Suheil bin ‘Amar, Pahlawan Islam yang Jago Pidato

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Suheil bin ‘Amr adalah salah satu tokoh Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulanya jatuh menjadi tawanan Muslimin di perang Badar. Kala itu, Umar bin Khatthab r.a. mendekati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, katanya dengan geram,  “Wahai Rasulullah, biarkan saya cabut dua buah gigi muka Suheil bin ‘Amar hingga ia tidak dapat berpidato menjelekkan anda lagi setelah hari ini!”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan wahai Umar! Saya tak hendak merusak tubuh seseorang, karena nanti Allah akan merusak tubuhku, walaupun saya ini seorang Nabi!” Kemudian Rasulullah menarik Umar ke dekatnya, lalu katanya,  “Hai Umar! Mudah-mudahan esok, pendirian Suheil akan berubah menjadi seperti yang kamu sukai!”

Hari-hari pun berlalu, nubuwat Rasulullah menjadi kenyataan. Suheil bin ‘Amar seorang ahli pidato Quraisy yang terbesar, beralih menjadi seorang ahli pidato ulung di antara ahli-ahli pidato Islam, serta dari seorang musyrik yang fanatik berbalik menjadi seorang Mu’min yang taat, yang kedua matanya tak pernah kering dari menangis disebabkan takutnya kepada Allah.

Ia adalah salah seorang pemuka Quraisy serta panglima tentaranya berganti haluan menjadi prajurit yang tangguh di jalan Islam, seorang prajurit yang telah berjanji terhadap dirinya akan selalu ikut berjihad dan berperang, sampai ia mati dalam peperangan itu, dengan harapan Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah dilakukannya.

Utusan Quraisy

Suheil bin ‘Amar salah seorang pemimpin Quraisy yang terkemuka dan cerdik pandainya yang dapat dibanggakan. Dialah yang diutus oleh kaum Quraisy untuk meyakinkan Nabi agar membatalkan rencananya memasuki Mekah waktu peristiwa Hudaibiyah.

Di akhir tahun keenam Hijrah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama para shahabatnya pergi ke Mekah dengan tujuan berziarah ke Baitullah dan melakukan umrah  jadi bukan dengan maksud hendak berperang, tanpa mengadakan persiapan untuk peperangan.

Keberangkatan mereka ini segera diketahui oleh Quraisy, hingga mereka pergi menghadang mereka hendak menghalangi Muslimin mencapai tujuan mereka. Suasana pun menjadi tegang dan hati Kaum Muslimin berdebar-debar. Rasulullah berkata kepada para shahabatnya, “Jika pada waktu ini Quraisy mengajak kita untuk mengambil langkah ke arah dihubungkannya tali silaturahmi, pastilah kukabulkan.”

Quraisy pun mengirim utusan demi utusan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Semua utusan itu diberinya keterangan, kedatangannya bukanlah untuk berperang, tetapi hanya untuk mengunjungi Baitullah al-Haram dan menjunjung tinggi upacara-upacara kebesarannya.

Setiap utusan itu kembali, Quraisy mengirim lagi utusan yang lebih bijak dan lebih disegani, hingga sampai kepada ‘Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi, seorang yang lebih tepat untuk diserahi tugas seperti ini. Menutut anggapan Quraisy ia akan mampu meyakinkan Rasulullah untuk kembali pulang.

Tetapi tak lama antaranya ‘Urwah telah berada di hadapan mereka, katanya, “Hai manalah rekan-rekanku kaum Quraisy! Saya sudah pernah berkunjung kepada Kaisar, kepada Kisra dan kepada Negus di istana mereka masing-masing. Dan sungguh demi Allah, tak seorang raja pun saya lihat yang dihormati oleh rakyatnya, seperti halnya Muhammad oleh para shahabatnya! Dan sungguh, sekelilingnya saya dapati suatu kaum yang sekali­kali takkan rela membiarkannya dapat cedera! Nah, pertimbangkanlah masak-masak apa yang hendak tuan lakukan! “

Saat itu orang-orang Quraisy pun merasa yakin bahwa usaha-usaha mereka tak ada faedahnya, hingga mereka memutuskan untuk menempuh jalan berunding dan perdamaian. Dan untuk melaksanakan tugas ini mereka pilihlah pemimpin mereka yang lebih tepat, Suheil bin ‘Amar.

Perundingan pun terjadi

Kaum Muslimin melihat Suheil datang dan mengenal siapa dia. Maka maklumlah mereka bahwa orang-orang Quraisy akhirnya berusaha untuk berdamai dan mencapai saling pengertian, dengan alasan bahwa yang mereka utus itu ialah Suheil bin ‘Amar.

Suheil duduk berhadapan muka dengan Rasulullah, dan terjadilah perundingan yang berlangsung lama di antara mereka, yang berakhir dengan tercapainya perdamaian. Dalam perundingan ini Suheil berusaha hendak mengambil keuntungan sebanyak­banyaknya bagi Quraisy. Didukung pula oleh toleransi luhur dan mulia dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang mendasari berhasilnya perdamaian tersebut.

Waktu terus berjalan, hingga tibalah tahun ke delapan Hijriyah dan Rasulullah bersama Kaum Muslimin berangkat untuk membebaskan Mekah, yaitu setelah Quraisy melanggar perjanjian dan ikrar mereka dengan Nabi serta orang-orang Muhajirin pun kembalilah ke kampung halamannya setelah mereka dulu diusir dengan paksa. Bersama mereka ikut Pula orang-orang Anshar, yakni yang telah membawa mereka berlindung di kota mereka, serta mengutamakan mereka dari diri mereka sendiri. Kembalilah pula Islam secara keseluruhannya, mengibarkan panji-panji kemenangannya di angkasa luas. Dan kota Mekah pun membukakan semua pintunya. Sementara orang-orang musyrik terlena dalam kebingungannya.

Rasulullah yang amat pengasih itu tak hendak membiarkan mereka meringkuk demikian lama di bawah tekanan perasaan yang amat pahit dan getir ini. Dengan dada yang lapang dan sikap yang lunak dan lembut, dihadapkan wajahnya kepada mereka sambil berkata, sementara getaran dan irama suaranya yang bagai menyiramkan air kasih sayang berkumandang di telinga mereka:

“Wahai segenap kaum Quraisy! Apakah menurut sangkaan kalian, yang akan aku lakukan terhadap kalian?”

Mendengar itu tampillah musuh Islam kemarin Suheil bin ‘Amar memberikan jawaban, “Sangka yang baik! Anda adalah saudara kami yang mulia …. dan putera saudara kami yang mulia!”

Sebuah senyuman yang bagaikan cahaya, tersungging di kedua bibir Rasulullah kekasih Allah itu, lalu serunya, “Pergilah kalian! Semua kalian bebas!”

Ucapan yang keluar dari mulut Rasulullah yang baru saja memperoleh kemenangan ini tidaklah akan diterima begitu saja oleh orang yang masih mempunyai perasaan, kecuali dengan hati yang telah menjadi peleburan dan perpaduan antara rasa malu, ketundukan dan penyesalan.

Menjadi muslim dan ahli ibadah

Pada saat itu juga, suasana yang penuh dengan keagungan dan kebesaran ini telah membangkitkan semua kesadaran Suheil bin ‘Amar, menyebabkannya menyerahkan dirinya kepada Allah Rabbul ‘Alamin. Keislamannya itu, bukanlah keislaman seorang laki-laki yang menderita kekalahan lalu menyerahkan dirinya kepada taqdir  saat itu juga.

Namun, sebagaimana keislaman seseorang yang terpikat dan terpesona oleh kebesaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kebesaran agama yang diikuti ajaran-ajarannya oleh Nabi Muhammad, dan yang dipikulnya bendera dan panji-panjinya dengan rasa cinta yang tidak terbada.

Orang-orang yang masuk Islam di hari pembebasan kota Mekah itu disebut “thulaqa’ ” artinya orang-orang yang dibebaskan dari segala hukum yang berlaku bagi orang yang kalah perang, karena mereka mendapat amnesti dan ampunan dari Rasulullah itulah, dengan kesadaran sendiri berpindah aqidah dari kemusyrikan ke agama tauhid, yakni ketika beliau bersabda,  “Pergilah tuan-tuan . . . ! Tuan-tuan semua bebas … !”

Namun, dari segolongan orang-orang yang dibebaskan ini karena ketulusan hati mereka, kebulatan tekad dan pengurbanan yang tinggi serta ibadat dengan hati yang suci mengantarkan mereka kepada barisan pertama dari shahabat-shahabat Nabi yang budiman. Maka di antara mereka itu terdapatlah Suheil bin ‘Amar.

Agama Islam telah menempa dirinya secara baru. Dicetaknya semua bakat dan kecenderungannya dengan menambahkan yang lainnya, lalu semua itu dipacunya untuk menegakkan kebenaran, kebaikan dan keimanan . . . . Orang-orang melukiskan sifatnya dalam beberapa kalimat: “Pemaaf, pemurah . . . , banyak shalat, shaum dan bersedekah . . . serta membaca al-Quran dan menangis disebabkan takut kepada Allah … !”

Demikianlah kebesaran Suheil! Walaupun ia menganut Islam di hari Demikian pula di masa silam, ia berdiri di arena peperangan bersama orang-orang musyrik menghadapi Islam. Maka sekarang ia harus tampil di barisan tentara Islam sebagai prajurit yang gagah berani, untuk memadamkan bersama para pendekar kebenaran, perapian Nubhar yang disembah oleh orang-orang Persi, dan mereka bakar di dalamnya saji-sajian rakyat yang mereka perbudak, serta melenyapkan pula bersama para pendekar kebenaran itu kegelapan bangsa Romawi dan kezaliman mereka, dan menyebarkan kalimat tauhid dan taqwa ke pelosok-pelosok dunia.

Maka pergilah ia ke Syria bersama tentara Islam untuk turut mengambil bagian dalam peperangan-peperangan di sana. Tidak ketinggalan pada pertempuran Yarmuk, saat Kaum Muslimin menerjuni pertarungan yang terdahsyat dan paling sengit yang pernah mereka alami.

Hatinya bagaikan terbang kegirangan karena mendapatkan kesempatan yang amat baik ini, guna menebus kemusyrikan dan kesalahan-kesalahannya di masa jahiliyah dengan jiwa raganya.

Suheil amat mencintai kampung halamannya Mekah, sampai lupa cinta yang dapat mengurbankan dirinya. Walaupun demikian, ia tak hendak kembali ke sana setelah kemenangan Kaum Muslimin di Syria, katanya “Saya dengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketekunan seseorang pada sesuatu saat dalam perjuangan di jalan Allah, lebih baik baginya daripada awal sepanjang hidupnya.”

Maka sungguh saya akan berjuang di jalan Allah sampai mati, dan takkan kembali ke Mekah!” Suheil pun memenuhi janjinya ini. Ia terus dan tetap berjuang di medan perang sepanjang hayatnya, hingga tiba saat keberangkatannya. Maka ketika ia pergi segeralah ruhnya terbang mendapatkan rahmat dan keridlaan Allah.

Selamat jalan wahai Suheil bin ‘Amr. Andalah pahlawan Islam yang telah ikut bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menebar cahaya kebenaran. Semoga Allah Ta’ala menempatkanmu di surga-Nya yang mulia.(A/RS3/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.