Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sekali Lagi, Pemuda!

Rana Setiawan - Jumat, 26 Mei 2017 - 18:18 WIB

Jumat, 26 Mei 2017 - 18:18 WIB

361 Views

(Foto: Doc. MINA)

Oleh: M. Anshorullah, Ketua Majelis Syubban Pusat (MSP) Jama’ah Muslimin (Hizbullah)

Kisah tentang pemuda mungkin seusia dengan peradaban umat manusia itu sendiri. Imaamul Muslimiin Yakhsyallah Mansur dalam salah satu kesempatan tausiyahnya kepada para pemuda mengatakan bahwa sejarah Islam adalah sejarah pemuda, bahkan sejarah umat manusia adalah sejarah pemuda. Tidak ada satupun kejadian yang dicatat oleh sejarah yang tidak melibatkan pemuda di dalamnya.

  1. Pemuda dalam Al Qur’an

Allah mengabadikan kehebatan pemuda dalam banyak ayat. Salah satunya adalah QS. Al-Anbiya ayat 51-70 yang memuat kisah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Sallam muda, sendirian melawan Namrud penguasa dzalim dan rakyatnya. Berikut ini 10 ayat di antaranya;

“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan) nya (51). (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? (52). Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya (53). Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata” (54). Mereka menjawab: “Apakah kamu datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?” (55). Ibrahim berkata: “Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya; dan aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu” (56). Demi Allah, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya (57). Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur berpotong-potong, kecuali yang terbesar (induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya) kepadanya (58). Mereka berkata: “Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim” (59). Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim” (60).

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Dalam ayat-ayat itu Nabi Ibrahim digambarkan sebagai seorang pemuda belia yang harus dijadikan contoh untuk semua pemuda sepanjang masa. Imaam Yakhsyallah pernah menjelaskan beberapa karakter Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang ditunjukan dalam ayat-ayat itu antara lain: 1) Pemuda yang memiliki keimanan kepada Allah secara paripurna, 2) Pemuda yang memiliki kecerdasan yang di atas rata-rata, sehingga dapat menyusun logika dalam perdebatannya dengan ayahnya dan kaumnya, 3) Pemuda yang memiliki tubuh yang kuat, sehingga mampu menghancurkan berhala-berhala yang terbuat dari batu sendirian, 4) Pemuda yang penuh perhitungan dengan cara membiarkan berhala paling besar tetap utuh dan meninggalkan kapaknya di leher berhala itu, 5) Pemuda yang berani dan tidak takut mengambil resiko apapun demi keyakinannya. Demi akidahnya.

Selain kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, QS. Al-Kahfi juga menceritakan pemuda-pemuda Ashabul Kahfi yang mengasingkan diri dari masyarakat dan penguasa yang kufur pada Allah demi menyelamatkan aqidah tauhid mereka. Sedangkan Al-Baqarah ayat 246-251 mengisahkan kepahlawanan Nabi Daud ‘alaihis salam. Dan masih banyak lagi kisah pemuda yang diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur’an.

  1. Pemuda di Sekeliling Nabi

Pada masa awal kenabiannya, kaum yang pertama kali menerima seruan Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga didominasi oleh pemuda. Abu Bakar sebagai yang paling tua berusia 37 tahun. Umar bin Khattab berusia 27 tahun, Utsman bin Affan 34 tahun, Ali bin Abi Thalib 10 tahun, Thalhah bin Ubaidillah 14 tahun, Zubair bin Awwam 16 tahun, Saad bin Abi Waqqas 17 tahun, Said bin Zaid 15 tahun, Abu Ubaid bin Jarrah 27 tahun, dan Abdurrahman bin Auf 30 tahun (radhiallahu ‘anhum). Mereka semua masih dalam kategori pemuda.

Demikian juga pada masa awal hijrah di Madinah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan pemuda pada tempat yang sangat penting dan fundamental. Secara regular, Rasulullah mengumpulkan sebagian pemuda itu di Masjid Nabawi sebagai Ahlush Shuffah. Mereka secara langsung dimonitor dan dibimbing oleh Rasulullah. Tidak hanya pada persoalan materi pendidikannya, melainkan juga banyak aspek kesehariannya. Imaam Yakhsyallah menjelaskan dengan sangat rinci dalam bukunya Ash-Shuffah, 2015. Beberapa nama pemuda Ahlush Shuffah yang diulas dalam buku ini adalah: Abu Hurairah, Abdullah bin Mas’ud,  Suhaib ar-Rumi, Bilal bin Rabah, Hudzaifah bin Yaman, Salim Maula Abu Hudzaifah, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Semua nama itu kemudian menjadi sahabat-sahabat utama.

Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu adalah sahabat yang tidak pernah berpisah dengan Rasulullah kecuali sedang tidur. Hal itu dilakukan karena Abu Huraiah merasa lebih belakangan masuk Islam (7H) sehingga harus mengejar ketertinggalannya dari sahabat-sahabat yang lebih dulu masuk Islam. Waktu itu usianya sekitar 27 tahun. Kebersamaan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ‘hanya’ 4 tahun (Rasulullah meninggal pada tahun 11H). Namun dalam  waktu yang sangat singkat itu, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berhasil meriwayatkan hadits sebanyak 5.374 buah. Menurut Imam Syafi’i, sahabat Abu Hurairah dikenal sebagai orang yang paling banyak hafal di antara seluruh perawi hadits pada masanya.

Abdullah bin Mas’ud adalah salah satu remaja yang pertama masuk Islam. Beliau adalah sahabat yang sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga meskipun tidak ada hubungan kerabat dan diizinkan oleh Rasulullah untuk secara bebas masuk ke rumah Rasulullah. Abdullah bin Mas’ud adalah sosok pemberani. Hal itu ditunjukkan saat beliau dengan terang-terangan membacakan Al-Qur’an (QS. Ar-Rahman) dengan keras di hadapan pemuka Quraisy di Mekah. Itu adalah pertama kali Al-Qur’an diperdengarkan secara langsung kepada para penentang Rasulullah. Akibatnya, dia dipukuli sampai lebam-lebam wajahnya. Tetapi itu sama sekali tidak membuatnya menjadi lemah apalagi menyesal. Sebaliknya beliau katakan: “sekarang tidak ada musuh Allah bagiku yang lebih ringan dari pada mereka”. Selain memiliki keberanian yang luar biasa, Abdullah bin Mas’ud juga dikaruniai bakat istimewa dalam hal membaca Al-Qur’an dan memahami secara mendalam arti dan maksudnya. Sampai-sampai Rasulullah menunjuknya sebagai salah satu dari empat sahabat yang menjadi rujukan belajar Al-Qur’an.

Nama-nama sahabat dalam kategori lainnya yang masyhur antara lain: Usamah bin Zaid, Mush’ab bin Umair, dan Zaid bin Tsabit.

  1. Orang-orang Muda di Awal Dakwah Jama’ah Muslimin (Hizbullah)

Sejarah dakwah Jama’ah Muslimin (Hizbullah) juga dipenuhi dengan pemuda. Sekitar 40 tahun yang lalu Sabtu pagi, 20 Novermber 1976 di Tambak Banyumas Jawa Tengah, Allahu yarham Imaam Wali Al-Fattaah dimakamkan. Tanah basah setelah malamnya hujan deras. Pemakaman Imaam dilakukan sehari setelah beliau menghembuskan nafas terakhir dan beberapa jam setelah terpilih penggantinya. Ikhwan-ikhwan yang mengantar jenazahnya ke liang kubur adalah para pendamping setianya. Mereka adalah antara lain; H. Muhyiddin Hamidy, H. Mas’ud Muradi, KH. Abdullah Fadil Aly Sirajd, Ust. Saefuddin, Bapak Ahmad Ihsan Putera, Ustaz Sirajuddin bin Arsyad, Ustaz Ridwan Sjah, Bapak Muhsin, Bapak Abdullah Chadziq, Bapak Thoyib dan lain-lain Allahu yarhamhum. Kebanyakan yang hadir waktu itu adalah pemuda. Usia mereka sekitar 30 – 40 tahun. Bahkan ada juga yang masih berusia 20-an tahun. Wafatnya Imaam Wali Al-Fattaah dan proses awal pembaiatan Imaam Muhyiddin Hamidy ini diceritakan secara lengkap oleh Ustaz Ridwan Sjah dalam tulisannya “Tarikh Jama’ah Muslimin (Hizbullah)”.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

H. Muhyiddin Hamidy dan H. Mas’ud Muradi  Allahu yarhamhuma adalah dua pemuda paling senior waktu itu. H. Muhyiddin Hamidy yang kemudian dibaiat sebagai pelanjut kepemimpinan sepeninggal Imaam Wali Al-Fattah Allahu yarham, usianya menginjak 41 tahun waktu itu. Sedangkan sahabat-sahabatnya (KH. Fadhil Aly Siradj, Ustaz Saefuddin, Ustaz Sirajuddin bin Arsyad, Bapak Ahmad Ihsan Putera, Bapak Effendi Zabirsyah) masih berusia sekitar 35 tahun. Apalagi Bapak Ridwansyah, Bapak Muhsin, dan Bapak Abdullah Chadziq usianya baru sekitar 25 tahun. Mereka semua dalam usia itu masih dalam kategori pemuda.

Saya membayangkan pergantian kepemimpinan itu secara dzahiriyah boleh dibilang kritis dan menentukan di mana usia Jama’ah Muslimin (Hizbullah) menginjak 23 tahun sejak pembaiatan pertama pada Januari 1953. Jika pemuda-pemuda itu panik atau larut dalam kesedihan atau minder atau bahkan berpaling dari khittah dengan berebut kepemimpinan, nisacaya Dakwah Al-Jama’ah tidak akan berkembang seperti sekarang ini.

Pada saat itu, secara kuantitatif, Al-Jama’ah sedang berkembang dengan baik di beberapa wilayah. Lampung dan Jawa Tengah bagian Selatan sedang mulai tumbuh. Muhajirun baru menjelang 1 tahun pembukaan sebagai ‘Pesantren Masyarakat’ setelah sebelumnya mulai banyak yang berbaiat di Pringombo, Pringsewu, dan sekitarnya. Ikhwan-ikhwan yang terdiri dari mayoritas kaum dhuafa mulai banyak yang hijrah untuk mukim di Muhajirun. Tokoh-tokoh dakwah Al-Jama’ah Muslimin (Hizbullah) di lampung selain Ustaz Saefuddin adalah, Ustaz M. Damiri Thalib, Ustaz Sirajuddin, Ustaz Abdul Halim, MA., Ustaz Abul Hidayat Saerodjie, Ustaz Adjie Muslim, dan lain-lain.

Sedangkan di Jawa Tengah bagian Selatan mulai Kebumen, Cilacap, Purbalingga, dan Banjarnegara masyarakat mulai secara luas mengenal Al-Jama’ah melalui Dakwah Kyai Hamid Affandi , Kyai Adib Ilyas, dan Kyai Muslim Dahlan Allahu yarhamhum. Demikian pula dengan Jakarta dengan tokoh-tokohnya Bapak Bukhari, Ustaz Effendy Zabirsyah, Ustaz Muhammad Batarfie, Ustaz MS. Abu Thoro, Ustaz Abdurrahim Arief, Ustaz Kamaluddin, Ustaz Ishaq, Ustaz Mahmuddin E, Ustaz Mahmuddin S, Ustaz Abdul Manan (Abdul Hanan) bin Sukyad, dan lain-lain. Juga Semarang dengan tokoh-tokoh H. Mas’ud Muradi, KH. Abdullah Fadlil Ali Siradj, dan Bapak Ahmad Ihsan Putera, termasuk juga Ustaz Ahmad Zubaidi Ardani.

Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam

Sedangkan secara kualitatif, dakwah Al-Jama’ah mulai menampakkan identitas khasnya. Misalnya, penggunaan jilbab secara rapih dan syar’i bagi kaum muslimat, penerapan afsus salam di antara sesama muslim, dan yang paling khas adalah itikad untuk hidup berjama’ah secara konkret dan menyeluruh. Tidak saja semangat batiniyahnya saja yang berjama’ah, melainkan juga secara fisik hidup bersama-sama dalam satu komplek. Sunnah Hijrah benar-benar dipraktikkan secara penuh; hijrah dari hidup berfirqah-firqah tak terpimpin kepada hidup berjama’ah dan terpimpin. Praktik-praktik sesuai sunnah itu masih sangat langka di Indonesia pada masa itu. Itulah sebabnya, Muhajirun selain disebut sebagai pesantren masyarakat, juga disebut sebagai kampung wahyu. Di mana para ikhwan dapat dengan tenang melaksanakan dan menjalani hidup sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Sementara, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Antara lain keterbatasan SDM yang masih sangat sedikit dan mayoritas kaum dhuafa, juga friksi sebagai buntut miskomunikasi dan koordinasi antara ikhwan Al-Jama’ah dengan muslimin dari ormas lain dan pemerintah setempat banyak terjadi. Misalnya beberapa ikhwan Jama’ah Muslimin (Hizbullah); Makmuri, Muksin, dan Sadeli divonis penjara dua bulan oleh Pengadilan Negeri Brebes karena dituduh mengeluarkan perasaan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan terhadap agama Islam yang dianut di Indonesia.

Itulah situasi umum yang dihadapi ‘anak-anak muda’ penerus Jama’ah Muslimin (Hizbullah) setelah wafatnya Imaam Wali Al-Fattaah. Meskipun tentu saja mereka sedih karena ditinggal pergi sosok guru, sahabat, bahkan orang tua yang menjadi panutan dan teladan, adakah mereka patah semangat atau bahkan mundur? Tidak. Tanggung jawab kepemimpinan itu dengan penuh kesadaran mereka pikul. Tentu bukan karena semata-mata amanat dari Imaam Wali Al-Fattah, melainkan lebih pada tanggungjawab di hadapan Allah Azza wa Jalla.

Selama belasan tahun mereka mendampingi Imaam Wali Al-Fattaah haruslah dicukupkan sebagai bekal melanjutkan perjuangan. Cara mendidik Imaam adalah cara khas dari kaum pergerakan pada masa itu dengan melibatkan pemuda dalam berbagai kegiatan penting. Sebagai contoh, Imaam Muhyiddin Hamidy adalah salah seorang yang pertama kali baiat pada Imaam Wali Al-Fattaah pada 23 Januari 1953. Waktu itu usia beliau baru 20 tahun. Pada usianya yang tergolong muda, Imaam Muhyiddin Hamidy muda kerap mendapat tugas penting, terutama berkaitan dengan penyiaran. Beberapa pernyataan sikap (statement) Imaam Wali Al-Fattah dipercayakan kepada Muhyiddin Hamidy untuk disiarkan ke seluruh dunia. Misalnya pada 1972, Imaam mengamanahi Muhyiddin Hamidy mengirimkan pemberitahuan dan seruan kesatuan umat kepada Raja Faisal.

Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina

Contoh yang lain; dua tahun sebelum meninggal, Imaam Wali Al-Fattaah mengamanahkan KH. Abdullah Fadhil Aly Siradj sebagai pimpinan sidang pada Musyawarah Alim Ulama dan Zuama di Sunda Kelapa tahun 1974, sedangkan Ustaz Saefuddin sebagai ketua panitianya. Sekitar sepuluh tahun sebelumnya (1965) Imaam mengutus Ustaz Saefuddin dalam usia 25 tahun membuka wilayah Lampung, sendirian.

Pada masa kepemimpinan Imaam Muhyiddin Hamidy pun demikian, pemuda menjadi pilar penting dalam dakwah. Pada 1984, Imaam memberikan tadrib dakwah Jama’ah kepada para pemuda di Shuffah Cileungsi yang baru sekitar empat tahun dibuka. Pemuda-pemuda itu antara lain adalah Ustaz Masthuro IM. (40), Ustaz Adzroie Abdusy Syukur, Ustaz Encep Zarkasyi (29), Ustaz Iman S. Anshorullah (31), Ustaz Khozin, Ustaz Abu Nida, Ustaz Minhaj Ridwan, dan lain-lain. Tadrib itu dilaksanakan di bulan Ramadhan selama hampir satu bulan. Isi tadrib antara lain berkaitan dengan akidah Al-Jama’ah, tarikhnya, teknik dakwah, dan juga penggemblengan fisik (riyadhoh dan ribath). Setelah selesai tadrib, semua peserta dibagi-bagi dalam beberapa thoifah. Setiap thoifah beranggotakan tiga orang. Mereka diamanahkan untuk langsung terjun ke medan dakwah. Ada yang diutus ke Ternate, ke daerah Jawa Barat bagian timur, ada juga yang diutus ke Kalimantan Barat, dan beberapa daerah lainnya.

Misalnya kisah perjalanan dakwah ke Kalimantan Barat yang diemban oleh tiga ikhwan; Ustaz Adzroie, Ustaz S. Iman Anshorullah, dan Ustaz Abu Nida. Ketiga hamba Allah ini berangkat dengan sami’na wa atha’na berbekal dua hal (selain materi hasil tadrib); pertama nama Bapak Basuni Husin di Tayan, Kalbar (sebagai tujuan yang akan didatangi) dan  kedua, uang sebagai transport sekali jalan. Bapak Basuni adalah ikhwan lama (baiat sekitar tahun 1966/67) yang tidak ada kabar setelah kepulangannya ke Tayan dari Jakarta pada sekitar tahun 1975. Qadarullah, perjalanan dakwah mereka yang penuh tantangan itu membawa hasil yang luar biasa, selain berhasil bertemu dengan Bapak Basuni Husin di Tayan, beberapa tokoh penting juga dapat kenal dan memahami akidah Al-Jama’ah dan lalu berbaiat. Dua tokoh yang menjadi pintu pembuka Wilayah Kalimantan Barat adalah Bapak Zainal Abidin Allahu yarhamhu dan Ustaz Hasby. Sampai kemudian saat ini Kalimantan Barat menjadi salah satu wilayah utama.

Kisah pemuda pada masa Imaam Muhyiddin Hamidy lainnya yang patut dijadikan tauladan adalah terbukanya Niyabah Garut. Syahdan pada tahun 1986, ada sekelompok pemuda yang saat itu sedang menyelesaikan pendidikan menengah atas di sebuah sekolah di Garut. Pemuda-pemuda ini tertarik dengan dakwah seseorang bernama Bapak Sadeli. Orang ini bukanlah ustaz sebagaimana biasa kita fahami bahkan bukan juga seorang kyai atau ulama. Bapak Sadeli, ‘hanyalah’ seorang tukang bangunan. Dia kebetulan berada di Garut karena sedang mengerjakan rumah Pak Shobary orang tua Mukhlis, salah seorang dari kelompok pemuda tersebut. Dakwah yang dilakukan oleh Bapak Sadeli pun bukanlah dakwah secara formal melalui forum resmi seperti pengajian atau sejenisnya, melainkan menyisipi obrolan-obrolan di sela-sela istirahatnya dengan cerita-cerita tentang Jama’ah Muslimin (Hizbullah). Tentang Muhajirun dan Cileungsi. Tentang persatuan ummat dalam satu jama’ah dan satu imam. Tentang baiat.

Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata

Tema-tema itu menarik hati Mukhlis yang kemudian menceritakan pada teman-temannya. Al-Jama’ah, baiat, dan imaam bukanlah hal baru bagi kelompok pemuda ini, bahkan mereka memang sedang giat melakukan pencarian. Di daerah Priangan Timur (Garut dan Tasik), tema-tema itu banyak ditemui karena di kawasan inilah basis DI/TII. Setelah melakukan diskusi internal di kalangan kelompok mereka dan secara lebih dalam dengan Bapak Sadeli, rasa ingin tahu mereka menjadi semakin besar. Kemudian Bapak Sadeli mengarahkan mereka untuk langsung datang ke Cileungsi menemui para asatidz supaya bisa memperoleh penjelasan lebih rinci dan menyeluruh. Tiga orang perwakilan mereka, pada Oktober 1986 berkunjung ke Shuffah Cileungsi dan berdiskusi dengan asatdiz dan alim di sana. Tidak hanya sekali, pada November salah seorang perwakilan mereka datang lagi ke Cileungsi. Pertengahan Desember 1986, tiga orang perwakilan mereka berkunjung lagi. Pungkasnya, pada akhir Desember 1986 sejumlah ikhwan berbaiat di rumah Bapak Shobary Allahu yarhamhu dan menyatakan bergabung dengan Jama’ah Muslimin (Hizbullah). Itulah awal mula terbukanya Garut sebagai niyabah. Adapun pemuda-pemuda belia itu kemudian menjadi tulang punggung dakwah di sana. Mereka adalah antara lain Ustaz Abdul Jabbar (alm), Ustaz Wahyudi KS., Ustaz Wawan Rustandi, Ustaz Dedi Sugandi, Ustaz Mukhlis, dan Ustaz Dedi Permadi.

Demikianlah gambaran pemuda, dari masa ke masa selalu menjadi bagian penting dari sejarahnya. Kisah-kisah itu, sebagaimana ribuan kisah pemuda yang lain, ditulis supaya menjadi pelajaran bagi pemuda-pemuda saat ini supaya kelak saat tiba gilirannya memimpin umat dapat membawa dan mengarahkan umat pada pola hidup Islam seutuhnya yang sakinah dan sejahtera sebagaimana tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Jangan sampai pemuda menjadi manusia-manusia yang digambarkan Winston Churchill; “satu-satunya yang kita pelajari dari sejarah adalah, kita tidak pernah benar-benar belajar dari sejarah” (tidak mengambil hikmah dan selalu mengulang kesalahan orang-orang terdahulu). Lalu bagaimana dengan kita wahai orang-orang yang saat ini menduduki posisi penting itu dan menentukan masa depan?

  1. Bagaimana Dengan Kita Sekarang?

Pertanyaan ini bisa dianggap sebagai klise atau secara sarkas ditanya balik; untuk apa ditanyakan? Kenapa baru sekarang ditanyakan? Apalagi sekarang-sekarang ini, di saat Al-Jama’ah sudah mulai eksis dan dianggap besar sehingga merasa nyaman dengan semua yang sekarang ada. Kita sudah berjama’ah, sudah membaiat seorang Imaam, memangnya mau apa lagi?

Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga

Berjama’ah dan berimamah adalah karunia Allah yang wajib kita syukuri. Al-Jama’ah adalah konsep hidup yang final dalam Agama Islam. Imaam Asy Syatibi sebagaimana dikutip oleh DR. Abdul Malik dalam bukunya Al-Mafhum fii Jama’atul Muslimin mengatakan: “Al-Jama’ah adalah kumpulan manusia di bawah seorang Imaam yang mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Yang tidak sesuai atau tidak mengikuti sunnah maka mereka itu tidak termasuk dalam pengertian Al-Jama’ah”. Sedangkan DR. Abdul Malik sendiri berpendapat bahwa Al-Jama’ah adalah kumpulan manusia di mana individunya saling bekerja sama secara teratur dengan memiliki perasaan yang sama dalam kehidupan sehari-hari untuk melaksankan anjuran Rasulullah: “talzamuu jamaa’atal muslimiina wa imaamahum”.

Al-Jama’ah adalah cara hidup yang dicontohkan oleh Rasulullah sebagai jalan keluar untuk semua persoalan yang membelit umat Islam. Bahkan Prof. Nurcholis  Madjid pun berpendapat demikian dalam tulisannya berjudul Menegakkan Faham Ahlus Sunnah wal Jama’ah Baru. Menurutnya: “Pada pokoknya, di antara semua faham yang pernah muncul di kalangan umat Islam, tampaknya yang paling bisa dijadikan sebagai common denominator (titik pertemuan), ialah faham Jama’ah” (Menuju Persatuan Umat, Mizan 2012). Meskipun menurut Nurcohis Madjid, Al-Jama’ah yang dimaksud bukanlah persatuan formal berupa kekhilafahan dan menurutnya Al-Jama’ah itu bisa saja lebih dari satu, tetapi setidaknya menurut dia konsep inilah yang akan menjawab tantangan persatuan umat Islam.

Al-Jama’ah yang sudah kita tetapi ini membawa konsekuensi yang tidak bisa ditinggalkan, yakni melaksanakan semua perintah Allah sesuai dengan tuntunan sunnah Rasulullah. Karena, jika kita tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah, tidak saling bekerjasama secara teratur dengan memiliki perasaan yang sama dalam kehidupan sehari-hari, maka secara otomatis bukan Al-Jama’ah. Demikian juga jika kita berjama’ah di ibadah tertentu tetapi nafsi-nafsi pada kehidupan bermasyarakat di bagian lain, maka itu juga bukan Al-Jama’ah.

Jadi, bagaimana dengan kita sekarang? Apa yang mesti kita lakukan? Berikut ini beberapa hal yang menurut hemat penulis perlu segera dilakukan:

Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia

Pertama; lakukan muhasabah (introspeksi) menyeluruh, bahkan mulai dari keyakinan kita atas khittah berjama’ah dan imaamah yang non politik ini. Introspeksi atas janji setia kita pada Allah, Rasul, dan Ulil Amri. Apakah kita sudah benar-benar memegang teguh khittah itu atau mulai ragu? Atau bahkan mulai tidak percaya karena dianggap perkembangan yang stagnan dan mulai banyak harakah yang juga menyerukan jama’ah dan imaamah? Jika kita yakin, maka lanjutkan pada proses berikutnya. Jika ragu atau bahkan mulai tidak percaya pada perintah luzumul jama’ah ini, maka perbanyaklah istighfar, lalu silaturrahim dengan ikhwan-ikhwan dan diskusi dengan para asatidz dan alim. Karena perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah sangat jelas dalam hadits Hudzaifah bin Yaman; “…qultu yaa Rasulullah, famaa ta’muruni ini adrakany dzalik? Qaala, talzamu jamaa’atal muslimiina wa imaamahum. Qultu, fain lam takun lahum jamaa’atun wa laa imaamun? Qaala, fa’tazil tilkal firaaqa kullaha walau an ta’adhdha bi ashlisy syajaratin hatta yudrikakal maut wa anta ‘alaa dzalik” (Muttafaqun ‘alaih).

Selain khittah berjama’ah dan imaamah itu, juga bahwa perjuangan penegakan Islam sebagai jalan hidup tidak bisa ditempuh dengan cara-cara atau mekanisme politik sebagaimana diyakini oleh muslimin pada umumnya. Meskipun tidak ada dalil qathie yang melarang jalan politik, tetapi sejarah berabad-abad membuktikan bahwa tidak ada penegakan Islam melalui politik dapat lestari. Sebaliknya justru menimbulkan fitnah yang tidak berkesudahan.

Kedua; bangkitkan kesadaran bahwa saat ini kita sedang ‘berperang’. Kata perang itu, dapat saja dimaknai secara tekstual tanpa tanda petik. Tetapi, pilihan kata itu tidak bermaksud memprovokasi untuk menggambarkan Islam yang keras dan berdarah apalagi mengobarkan perang di mana-mana. Melainkan lebih pada membangkitkan semangat para pemuda untuk bangkit dan memposisikan diri sebagai bagian tak terpisahkan dari dakwah.

Karena, pada saat yang sama jika difahami secara kontekstual, maka sebenarnya kesadaran ‘berperang’ itu tidaklah berlebihan amat. Tanpa terlihat oleh mata, sebenarnya saat ini terjadi perang di mana-mana. Di bursa efek terjadi perang kapital. Korban karena kalah perang itu antara lain menjadi gila dan bunuh diri, tidak sedikit. Di media terjadi perang framing, fitnah (hoax) dan berbagai konten hedonism demi rating dan iklan. Di sektor industri manufaktur, terjadi perang perebutan bahan baku (sumber daya alam) dan energi. Negara-negara maju datang dan menjajah negara berkembang, menghisap sumber daya alamnya dengan kedok investasi. Di bidang pendidikan terjadi perang SDM.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah

Lalu perang apa yang sedang kita hadapi? Selain perang dalam artian tekstual di Palestina melawan penjajahan Zionis Israel misalnya, kita semua juga menghadapi perang dalam artian kontekstual itu.

Situasi semacam itulah yang saat ini, kita para pemuda hadapi. Kita mendapati, kita tertinggal dalam banyak hal. Itulah sebabnya kenapa kita harus membangkitkan kesadaran kita bahwa saat ini kita sedang berperang. Meskipun tentu saja tidak perlu bersikap berlebihan. Kesadaran itu akan memotivasi kita, para pemuda untuk selalu bersungguh-sungguh dalam beribadah dan bermuamalah. Kesimpulan dari poin ini adalah; ‘berjihad’. Jihad fii sabilillah. Dengan jihad itulah syahid dapat diraih. Meskipun jihad kita dengan pena, obeng, cangkul atau laptop.

Ketiga; fahami, yakini dan amalkan bahwa konsep hidup berjama’ah itu haruslah kaaffah. Tidak bisa diamalkan sebagian-sebagian, misalnya hanya sholatnya yang berjama’ah atau hanya tinggal dalam satu komplek secara bersama-sama. Melainkan  seluruh dimensi kehidupan yang lintas sektoral, suku maupun ras. Mulai dari hal yang kecil, misalnya izin pada amir setiap kita mau melakukan sesuatu yang penting. Dahulu, di Cileungsi dan Muhajirun, jangankan pindah tempat tinggal atau pekerjaan, ke luar shuffah untuk suatu keperluan saja tidak ada ikhwan yang berani tanpa seizin amir. Hal itu juga berlaku dalam setiap persoalan yang dihadapi oleh semua ikhwan, sebagaimana Allah perintahkan; “Yaa ayyuhal ladziina aamanu athiiullaha wa athiiur rasula wa ulil amri minkum, faintanaaza’tum fii syai’in farudduhu ilallahi wa rasul …” (QS. An Nisa 59).

Selain itu sebagai wujud kehidupan berjama’ah juga adalah perhatian dan peka kepada saudaranya. Peduli pada saudaranya disaat kesulitan bahkan tanpa diminta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan mempersaudarakan sahabat Muhajirin dengan Anshor beberapa saat setelah tiba di Madinah. Dengan semangat berjama’ah dalam artian kaaffah inilah kita seharusnya bisa mengejar ketertinggalan sebagaimana digambarkan dalam perang kontekstual itu. Jika berjama’ah dengan cara kita selama ini ternyata justru membuat kita semakin jauh tertinggal, maka marilah kita melakukan introspeksi, berjama’ah.

Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir

Keempat; Mulailah menjalani aktifitas sehari-hari secara normal dan sungguh-sungguh sesuai tuntunan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kerjakan sunnah, perbanyak belajar, bekerja, berumahtangga, dan lain sebagainya. Kejarlah semua posisi yang baik setinggi-tingginya, fastabiqul khairat. Lalu kita bangun jaringan antar pemuda di semua tempat dan lintas sektoral dalam kerangka ukhuwah islamiyah.

  1. Peran Pemuda (Syubban)

Bagian ini adalah pesan Imaamul Muslimin Yakhsyallah Mansur tentang peran pemuda (syubban) Jama’ah Muslimi (Hizbullah):

  1. Sebagai pembingkai (cadre).

Pembingkai dalam hal ini berarti penjaga. Syubban adalah penjaga Islam. Jika Islam adalah lukisan, maka pembingkainya adalah pemuda. Oleh karena itu wajah Pemuda Muslim adalah wajah Ummat Islam. Sebagai wajah dari ummat Islam, pemuda harus memiliki akhlaq yang baik. Menjadikan Rasulullah sebagai tauladannya, masjid sebagai rumah, dan Al Quran sebagai kekasihnya.

  1. Sebagai Pelanjut.

Peran ini adalah inheren dan melekat pada semua pemuda Islam. Perjuangan ummat haruslah dilanjutkan oleh Pemuda Muslim sebab keberhasilan perjuangan akan ditentukan oleh pemuda.

  1. Sebagai Pengisi.

Pemuda haruslah dapat mengisi kekosongan dan kekurangan sumber daya pada banyak segmen di tengah Ummat. Di lapangan dakwah, banyak daerah yang masih sangat membutuhkan SDM, pemudalah yang mestinya ambil peran. Di Asia, kawasan eks jajahan Russia perlu perhatian dan aksi nyata dakwah yang dapat diambil oleh pemuda.

  1. Sebagai Penasihat.

Pemuda diharapkan dapat berperan sebagai penasihat bagi para sesepuh, pengambil kebijakan, dan Ummat pada umumnya. Kemudahan akses informasi, semangat, kritisisme, dan fleksibilitas pemuda harus dimanfaatkan utk memberikan advis dan pendampingan bagi Ummat dalam bidang keagamaan, sosial maupun ilmu pengetahuan.

  1. Berperan Aktif dalam Event-Event Penting.

Pemuda Muslim antar bangsa perlu membangun komunikasi dan meningkatkan Ukkhuwwah dan kerjasama di berbagai bidang dan kegiatan. Secara reguler melakukan pertemuan bergilir untuk memecahkan dan mensikapi berbagai persoalan dan issue yang diaplikasikan dalam berbagai aksi konkret. Termasuk issu-issu yang berhubungan dengan kepemimpinan Ummat Islam.

  1. Al-Balad Ayat 10-20

Sebagaimana pemuda-pemuda terdahulu, kita saat ini juga Allah sediakan dua pilihan dalam mengisi masa muda; jalan yang mudah atau jalan yang sulit. Sebagai penutup, mari kita renungkan firman Allah dalam QS. Al-Balad 10-20; “Dan Kami telah menunjukan kepadanya dua jalan (10), Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki lagi sukar (11), Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (12), (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan (13), Atau memberi makan (orang lain) pada hari kelaparan (14), (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat (15), Atau kepada orang miskin yang sangat fakir (16), Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang (17), Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan (18), Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri (19), Mereka berada di dalam neraka yang tertutup rapat (20)”.

Kita bisa saja memilih jalan yang mudah. Menjadi pemuda yang ‘biasa-biasa’ saja, menikmati hidup. Tenggelam dalam belantara internet yang penuh hantu dan lumpur penghisap. Memburu follower atau friends untuk retweet, me-like, dan comment atas postingan. Kemudian pelan-pelan mencoba dan terbawa pada pergaulan bebas yang penuh ‘kesenangan’. Atau kita juga bisa memilih jalan pemuda kosmopolit yang berorientasi pada karir, jabatan, pendidikan tinggi, dan kekayaan an sich yang juga banyak membawa ‘kesenangan’. Keduanya adalah potret pemuda yang saat ini sangat banyak dan mudah kita temukan. Mereka banyak berpendidikan tinggi dan memiliki kecukupan harta tetapi bersifat individualistik, sangat sulit untuk berbagi. Jangankan kepada orang lain dan keperluan fii sabilillah, kepada kerabatnya pun berat. Pendidikan yang diperoleh justru semakin menjauhkan mereka dari Islam dan muslimin.

Atau kita juga dapat memilih jalan yang sulit dan mendaki. Yaitu jalan yang penuh pengorbanan. Jalan yang jauh dari kesenangan duniawi. Jalan yang dipilih oleh pemuda-pemuda sebagaimana digambarkan secara singkat di beberapa paragraf di atas. Seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang mendahulukan imannya kepada Allah dan melawan sistem yang sudah mengakar begitu lama daripada kesenangan masa kanak-kanaknya. Seperti pemuda sabiqunal awwalun di masa Imaam Wali Al-Fattaah yang lebih memilih bersusah payah hijrah demi menegakkan sunnah di saat pemuda-pemuda lain seusia mereka sedang sibuk meniti karir. Dan seperti pemuda-pemuda dari Garut yang sibuk mencari kebenaran di saat teman-teman sebayanya sedang asyik memodifikasi sepeda motor atau tenggelam dalam hingar-bingar kehidupan malam.

Sulit dan sukarnya jalan ini adalah sebagai konsekuensi akan kemuliaan hidup seseorang. Jika kita memilih jalan yang mudah, maka kita akan digolongkan sebagai ashabusy syimal (golongan kiri) penghuni neraka yang tertutup rapat. Sedangkan jika kita memilih jalan yang sulit, maka Allah akan kelompokkan kita sebagai ashabul yamin (golongan kanan) yang dilimpahi rahmat dan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu a’lam.

Subhaanaka inni kuntu minadz dzaalimin.

(R01/P1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

*Tausiyah  ini disampaikan M. Anshorullah dalam Tabligh Akbar Jama’ah Muslimin (Hizbullah) 1438 Hijriyah di Masjid At-Taqwa, Komplek Pondok Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor, 23 Sya’ban 1438/20 Mei 2017.

Rekomendasi untuk Anda

Amerika
Khadijah
Kolom
Indonesia