Senjata Nuklir, Masih Perlukah?

 

(dok:USAtoday)

Oleh : Rifa Berliana Arifin, Jurnalis MINA 

Media massa dunia, termasuk Halaman pertama Koran TheJakartaPost hari  Sabtu (7/10), memberitakan kelompok anti-Nuklir atau International Campaingn to Abolish Nuclear Weapons (ICAN) yang diumumkan sebagai Pemenang Hadiah tahun 2017.

NGO ini didirikan pada tahun 2007 sebagai upaya mendesak dunia internasional menyetujui penandatanganan pelarangan senjata nuklir Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons (TPNW).

Perjanjian pelucutan senjata nuklir akhirnya diadopsi oleh 122 negara anggota PBB pada Juli 2017. Namun, sembilan negara di dunia yang memiliki kekuatan nuklir, termasuk Amerika Serikat, Korea Utara, Israel, India, Pakistan, tak menandatangani perjanjian itu.

Alfred Nobel si penemu dinamit pernah berwasiat, nobel perdamaian hanya diberikan kepada mereka yang telah bersumbangsih untuk perdamaian dunia internasional (fraternity between nations) yang diwujudkan melalui pengurangan penggunaan senjata militer (abolition or reduction of standing armies) dan dikuatkan oleh kongres untuk menjaga keamanan bersama (holding and promotion of peace congress). 

Ada perdebatan pendapat tentang penggunaan nuklir sebagai senjata dan kaitannya dengan keamanan dunia internasional. Secara nalar, nuklir dengan kekuatan ledakannya bisa melenyapkan jutaan manusia dalam beberapa jam. Tentu ini menjadi ancaman bagi negara manapun yang tidak memiliki nuklir the same feelings.

Peperangan besar yang didominasi oleh kekuatan besar (adidaya) terjadi dan tidak sedikit merugikan kemanusiaan, jutaan jiwa lenyap dalam perang dunia (1914-1918) dan perang dunia kedua (1939-1945).

Oleh karena itu, besarnya dampak negatif  dalam peperangan yang telah terjadi menjadikan negara negara adikuasa menahan diri agar tidak lagi tercipta perang dunia ketiga, seperti  Amerika dan Rusia saat ini masih mendominasi sebagai negara terbesar dalam hal kekuatan militer, Industri militer kedua negara ini masih dominan di jagad ini, meskipun Tiongkok dengan kekuatan ekonomi yang dimilikinya merayap maju menjadi negara yang diperhitungkan.

Jadi, nuklir menjadikan negara negara dalam ‘aman’ di satu sisi, karena perhitungan pada dampak apabila ada balasan nuklir itu ditembakan. Tentu akan menghasilkan kerugian yang besar (bunuh diri). Contohnya perang antara India vs Pakistan yang saat ini ‘berhenti’ setelah keduanya sama-sama memiliki persenjataan nuklir.

Subtansinya, dua kekuatan besar seperti Amerika dan Rusia tidak akan head  to head dalam menggunakan nuklir, karena keduanya akan hancur secara bersamaan, bukan meraih keuntungan malah kebuntungan yang akan melanda.

Tapi saat ini. Justru mereka menjadikan nuklir sebagai proksi untuk meraih keuntungan dan kepentingan masing masing fihak. Kepentingan dalam arti bahwa nuklir menjadi tonggak kedaulatan negara dan keuntungan dalam arti bahwa negara negara akan berlomba membeli nuklir sebagai langkah mengimbangi kekuatan.

Dalam Kasus Donal Trump vs Kim Jong Un yang keduanya saling mengecam dan mengirimkan kode akan adanya kemungkinan perang terjadi. Buktinya keduanya masih ‘bercuit-cuit’ dan belum berani melepaskan nuklir, karena keduanya tahu konsekuensi besar setelahnya.

Perang proksi

Seiring Industri senjata nuklir terus berjalan, perang proksi masih menjadi senjata untuk mengambil kuasa dengan menggunakan cara-cara halus untuk menghancurkan dan mengalahkan lawan menggunakan pihak ketiga.

Amerika saat ini secara tidak langsung sedang memerangi Islam di berbagai belahan dunia, mereka menggunakan proksi “pihak ketiga” seperti ISIS, kelompok terorisme mengatasnamakan Islam, Khilafah, Mujahidin dan sebagainya. Mereka kemudian bergerilya atas nama jihad atau agama, padahal mereka dibiayai untuk kepentingan Amerika.

Yang pada akhirnya lahirlah Islamphobia di Eropa, kekerasan atas nama agama, padahal tidak ada agama apapun yang mengajarkan kekerasan pada pengikutnya.

Perang Nuklir belum terjadi, tapi berita-berita tentang persenjataan nuklir makin banyak menjadi berita utama dunia belakangan ini meyangkut persenjataan nuklir yang dimiliki Korea Utara, Iran, yang menimbulkan reaksi keras dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya.

Perang dengan persenjataan nuklir harus dicegah. Yang lebih penting lagi adalah persenjataan nuklir harus ditiadakan. Maka Nobel Perdamaian untuk ICAN adalah sesuatu yang pantas.

(A/RA1/P1)

Miraj News Agency