Sejarah dan Masalah Yang Dihadapi Muslim Rohingya

Yang menjadi kelemahan Muslim Rohingya adalah bahwa mereka tidak mampu menjaga sejarah, karena itulah mereka tidak dapat membuktikan bahwa mereka penduduk asli Arakan. Dan saat mereka gagal mempertahankan sejarah, rezim Myanmar lah yang "menulis" sejarah bagi mereka.

Oleh Rifa Berliana Arifin, Kepala Redaksi Arab Kantor Berita MINA

Masalah Rohingya merupakan contoh klasik kegagalan mewujudkan ethno nasionalisme yang berdampak kepada kegagalan mendirikan negara (nation building). Rohingya adalah korban yang dikambinghitamkan sampai akhirnya mereka harus menanggung musibah kejam yaitu penghapusan etnik atau biasa disebut dengan genosida.

Etnis Rohingya bukan bangsa pendatang di Myanmar, meski dituduh sebagai pendatang yang berasal dari Bangladesh, meski satu rumpun dengan Bangladesh. Rohingya adalah penduduk asli wilayah itu saat negara Myanmar yang sebelumnya bernama Burma, belum terbentuk. Rohingya dan Bangladesh memiliki persamaan dengan bangsa Melayu.

Awalnya Rakhine yang sekarang disebut Arakan (tempat tinggal Rohingya saat ini) dan Bengal (Bangladesh saat ini) memiliki kedekatan secara geografis dan politik, karena mereka bertetangga maka terjadilah interaksi budaya. Setelah tahun 1785, Arakan dikuasai Burma (Myanmar saat ini) dan tetap di bawah kekuasaan Burma, sampai Burma mendapatkan kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948, dan kemudian Muslim Arakan dan Muslim Bengal dipisahkan.

Muslim Arakan atau Rohingya hidup tentram dan damai dengan etnis Rakhine yang mayoritas menganut agama Buddha. Namun kemudian Inggris membawa masuk buruh Bengali dalam jumlah yang cukup besar sehingga menyebabkan orang Rakhine merasa terancam. Karena itu wajarlah jika pada Perang Dunia Kedua (1939-1945), orang Rakhine mendukung Jepang sedang Rohingya setia bersama Inggris.

Di situlah awal mula perselisihan kedua etnis itu  hingga memicu permusuhan dan episode bunuh-membunuh antara dua etnis tersebut.

Rohingya pernah menuntut untuk mendapatkan kemerdekaan supaya wilayahnya disatukan dengan Bangladesh. Upaya ini mereka sebut dengan nama perjuangan, berjuang secara bersenjata atas nama Mujahidin terjadi pada tahun 1947-1961, Rohingya Liberation Party (1972-1974), Rohingya Patriotic Front (1974-1982), Rohingya Solidarity Organization (1982-1998), Arakan Rohingya Islamic Front (1986-1998) dan Arakan Rohingya National Organization (1998 sampai sekarang).

Tahun 1960 Orang Rakhine membuat upaya asimilasi (peleburan budaya), tapi orang Rohingya bersama beberapa kelompok etnis lain seperti Karen, Mon, Shan, Kachin dan Wa telah menentang asimilasi alias “Burmanisasi” itu. Burmanisasi adalah upaya peleburan budaya dan integrasi etnik, tapi orang Rohingya yang Islam menilainya sebagai upaya Buddhaisme karena upaya itu sangat kental dengan etnis Bamar.

Terjadi kudeta (perebutan kekuasaan) di Burma. Pimpinan militer Jendral Ne Win menggulingkan PM U Nu yang sipil. Rezim militer ini bersikap lebih keras pada Rohingya.  Untuk mengambil hati orang Rakhine yang merupakan etnis Buddha terbesar,  Jenderal Ne Win memberikan status otonomi penuh kepada Rakhine dengan tidak mengakui Rohingya sebagai penduduk Rakhine. Bahkan, sejak 1982 orang Rohingya telah kehilangan kewarganegaraan di bawah Undang-Undang Kewarganegaraan. Akhirnya orang Rohingya menjadi masyarakat yang tidak memiliki status kewarganegaraan (stateless people).

Perubahan politik di Myanmar pada tahun 2010 menjadi negara demokrasi tidak mengubah nasib Rohingya. Partai Pembangunan Nasional Rakhine (RNDP) atau bisa disebut Partai anti-Rohingya memenangkan mayoritas kursi di Rakhine. Pada hakekatnya militer yang tetap berkuasa. Presiden Myanmar Thein Sein tidak punya pilihan selain bersikap dan mengambil hati RNDP dengan menyarankan relokasi Rohingya, tapi ditolak oleh PBB karena merupakan tirani atas hak Rohingya sebagai penduduk asli Rakhine.

Biksu Ashin Wirathu

Presiden Myanmar Thein Sein didukung oleh Biksu Ashin Wirathu pemimpin gerakan ekstrimis Buddha, Wirathu dikenal dengan Gerakan 969 yang menyebarkan sentimen Islamo phobia. Gerakan itu adalah propaganda, propaganda 969 yang menghembuskan isu bahwa Rohingya adalah imigran dari Bangladesh dan juga menghasut orang-orang Rakhine untuk membunuh Rohingya.

Sejak Juni 2012 itulah pembantaian warga Rohingya berlangsung hingga saat ini. Arus orang Rohingya meninggalkan Rakhine dengan semakin banyaknya tragedi kemanusiaan yang dilaporkan. Sebagian besar dari orang Rohingya meninggal tenggelam di tengah laut, atau diperkosa dan dibunuh oleh pedagang manusia di Chittagong Hill Tracts di perbatasan antara Rakhine dan Bangladesh.

Apa yang terjadi pada etnis Rohingya sudah sangat memenuhi ciri karakteristik yang sistematis sebagai upaya genosida, dimulai dengan klasifikasi (identitas Rohingya dipisahkan dari orang-orang Myanmar), kemudian dehumanisasi (ekstrimis Wirathu menyebut Rohingya sebagai anjing), organisasi dan polarisasi (Orang Rakhine menghasut dan diberi senjata), pembantaian dan penyangkalan (penolakan pembantaian).

Apa yang menimpa Rohingya sama seperti apa yang menimpa Muslim Bosniak di Bosnia, Muslim Darfur di Sudan, Muslim Tutsi di Rwanda, Yahudi dan Gypsy di Jerman, dan Armenia di Turki.

Berbeda dengan Muslim Patani di Thailand Selatan atau Muslim Mindanau di Filipina Selatan di mana genosida tidak terjadi. Keadaan berada di tahap kritis sudah berada di ambang pembinasaan.

Pada awal tahun 2016 orang Rohingya mendirikan pasukan untuk melindungi diri, Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) bertugas untuk melakukan penjagaan, tapi di lain pihak justru dengan terbentuknya ARSA, maka gerakan ekstrimis 969 mencari dalih untuk mengatakan  Muslim Rohingya adalah teroris, sehingga  tentara Myanmar dan milisi Rakhine merasa makin punya alasan “memuluskan pekerjaan’ mereka.

ARSA akhirnya dinyatakan secara resmi sebagai kelompok teroris berbahaya oleh pemerintah Myanmar. Ratusan ribu terpaksa mengungsi sebagian  besar ke Bangladesh, tetangga.

Rohingya selalu berusaha mengubah nasib, tapi apa daya saat bertahan dan melawan keduanya menuju satu pintu kebinasaan, nasib masyarakat ternaas saat ini di dunia.

Yang menjadi kelemahan Muslim Rohingya adalah bahwa mereka tidak mampu menjaga sejarah, karena itulah mereka tidak dapat membuktikan bahwa mereka penduduk asli Arakan. Dan saat mereka gagal mempertahankan sejarah, rezim Myanmar lah yang “menulis” sejarah bagi mereka. Siapakah yang akan menjadi ‘rohingya’ selanjutnya ?

Kenapa dunia tidak bersuara membela Rohingya?

Myanmar adalah negara yang sensitif. Posisinya cukup strategis dalam hal geo-politik. Myanmar yang pro-Cina membuat kekuatan Barat (AS & UE) juga India berusaha tidak terlalu tajam mengkritik Myanmar.

Cina juga punya agenda penting untuk berbaik dengan Myanmar. Cina telah lama berusaha untuk mengamankan apa yang disebut “Koridor Myanmar” yang membentang dari China barat daya ke Samudera Hindia, jalur vital dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road) Presiden Cina Xi Jinping, proyek bernilai satu triliun dolar untuk membangun dan meningkatkan infrastruktur kawasan itu demi keuntungan Cina.

Apakah kita berharap Bangladesh akan mampu “bersatu” dengan Rohingya? Bangladesh merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Skala ekonomi dan militer yang kecil membuat Bangladesh tidak mampu melindungi Rohingya secara langsung.

Indonesia berhasil membuka akses bantuan bagi warga Rohingya, Presiden Jokowi mengutus Menlu Retno Marsudi untuk bertemu secara langsung dengan pemerintah Myanmar. Hal itu berjalan mulus bahkan menjadi sorotan dunia internasional, karena menjadi bentuk respons pertama di mana wakil pemimpin negara turun langsung membahas isu kemanusiaan yang terjadi di negara bagian Rakhine tersebut.

Apa yang Indonesia lakukan adalah pendekatan diplomasi, berdialog mencari solusi terbaik bagi permasalahan, Bantuan kemanusiaan dapat terwujud, makanan, obat-obatan dan pembangunan Rumah Sakit Indonesia di Myauk U yang diprakasai Medical Emergency Rescue (MER-C) dan Palang Merah Indonedsia (PMI), malahan  juga dengan partisipasi ummat Budha di Indonesia,  sebagai wujud kepedulian rakyat dan pemerintah Indonesia terhadap krisis kemanusiaan di Myanmar.

Hubungan baik Indonesia dan Myanmar yang dulu bernama Burma sudah mempunyai sejarah panjang. Burma termasuk negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Burma menjadi pusat diplomasi Indonesia di mana Menteri Luar Negeri RI berkantor menghadapi Belanda yang ingin menjajah kembali. Di Burma pula perusahaan penerbangan nasional pertama Indonesia, Garuda, didirikan dan berpangkalan. Yang penting juga adalah Indonesia  dan Burma adalah dua dari lima negara yang mensponsori Konperensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung.

Indonesia dapat berbuat lebih banyak untuk mencari penyelesaian masalah Rohingya. (A/RA-1/RS3/P1)

Miraj News Agency (MINA)

Referensi lanjutan :

  • Eleanor Albert, ‘The Rohingya Migrant Crisis’, Council on Foreign Relations
  • Su-Ann Oh, “Rohingya or Bengali? Revisiting the Politics of Labelling

Wartawan: Rifa Arifin

Editor: Rifa Arifin

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.