantara yang memiliki karakter kesantunan, keramahtamahan, senyum, dan kedamaian. Itu ajaran dari Nabi. Bukan kekerasan.”
Kepada pengasuh Pesantren Alqur’aniyy, KH Abdul Karim Ahmad dan para santrinya, kepala negara berpesan agar mereka ikut menjaga Kota Solo, sehingga terhindar dari ajaran radikalisme dan ekstrimisme. Sedikit demi sedikit (keduanya) mesti kita waspadai. Jangan sampai membesar, sebab dapat membahayakan Indonesia.”
Peneliti Pusat Studi Pesantren, Ubaidilah berpendapat, keberadaan pesantren yang mengajarkan radikalisme dinilai tidak sejalan dengan tujuan utama pendirian pesantren. Menurut dia, indikator pesantren yang mengajarkan radikalisme bisa dilihat dari aktivitas pemimpin dan alumninya.
Ada indikator lainnya untuk mengetahui pesantren terindikasi radikalisme, yakni kurikulum yang digunakan pesantren tersebut. Kurikulum menjadi basis penting untuk mengukur potensi radikalisme sebuah pesantren. “Namun Kurikulum,” katanya, “jangan menjadi variabel utama, juga harus dilihat ekspresi dari elemen pesantren yang terindikasi radikalisme itu.” (R01/P4)
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)