Peranan Polisi India dalam Kerusuhan New Delhi

Para pengacara di New Delhi memprotes pemerintah, Jumat, 6 Maret 2020. (Foto: Atul Loke/NYT)

Kaushar Ali adalah seorang pelukis rumah. Ia sedang berusaha pulang ketika dia terjebak dalam bentrokan massa.

Ali tidak bisa mencapai anak-anaknya. Massa Hindu dan Muslim saling melempar batu, menghalangi jalan yang harus dilintasinya.

Ali yang adalah seorang Muslim kemudian meminta bantuan kepada beberapa polisi. Namun, itu menjadi kesalahannya.

Para petugas membantingnya ke tanah dan menendang kepalanya. Mereka mulai memukulinya, demikian pula terhadap beberapa Muslim lainnya.

Ketika orang-orang itu berdarah, memohon belas kasihan, para petugas tertawa, menusuk mereka dengan tongkat dan memaksa mereka menyanyikan lagu kebangsaan.

Penganiayaan aparat itu terjadi pada 24 Februari dan direkam dalam sebuah video. Salah satu dari korban meninggal dua hari kemudian karena luka dalam.

“Polisi bermain-main dengan kami,” kata Ali kepada The New York Times. Dia ingat mereka berkata, “Bahkan jika kami membunuhmu, tidak ada yang akan terjadi pada kami.”

Sejauh ini, mereka benar.

 

Hasil ekstremisme Hindu di pemerintahan

India telah menderita pertumpahan darah sektarian terburuk selama bertahun-tahun. Banyak orang di sini melihat Hal itu sebagai hasil yang tak terhindarkan dari ekstremisme Hindu yang berkembang di bawah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi.

Partainya menganut merek nasionalisme Hindu militan dan para pemimpinnya secara terbuka memfitnah .

Dalam beberapa bulan terakhir, Modi telah memimpin serangkaian kebijakan yang secara luas dianggap anti-Muslim, seperti menghapus status khusus Jammu dan Kashmir yang merupakan satu-satunya negara bagian mayoritas Muslim di India.

Sekarang, semakin banyak bukti yang muncul bahwa polisi Delhi, yang berada di bawah komando langsung pemerintah Modi dan memiliki sangat sedikit perwira Muslim, secara bersama-sama bergerak melawan Muslim dan kadang-kadang secara aktif membantu gerombolan Hindu yang mengamuk di New Delhi pada akhir Februari, membakar rumah-rumah Muslim dan menargetkan keluarga Muslim.

Beberapa video menunjukkan, petugas polisi memukuli dan melemparkan batu ke arah demonstran Muslim dan melambaikan tangan kepada gerombolan Hindu untuk bergabung bersama mereka.

Seorang komandan polisi mengatakan, ketika kekerasan meletus yang pada saat itu kebanyakan massa Hindu, petugas di daerah yang terkena dampak diperintahkan untuk menyimpan senjata mereka di pos-pos.

Wartawan The New York Times mendengar beberapa petugas polisi berteriak satu sama lain bahwa mereka hanya memiliki tongkat dan mereka membutuhkan senjata untuk menghadapi massa yang banyak.

Beberapa pengamat menuduh pasukan polisi sengaja menempatkan sangat sedikit petugas di jalan-jalan, dengan daya tembak yang tidak memadai ketika kekerasan berubah dari bentrokan antara sesama pemrotes menjadi pembunuhan yang menargetkan Muslim.

Dua pertiga dari lebih 50 orang yang terbunuh telah diidentifikasi adalah Muslim. Aktivis HAM menyebutnya pembantaian terorganisir.

Kaushar Ali, muslim yang dipukuli oleh pada kerusuhan 23 Februari 2020 di New Delhi. (Foto: Atul Loke/NYT)

Penegak hukum dipolitisasi BJP

Meskipun populasi India adalah 14 persen Muslim dan di New Delhi sebanyak 13 persen, total perwakilan Muslim di kepolisian Delhi kurang dari 2 persen.

Budaya kepolisian India telah lama brutal, bias, antiminoritas dan hampir bersifat kolonial, peninggalan dari masa pemerintahan Inggris di mana polisi tidak memiliki ilusi melayani masyarakat, tetapi digunakan untuk menekan populasi yang rentan.

Namun tampaknya sekarang berbeda, pengamat berpendapat, betapa mesin penegakan hukum India telah sangat dipolitisasi oleh Partai Bharatiya Janata (BJP), blok pemerintahan nasionalis Hindu Perdana Menteri Narendra Modi.

Pejabat polisi, terutama di negara-negara bagian yang dikendalikan oleh partai Modi, telah sangat selektif dalam target mereka, seperti seorang kepala sekolah Muslim di Karnataka yang dipenjara selama lebih dari dua pekan atas tuduhan penghasutan, setelah murid-muridnya bermain sandiwara tentang undang-undang imigrasi baru yang menurut petugas polisi mengkritik Modi.

Beberapa hakim juga tampaknya terperangkap – atau diusir – oleh gelombang Hindu-nasionalis.

Seorang hakim Delhi yang menyatakan tidak percaya bahwa polisi belum menginvestigasi anggota partai BJP, yang banyak dituduh menghasut kekerasan baru-baru ini di Delhi, dikeluarkan dari kasus ini dan dipindahkan ke negara bagian lain.

Dan pada saat yang sama, Mahkamah Agung membuat serangkaian putusan yang menguntungkan pemerintah, salah satu hakim, Arun Mishra, secara terbuka memuji Modi sebagai “visioner jenius.”

Semua itu membuat para ekstremis Hindu berani di jalan.

Lingkungan bermasyarakaat campuran agama dan sangat ramai di timur laut Delhi yang terbakar pada akhir Februari telah mereda. Tetapi beberapa politisi Hindu terus memimpin apa yang mereka sebut “pawai perdamaian”.

Mereka menampilkan warga Hindu korban kekerasan dengan kepala dibungkus perban putih, mencoba untuk membalikkan narasi dan membuat umat Hindu tampak seperti para korban, yang memicu kebencian yang lebih anti-Muslim.

Sejumlah Muslim meninggalkan lingkungan mereka setelah kehilangan kepercayaan pada polisi. Lebih dari 1.000 jiwa telah memadati sebuah kamp untuk para pengungsi internal yang terus bertambah di pinggiran Delhi.

Hingga 13 Maret 2020, sekitar 1.000 warga Muslim New Delhi memilih tinggal di kamp pengungsi Mustafabad, utara Ibu Kota. Mereka meninggalkan rumah karena takut ditargetkan oleh kelompok Hindu. (Foto: Atul Loke/NYT)

Populasi Muslim terbangun

Para pemimpin Muslim melihat kekerasan itu sebagai kampanye yang disetujui negara untuk memberi pelajaran kepada kalangan Muslim. Setelah bertahun-tahun tetap diam ketika gerombolan perintis Hindu membunuh Muslim dengan impunitas dan pemerintah Modi menghancurkan kekuatan politik mereka, populasi Muslim India terbangun pada bulan Desember dan turun ke jalan, bersama dengan banyak orang India lainnya, untuk memprotes Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAA) yang menguntungkan migran dari setiap agama besar di Asia Selatan – kecuali untuk Muslim.

Para pemimpin Muslim mengatakan, pemerintah Modi sekarang mencoba untuk mendorong seluruh komunitas kembali tenang.

“Ada metode untuk kegilaan ini,” kata Umar Khalid, seorang aktivis Muslim. “Pemerintah ingin membuat seluruh komunitas Muslim bertekuk lutut, mengemis hidup mereka dan mengemis mata pencaharian mereka.”

“Anda dapat membacanya di buku-buku mereka,” katanya, merujuk pada teks-teks dasar oleh kaum nasionalis Hindu. “Mereka meyakini bahwa umat Islam India harus hidup dalam ketakutan abadi.”

Modi hanya bicara sedikit sejak pertumpahan darah meletus, kecuali beberapa tweet yang mendesak perdamaian.
Para pejabat kepolisian Delhi menyangkal bias anti-Muslim dan mengatakan bahwa mereka “bertindak cepat untuk mengendalikan hukum dan ketertiban,” yang menurut umat Islam dan Hindu di lingkungan itu tidak benar.

Polisi menjawab “tanpa memihak siapa pun di jalur agama atau sebaliknya,” menurut jawaban tertulis yang diberikan oleh M.S. Randhawa, juru bicara polisi.

Pejabat polisi mengatakan, Ali dan pria Muslim lainnya terluka oleh pengunjuk rasa dan diselamatkan oleh polisi, meskipun video jelas menunjukkan bahwa mereka dipukul oleh petugas polisi.

Di sisi lain, petugas kepolisian juga menunjukkan bahwa seorang petugasnya tewas dan lebih dari 80 lainnya terluka. Mereka menunjukkan video kerumunan besar pengunjuk rasa Muslim menyerang petugas yang lebih banyak jumlahnya.

Para pengamat mengatakan, kekerasan di New Delhi sesuai dengan pola, kekacauan dibiarkan mengamuk selama beberapa hari dengan minoritas terbunuh, sebelum pemerintah mengendalikannya.

Saat Muslim dan Sikh dibantai

Pada 1984, di bawah Partai Kongres, yang sering menyebut dirinya mewakili kepentingan minoritas, polisi di New Delhi mundur selama beberapa hari ketika massa membantai 3.000 orang Sikh.

Pada tahun 1993, sekali lagi di bawah pemerintahan Kongres, kerusuhan melanda Mumbai dan ratusan Muslim terbunuh.

Pada tahun 2002 di Gujarat, ketika Modi adalah menteri utama negara bagian, massa Hindu membantai ratusan Muslim. Modi dituduh terlibat, meskipun kemudian dia dibebaskan oleh pengadilan.

Beberapa pensiunan komandan polisi India mengatakan, aturan dalam menumpas kekerasan komunal adalah mengerahkan kekuatan maksimum dan melakukan banyak penangkapan, tetapi keduanya tidak terjadi di Delhi.

Ajai Raj Sharma, mantan komisaris, menyebut pertunjukan itu ‘tidak bisa dijelaskan.’ “Itu tidakbisa dimaafkan.”

Ketika kekerasan dimulai pada 23 Februari, orang-orang Hindu berkumpul untuk memaksa membubarkan protes Muslim yang damai di dekat lingkungan mereka. Pada sore harinya, baik warga Muslim dan Hindu telah diserang. Puluhan orang telah ditembak, tampaknya dengan senjata rakitan.

Tetapi pada 25 Februari, arah telah berubah. Massa Hindu menyebar dan menargetkan keluarga Muslim. Kekerasan pecah.

Petugas polisi menyaksikan gerombolan orang Hindu, dahi mereka ditandai dengan garis safron, berkeliaran di jalanan dengan pemukul bisbol dan besi batangan berkarat. Mereka mencari Muslim untuk dibunuh. Langit dipenuhi dengan asap. Rumah, toko, dan masjid Muslim dibakar.

Ketika seorang reporter The New York Times mencoba berbicara kepada penduduk yang berdiri di dekat petugas polisi hari itu, segerombolan pria mengelilinginya dan merobek buku catatan itu dari tangannya.

Ketika so reporter meminta bantuan polisi, seorang polisi berkata, “Saya tidak bisa. Para pria muda ini sangat tidak stabil.”

Kementerian Dalam Negeri yang mengendalikan kepolisian Delhi dan dipimpin oleh Amit Shah, salah satu nasionalis Hindu yang paling agresif di BJP, telah mendapat banyak kritik atas kegagalan kepolisian.

Para pejabat kepolisian Delhi membantah diinstruksikan oleh pemerintah pusat untuk bersikap santai terhadap para pembuat onar. Kementerian Dalam Negeri tidak menanggapi permintaan komentar terkait kritikan itu.

Pada hari Kamis, 5 Maret 2020, selama debat di parlemen, Shah bersumpah akan membawa para pelaku ke pengadilan, “terlepas dari kasta, agama atau afiliasi politik mereka.”

Dia telah membela polisi dan menyebut kekerasan itu konspirasi. Ia mengatakan, para penyelidik menemukan kaitan dengan kelompok bersenjata Islamic State (ISIS).

Namun, banyak pengamat mempertanyakan seberapa banyak ISIS ada hubungannya dengan kekerasan yang terjadi. Pasukan Delhi yang berjumlah 80.000, memiliki kurang dari 2.000 perwira Muslim dan hanya segelintir komandan Muslim, menurut analisis yang dilakukan pada 2017 oleh Commonwealth Human Rights Initiative.

Pejabat polisi Delhi tidak menyangkal hal itu dan para pemimpin Muslim mengatakan bahwa perilaku polisi bias di seluruh India.

“Polisi India sangat kolonial dan kasta-ist,” kata Shahid Siddiqui, mantan anggota Parlemen. Perilaku polisi, katanya, selalu “lebih keras dan agresif terhadap yang lemah.”

Populasi India sekitar 80 persen Hindu. Gerombolan Hindu telah mengancam umat Islam di beberapa lingkungan di Delhi untuk pergi sebelum liburan Holi umat Hindu yang dirayakan 9-10 Maret.

Seorang wanita Muslim, yang memakai nama samaran Baby, membuka pintu beberapa hari yang lalu. Dia menemukan 50 pria di luar dengan sebuah buku catatan di tangan mereka, yang berisi daftar alamat orang Muslim. Dia kemudian berkemas dan berencana segera pergi demi keselamatan.

“Ya Allah, mengapa kamu tidak menjadikanku seorang Hindu?” katanya, suaranya bergetar. “Apakah salah saya bahwa saya dilahirkan sebagai seorang Muslim?” (AT/RI-1/RS1)

Sumber: The New York Times

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Rudi Hendrik

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.