Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Sebagian warga di Jalur Gaza tampak sedang memperingati 13 tahun gugurnya Rachel Aliene Corrie, gadis aktivis asal Amerika Serikat yang tewas dibuldozer pasukan Israel di kota Rafah, selatan JAlur Gaza, pada 16 Maret 2003, dalam usia relatif muda, 23 tahun.
Rachel Corrie, lahir di Olympia, Washington, AS, 10 April 1979, ketika dia dilindas buldozer Caterpillar D9R Israel adalah saat mencoba menghadang kendaraan besi itu untuk mencegah pembongkaran rumah warga di Rafah, Jalur Gaza.
Media Internastional Middle East Media Center (IMEMC) edisi Kamis (17/3/2016) lalu mengulas, setelah Rachel Corrie tewas, orang tuanya, Cindy dan Craig Corrie, menuntut penyelidikan kematiannya dan keadilan bagi mereka yang bertanggung jawab. Namun, hingga 13 tahun kemudian, penyelidikan kredibel belum dilaksanakan, menurut keluarga aktivis.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Pada ulang tahun kematiannya, Rachel Corrie Foundation mengadakan acara di kota kelahirannya Olympia, Washington, bertema “Ingat Rachel, Ingat Gaza”.
Acara ini menampilkan ceramah oleh seorang teman Rachel, yang menjadi relawan tahun 2003 di Gerakan Solidaritas Internasional ISM (International Solidarity Movement).
Kecintaan pada Palestina
Kecintaan Rachel Corrie terhadap Palestina dan warganya, berawal dari aktivitasnya sebagai seorang anggota Gerakan Solidaritas Internasional ISM, yang mengantarkannya berkunjung langsung ke Jalur Gaza selama Intifadhah Al-Aqsha.
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Ia datang ke Gaza sebagai aktivis cinta Palestina, sekaligus memang sengaja menunaikan tugas kuliahnya, yaitu menghubungkan kota tempat tinggalnya Olympia dengan Rafah dalam sebuah proyek Kota Kembar.
Dari perjalanan penuh cinta dan solidaritas ke tanah Palestina yang terjajah itu, Corrie pun bukan sekedar mengerjakan tugas kulia. Namun juga berkirim kabar kepada orang tuanya, teman-temannya, dan media bagaimana kekejaman zionis Israel yang dia saksikan langsung dengan mata kepala sendiri.
Tindakan brutal pasukan Zionis Israel membuatnya sedih sekaligus malu. Sedih karena begitu banyak jiwa, termasuk anak-anak dan kaum perempuan seperti dirinya yang dianiaya dengan tanpa perikemanusiaan. Malu terutama karena ia adalah warga negara Amerika Serikat, sebuah negara yang turut mendukung semua kekejaman Israel di Palestina.
Maka pada catatan hariannya, ia menulis, “Amerika tak mempesonaku lagi. Ia tak mampu memikatku lagi. Ia pudar dan terlipat di pinggiran pikiranku….”
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Rachel Corrie dengan keberaniannya menelusuri sejengkal demi sejengkal tanah Palestina, berkenalan dengan sesama manusi-manusia tertindas di sana, hanya ingin menegaskan kepada dunia bahwa masalah Palestina bukan hanya masalah dan beban bangsa Palestina semata. Namun juga tanggung jawab dan empati dunia manapun.
Rela Mati untuk Palestina
Sumber Wikipedia menyebutkan, beberapa pekan setelah kedatangannya di Palestina, tepatnya pada tanggal 16 Maret 2003, Corrie dan teman-temannya sesame aktvis ISM terlibat konfrontasi dengan dua buldozer Israel, yang hendak merobohkan rumah-rumah warga di daerah Rafah, Jalur Gaza.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
Corrie pada hari itu dengan serta-merta menghadang laju buldozer yang hendak menghancurkan rumah keluarga Samir Nasrallah, seorang apoteker Palestina. Ia bersahabat dengan keluarga tersebut dan selama di sana ia pernah tinggalbersama mereka. Dia pun ditabrak dan dilindas oleh buldozer yang dihadangnya, hingga mengakibatkan tulang tengkoraknya retak, tulang rusuknya hancur dan menusuk paru-parunya.
Para saksi mata mengatakan, bahwa buldozer dengan sengaja melaju ke arah Corrie yang pada saat itu mengenakan jaket berwarna jingga terang. Namun hal itu dibantah oleh pemerintah Israel yang mengatakan bahwa insiden itu adalah sebuah kecelakaan yang disebabkan karena operator buldozer tidak melihat keberadaan Corrie di depan kendaraan berat itu
Buldozer memang jelas tak bermata. Namun tentara Israel yang mendapatkan perintah komandan, yang duduk di atasnya, di balik kemudi, tentu lebih buta lagi. Bahkan sama sekali tak berhati, membuldozer gadis bertangan kosong, anak perempuan tak berdaya, wanita asal negara pendukung Israel, AS. Dengan kendaraan yang beratnya berton-ton itu, bulldozer merangsek ke arah rumah Nasrallah, yang dihadang Corrie.
Tubuh Rachel yang berlutut di depannya tak dihiraukan. Sang sopir juga mengabaikan teriakan para warga sekitar yang disuarakan lewat megafon. Tubuh Rachel akhirnya remuk dilindas buldozer. Ia masih sempat bernafas tersengal-sengal, walau tak bisa berkata-kata lagi. Ia pun menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Najar, Rafah.
Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah
Penutup
Sumber Wiki menyebutkan, kehidupan dan perjuangan Rachel Corrie kini diabadikan dalam banyak penghormatan, di antaranya melalui drama yang berjudul “My Name is Rachel Corrie” (Nama Saya Rachel Corrie) dan sebuah paduan suara bertajuk “The Skies are Weeping” (Langit pun Menangis).
Tulisan-tulisan dalam agenda Corrie pun dibukukan pada tahun 2008 berjudul “Let Me Stand Alone” (Biarkan aku berdiri sendiri). Sebuah buku yang mengisahkan tentang proses pendewasaan seorang wanita muda yang ingin membuat dunia sebagai menjadi tempat yang lebih baik”. Sebuah lembaga sosial bernama Rachel Corrie Foundation for Peace and Justice pun didirikan untuk melanjutkan perjuangannya.
Nama aktivis ini dikenang dan diabadikan dengan menjadikannya sebagai nama kapal dagang yang dibeli para aktivis Negara Irlandia pro-Palestina, MV Rachel Corrie. Sebelumnya kapal tersebut bernama MV Linda. Kapal MV Linda sekarang berubah menjadi MV Rachel Corrie yang disiapkan untuk suatu saat ada konvoi menembus blokade Israel di Jalur Gaza. (P4/R02)
Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan