SEJARAH DAN KEUTAMAAN PUASA ‘ASYURA

Ilustrasi (Gambar: Hisbah)
Ilustrasi (Gambar: Hisbah)

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang menjadikan “waktu” sebagai ladang memetik pahala, salah satunya berpuasa pada .

Puasa hari ‘Asyura termasuk hari istimewa dalam bulan ini. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa pada hari itu. Walaupun secara umum memperbanyak puasa pada bulan Muharram sangat dianjurkan.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

Artinya:Puasa yang paling utama sesudah puasa Ramadlan adalah puasa pada Syahrullah (bulan Allah) Muharram. Sedangkan shalat malam merupakan shalat yang paling utama sesudah shalat fardlu.” (HR. Muslim)

Menurut Imam Al-Qaari, bahwa secara dzahir, maksudnya adalah seluruh hari-hari pada bulan muharram ini. Tetapi telah disebutkan dalam hadits shahih bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah sama sekali berpuasa sebulan penuh kecuali di Ramadhan. Maka hadits ini dipahami, dianjurkan untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram bukan seluruhnya. Salah satu diantaranya adalah .

Pada hari ini, hari ke 8 dari bulan Muharram. Hal ini menunjukan, sebentar lagi, kita akan menemui hari Asyura, hari dimana banyak kebaikan yang bisa kita dapatkan. sehingga perlu bagi kita mengetahui kapan waktu dianjurkannya berpuasa Asyura?

Jumhur ulama berpendapat bahwa hari ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Demikianlah pendapat Imam An-Nawawi.

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata, ‘Asyura adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram. Ini merupakan pendapat Sa’id bun Musayyib dan al-Hasan al-Bashri yang sesuai dengan riwayat dari Ibnu ‘Abbas, “Rasullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan berpuasa pada hari ‘Asyura, hari kesepuluh dari bulan Muharram.” (H.R. At-Tirmidzi)

Asyura

(Gambar: Konsultasisyariah)
(Gambar: Konsultasisyariah)

Hari Asyura ini merupakan salah satu hari yang agung didalam Islam. Karena pada hari tersebut, Allah menyelamatkan nabi Musa dan Harun ‘alaihima shalatu wasalam serta bani Israil dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya di Laut Merah.

Untuk mensyukuri nikmat yang agung tersebut, kaum Yahudi diperintahkan untuk melaksanakan puasa ‘Asyura. Sebagaimana hadits dari ‘Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الله عَنْهُمَا، قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ فَرَأَى اليَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: مَا هَذَا؟، قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى الله بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: «فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ

Artinya: “Nabi shallallalhu ‘alaihi wa salam tiba di Madinah, maka beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa hari ‘Asyura. Beliau bertanya kepada mereka: “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik. Pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka. Maka Nabi Musa berpuasa pada hari ini.” Nabi shallallalhu ‘alaihi wa salam bersabda, “Saya lebih layak dengan nabi Musa dibandingkan kalian.” Maka beliau berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan para shahabat untuk berpuasa ‘Asyura.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Sementara kaum musyrik Quraisy juga melaksanakan puasa ‘Asyura pada zaman Jahiliyyah. Mereka menganggap hari tersebut adalah hari yang agung sehingga mereka melakukan penggantian kain Ka’bah (kiswah) pada hari tersebut.

Kemudian fakta lainnya yang perlu diketahui tentang awal mula puasa ‘Asyura adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasalam melakukan puasa ‘Asyura sejak sebelum diangkat menjadi nabi sampai saat beliau berhijrah ke Madinah.

Hal ini menunjukkan bahwa sebelum munculnya Islam yang dibawa nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, puasa Asyura telah ada, bahkan orang-orang Musyrik menunaikannya, sebagaimana sabda Rasulullah dari jalur Ummul Muhsinin ‘Aisyah radhiyallahu anha,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ الله عَنْهَا، قَالَتْ: «كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ»

Artinya: “Dari Aisyah radiyallahu ‘anha berkata: “Kaum musyrik Quraisy mengerjakan puasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) sejak zaman jahiliyah. Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengerjakan puasa ‘Asyura. Ketika beliau tiba di Madinah, maka beliau berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Kemudian ketika puasa Ramadhan diwajibkan, beliau meninggalkan puasa hari ‘Asyura. Maka barangsiapa ingin, ia boleh berpuasa ‘Asyura. Dan barangsiapa ingin, ia boleh tidak berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah bersabda dari jalur Salamah bin Akwa’ radhiyallahu anhu,

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِيَ الله عَنْهُ، قَالَ: أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ أَسْلَمَ: ” أَنْ أَذِّنْ فِي النَّاسِ: أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ، فَإِنَّ اليَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ “

Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan seseorang dari suku Aslam, “Umumkanlah kepada masyarakat bahwa barangsiapa tadi pagi telah makan, maka hendaklah ia berpuasa pada sisa harinya. Dan barangsiapa belum makan tadi pagi, maka hendaklah ia berpuasa. Karena hari ini adalah hari Asyura’.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dan juga hadits dari jalur Rubbay’ binti Mu’awwidz radhiyallahu anha,

عَنِ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ، قَالَتْ: أَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الأَنْصَارِ: «مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا، فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا، فَليَصُمْ»، قَالَتْ: فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ العِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُونَ عِنْدَ الإِفْطَارِ

Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam mengirimkan seorang pemberi pengumuman pada pagi hari ‘Asyura ke kampung-kampung Anshar, untuk mengumumkan “Barangsiapa siapa tadi pagi telah makan, hendaklah ia menyempurnakannya sampai akhir hari ini (berpuasa) dan barangsiapa telah berpuasa sejak tadi pagi, maka hendaklah ia berpuasa.” Sejak saat itu kami selalu berpuasa ‘Asyura dan kami jadikan anak-anak kecil kami berpuasa ‘Asyura. Kami membuatkan mainan boneka untuk mereka dari bulu domba. Jika salah seorang di antara mereka menangis karena lapar, maka kami berikan kepadanya mainana itu, begitulah sampai datangnya waktu berbuka.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dengan turunnya kewajiban puasa Ramadhan, maka status hukum puasa ‘Asyura berubah dari wajib menjadi sunah. Itulah beberapa riwayat tentang sejarah awal puasa ‘Asyura.

‘Asyura
(Gambar: BBG asunnah)
(Gambar: BBG asunnah)

Banyak sekali keutamaan puasa Asyura’, diantaranya adalah apabila seseorang berpuasa pada hari itu, maka Allah akan menghapus dosa yang telah lalu sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,

عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم سئل عن صيام يوم عاشوراء فقال: ((يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ)) رَوَاهُ مُسلِمٌ

Artinya: “Dari Abu Qatadah -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura. Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu.” (H.R. Muslim)

Dalam riwayat lain disebutkan,

وَصَوْمُ عَاشُورَاءَ كَفَّارَةُ سَنَةٍ

Artinya:Puasa ‘Asyura menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat” (H.R. Muslim)

Selain itu, Hari ‘Asyura merupakan hari yang sangat dijaga keutamannya oleh Rasulullah, sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-,

 مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ 

Artinya:“Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam begitu menjaga keutamaan satu hari di atas hari-hari lainnya, melebihi hari ini (yaitu hari‘Asyuro) dan bulan yang ini (yaitu bulan Ramadhan).” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Salah satu bentuk menjaga keutamaan hari ‘Asyura yang dilakukan oleh Rasulullah adalah dengan berpuasa pada hari tersebut. Sebagaimana hadits dari jalur Ibnu ‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-,

قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ «أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا.

Artinya:“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang Yahudi berpuasa ‘Asyuro, mereka mengatakan, “Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada para sahabat, “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang Yahudi), karena itu berpuasalah” (H.R. Bukhari)

Begitu tingginya nilai ibadah yang terkandung didalam puasa ‘Asyura sehingga amatlah rugi seorang muslim yang meninggalkannya.

Cara Berpuasa Asyura

Ada beberapa cara yang biasa dilakukan oleh para generasi salafush shalih dalam mengerjakan amalan ini dengan berpegang pada pendapat masing-masing yang dianggap kuat.

Pertama, berpuasa selama 3 hari mulai dari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,

خَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ وَ يَوْمًا بَعْدَهُ 

Artinya:“Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.” (H.R. Ahmad)

Dan pada riwayat Imam ath-Thahawi disebutkan,

صُومُوهُ وَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا وَ لاَ تُشَبِّهُوَا بِالْيَهُوْدِ

Artinya:“Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”

Ibnu Hajar Al-Asqalani mengisyaratkan keutamaan cara ini. Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuk lebih hati-hati. Ibnul Qudamah Al-Maqdisi menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.

Kedua, berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.

Maka sesungguhnya inilah amalan yang dianjurkan oleh Rasulullah, berdasarkan hadits Ibnu Umar,

صَامَ رَسُولُ الهِع صَلَّى الهُت عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ الهِس إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ الهِ  صَلَّى الهُم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ الهِ  صَلَّى الهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 

Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”(H.R. Muslim)

Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda,

لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ

Artinya : Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan.” (H.R. Muslim)

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata,”Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan ini dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat Muslim”

Rasulullah bersabda,

خَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ وَ يَوْمًا بَعْدَهُ 

Artinya:“Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10” (H.R. Muslim)

Lalu bagaimana jika seseorang hanya berpuasa pada 10 Muharram saja?

(Gambar: Islamituindah)
(Gambar: Islamituindah)

Mengenai hal ini, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama mengatakan boleh dan sebagian yang lain mengatakan makruh.

Adapun ulama yang membolehkan diantaranya, Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah, Syaikh Abdul Azis bin Abdullah bin Baaz dan selainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah memberikan jawaban terhadap persoalan ini, “Puasa hari ‘Asyura menjadi kafarah (penghapus) dosa selama satu tahun dan tidak dimakruhkan berpuasa pada hari itu saja.” Ibnu Hajar al-Haitami menyimpulkan bahwa tidak apa-apa berpuasa pada hari itu saja.

Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah menerangkan tentang kebolehannya, “Boleh berpuasa hari ‘Asyura, satu hari saja. Tetapi yang paling utama,  berpuasa (juga) sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Ini merupakan sunnah yang jelas ketetapannya dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabdanya,

لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ

Artinya:Jika saya masih hidup di tahun depan, pasti akan berpuasa pada hari kesembilan.” (H.R. Muslim)

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata, “Yakni (dikerjakan) bersama hari kesepuluh.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah juga menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura terbagi menjadi tiga tingkatan,

Pertama, berpuasa pada hari ‘Asyura dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.

Kedua, berpuasa pada hari ‘Asyura dan tanggal 11 Muharram.

Ketiga, berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi, namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makhruh). (P011/R03)

 

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0