Kota Bria menjadi puncak konflik yang tiba-tiba meletus di Republik Afrika Tengah (CAR) pada pertengahan Mei 2017.
Pertempuran di Bria adalah puncak dari serangkaian kekerasan yang menewaskan sekitar 300 orang dalam dua pekan di CAR. Kekerasan itu telah menjadi gelombang kejut bagi rakyat negara itu, yang pernah mengalami trauma dan ketakutan oleh konflik agama yang terjadi beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2013, koalisi pemberontak yang mayoritas beridentitas Muslim dan dikenal sebagai Seleka, menggulingkan pemerintah CAR. Seleka pada awalnya adalah sebuah aliansi atau koalisi dari kelompok-kelompok yang didominasi Muslim. Mereka sejak itu retak. Mereka melakukan penjarahan dan pembunuhan.
Kelompok pertahanan lokal Kristen yang dijuluki anti-Balaka lalu bangkit untuk melawan mereka. Kemudian, kedua belah pihak saling melakukan kekejaman, yang berakhir dengan pembantaian dan pembunuhan masif terhadap warga Muslim yang merupakan kelompok minoritas.
Baca Juga: Joe Biden Marah, AS Tolak Surat Penangkapan Netanyahu
Kedatangan pasukan penjaga perdamaian PBB pada bulan September 2014 membantu menghentikan pertumpahan darah, tapi ribuan nyawa telah terlanjur melayang dan sekitar 800.000 orang dipaksa meninggalkan rumah mereka.
Pemilihan demokratis digelar pada 2016 yang memberi harapan baru akan masa depan CAR.
Namun, lebih dari setahun kemudian, harapan itu seakan menguap. Masyarakat internasional sudah mulai menarik diri dan berpaling dari masalah dalam negeri CAR.
“Pemilu tidak boleh dijadikan patokan bagi masyarakat internasional untuk pergi.” Itu yang dikatakan oleh Joseph Inganji, kepala badan bantuan kemanusiaan PBB untuk CAR.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Saat ini, pemerintah yang terpilih hanya memiliki sedikit kekuasaan di luar ibu kota, Bangui.
Lebih dari selusin kelompok bersenjata mengendalikan wilayah luas negara tersebut. Kelompok-kelompok itu menggunakan cara otoritas mereka sendiri dari perpajakan sampai kepada pengadilan.
Ketenangan yang telah tercipta sejak pemilihan, pada bulan Mei 2017 berubah menjadi hari-hari penuh kekerasan pada tingkat yang terburuk sejak puncak konflik pada tahun 2014.
Pertempuran antar etnis, semakin mempertebal lapisan kompleksitas krisis yang sudah rumit dan terfragmentasi.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
PBB mengatakan pada hari Kamis, 25 Mei 2017, sebanyak 300 orang telah tewas dalam kekerasan dua minggu terakhir.
Ada serangan di kota selatan Alindao. Serangan sepanjang hari terjadi di kota tenggara Bangassou. Enam penjaga perdamaian PBB terbunuh dalam rentang waktu sepekan. Lalu kekerasan berpusat di kota Bria.
Joseph Inganji mengatakan, mereka hanya mengetahui bahwa situasi semakin memburuk, sedangkan mereka tidak tahu siapa sebenarnya yang bermain di balik kerusuhan itu, atau mengapa kekerasan meningkat.
Siapa di belakang konflik?
Baca Juga: Inggris Hormati Putusan ICC, Belanda Siap Tangkap Netanyahu
Serangan yang pernah terjadi di bulan November 2016 di Bria, masih segar di benak orang-orang di kota itu ketika pertempuran meletus pada pertengahan Mei 2017.
Ketika sampai pada pertanyaan “Mengapa situasi meledak kembali?” Jawabannya, “Ini rumit.”
Warga dan pengamat sama-sama cenderung menolak bahwa konflik meletus atas latar belakang agama. Mereka berkeyakinan bahwa di balik krisis ini lebih kepada masalah “kekuasaan, kekuatan dan keuntungan”.
Beberapa pengamat menganalisa bahwa kelompok bersenjata bosan menunggu posisi yang dijanjikan di pemerintahan dan mendapat tempat perwakilan yang lebih luas, seperti eks-Seleka pada khususnya. Sementera yang lain mengatakan, ini tentang sumber daya alam CAR yang melimpah. Namun, banyak pula yang mengatakan bahwa terlalu sulit untuk mengetahui apa sebenarnya yang meicu terjadinya kekerasan tersebut.
Baca Juga: Guido Crosseto: Kami akan Tangkap Netanyahu Jika Berkunjung ke Italia
Evan Cinq-Mars, pakar CAR dan seorang penasihat kebijakan sipil mengatakan, janji atau harapan yang dihasilkan oleh pemilihan umum belum terwujud karena terbentur oleh tantangan-tantangan serius. Isu-isu seperti perlucutan senjata, demobilisasi, rekonsiliasi dan yang sangat penting keadilan dan akuntabilitas, sulit diselesaikan oleh pemerintah pusat terpilih.
Sekarang faksi-faksi bersenjata saling bertarung. Mereka menargetkan warga sipil berdasarkan etnisitas, agama, dan dukungan kepada kelompok lain. Kondisi itu membuat semakin sulit untuk mengetahui “siapa melawan siapa”.
Kelompok-kelompok yang berperang bukan hanya bekas kelompok Seleka atau anti-Balaka.
“Orang perlu mulai mengajukan pertanyaan tentang siapa orang-orang ini, siapa mereka dan berhubungan dengan siapa,” kata Cinq-Mars.
Baca Juga: Militer Israel Akui Kekurangan Tentara dan Kewalahan Hadapi Gaza
Sementara ini ada satu faksi eks Seleka yang bernama FPRC, menyerang aliansi yang lebih lemah dari unsur-unsur anti-Balaka. Mereka bersatu untuk melawan UPC yang dipimpin oleh minoritas etnis Peuhl.
Sifat kelompok bersenjata anti-Balaka bahkan lebih sulit untuk dijabarkan, mengingat bahwa istilah tersebut sejak awal mengacu pada pengelompokan milisi pertahanan lokal yang berbeda tanpa rantai komando yang jelas.
Direktur perusahaan Oxfam CAR, Ferran Puig mengatakan bahwa warga sangat gugup dengan situasi itu.
“Ketegangannya sangat tinggi sekali,” katanya pada akhir Mei 2017.
Baca Juga: ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu dan Gallant
Ferran Puig menggambarkan bagaimana keamanan dan aliansi berubah dari hari ke hari, ia menyebut situasinya “sangat membingungkan”.
Menurutnya, yang harus benar-benar dilakukan oleh kelompok-kelompok bersenjata itu adalah menghentikan pertempuran lalu menegosiasikan kesepakatan damai atau semacamnya. Namun, ia mengatakan bahwa sekarang sepertinya itu benar-benar mimpi, setidaknya untuk jangka pendek. (RI-1/B05)
Sumber: tulisan Cassandra Vinograd di Al Jazeera
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Trump Disebut Menentang Rencana Israel Aneksasi Tepi Barat