Protes Panjang Keluarga Korban Perang Gaza Tuntut Bantuan

Oleh: Rudi Hendrik, Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Dua pekan sudah lamanya, Fatima Arief (61) berkemah di Gaza City di bawah teriknya bulan Juli. Tindakannya itu adalah upaya untuk menekan Pemerintah Palestina agar memberikan kompensasi uang setelah kematian suami dan anaknya selama perang di Gaza 2014.

Dua tahun lalu, jet tempur penjajah Israel menyerang rumah keluarga Fatima di Shujaiyah, Gaza bagian timur, membunuh suaminya dan salah satu anaknya. Sejak itu, ia telah berjuang dalam hidup untuk menaruh makanan tetap ada di atas meja kepada lima cucunya.

“Kerugian mereka telah menempatkan keluarga saya dalam bahaya keuangan lebih dalam,” kata Fatima kepada Al-Jazeera. “Beraninya (pejabat PA) mengatakan bahwa para syuhada dan yang terluka paling terhormat, sementara mereka meninggalkan keluarganya dalam kondisi rentan?”

Fatima adalah salah satu di antara ratusan warga Palestina di Gaza yang telah turun ke jalan bulan ini, sebagian bahkan mendirikan tenda untuk tidur di kamp protes semalam. Mereka menuntut pembayaran dari Otoritas Palestina (PA).

Di tengah krisis ekonomi yang mengerikan di Jalur Gaza, ribuan warga belum menerima tunjangan bulanan mereka dari PA, sehingga semakin sulit bagi mereka untuk bertahan hidup.

Para pengunjuk rasa mengatakan, mereka akan tetap berada di jalan-jalan sampai tuntutan mereka untuk menerima bantuan terpenuhi, meskipun mereka harus melalui hari-hari di bawah panas yang melelahkan.

“Kami diperlakukan seperti pengemis, meskipun kami menuntut hak-hak dasar kami,” kata Salwa, putri Fatima.

Banyak dari para demonstran mengungkapkan kemarahannya atas antara pernyataan dukungan PA kepada keluarga mereka yang kehilangan sanak keluarga dalam perang Gaza, dan kegagalan untuk menyediakan bantuan bagi keluarga mereka.

Dalam dua tahun sejak perang, warga Jalur Gaza yang terkepung telah mengatur banyak protes untuk menyoroti perjuangan mereka.

Mohammed El-Nahhal yang memimpin sebuah yayasan untuk keluarga korban dan berafiliasi dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), mencatat bahwa nama-nama keluarga yang terkena dampak perang telah dikirim ke pimpinan Palestina di Ramallah.

“Kami sedang menunggu perintah kepemimpinan Palestina untuk mengenali data keluarga ini sehingga mereka bisa mendapatkan tunjangan mereka,” kata Nahhal.

Ia mencatat bahwa krisis keuangan yang sedang berlangsung di wilayah itu, bersama dengan divisi politik, keduanya memainkan peran dalam penundaan.

Amal Abdelelall yang pulang ke Gaza menjelaskan bagaimana anaknya meninggal setelah jet penjajah Israel mengebom rumah tetangganya di selatan kota Rafah.

“Kami telah melakukan protes selama dua tahun hingga sekarang, dan tampaknya ini tidak cukup lama untuk mendesak PA mengakhiri cobaan bagi kami,” kata Abdelelall yang memiliki putri berusia tujuh bulan di pangkuannya.

Alaa El-Barawi, juru bicara komite yang mewakili keluarga korban di Gaza mengatakan, inilah sebabnya mengapa protes telah meningkat ke titik yang membuat keluarga korban perang berkemah semalaman dan berpartisipasi dalam aksi mogok makan untuk meningkatkan kesadaran terhadap penderitaan mereka.

Menurut Barawi, PLO telah berjanji akan mengakhiri krisis itu sebelum Ramadhan, tapi hingga masa liburan datang dan pergi, tidak ada kemajuan. Banyak pengunjuk rasa yang menuding Presiden Palestina Mahmoud Abbas secara pribadi bertanggung jawab, karena ia memiliki kekuasaan untuk memerintahkan pencairan langsung dana bantuan.

Keluarga dari mereka yang tewas dalam perang Gaza mengkhawatirkan bahwa kecenderungan politik para elit mungkin menjadi faktor dalam penundaan bantuan untuk mereka, meski telah ada kesepakatan kesatuan baru antara kelompok Fatah pimpinan Abbas dan Hamas di Jalur Gaza.

Namun, sejauh ini pihak dari PA enggan menanggapi permintaan keluarga 2014.

Selain bantuan keuangan, keluarga korban perang juga menuntut bantuan medis dan pendidikan dari pemerintah palestina.

Othman El-Othmani, seorang pria kepala keluarga, tidak dapat melanjutkan pekerjaannya di bidang konstruksi setelah mengalami cedera kaki parah di perang 2014. Ia mengeluh karena ia menjadi sangat sulit untuk merawat dan membiayai keluarganya.

“Saya tidak bisa bekerja untuk memberi makan anak-anak saya, dan bukannya dibantu dengan serius, saya justeru terpaksa mengambil bagian dalam protes panjang yang melelahkan untuk meminta hak saya, sehingga saya dapat menyelamatkan keluarga saya,” kata Othmani (36). (P001/R05)

Sumber: Tulisan Isra Namey di Al-Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)