Syarat Sah Itikaf

Oleh : Syeikh Nashir bin Sulaiman al ‘Umri

Mantan Sekjen Rabitah Alam Islami

Berikut ini beberapa syarat itikaf yang disepakati ulama, yang rajih dan yang marjuh (tidak rajih):

Pertama, rukun itikaf itu satu. Namun sebagian ulama mengatakan ada empat atau lima rukun itikaf. Dan yang benar adalah hanya satu. Yaitu berdiam diri di masjid. Maksudnya berdiam di masjid dalam rangka mentaati Allah ‘Azza wa Jalla, untuk beribadah kepadaNya.

Rukun tersebut harus menghiasi semua pelaksanaan hukum-hukum. Kaidah penting ini cukup menjelaskan kepada kita bahwa siapa saja yang keluar dari rukun ini maka ia telah jatuh ke dalam sikap meremehkan atau bahkan menyebabkan batalnya itikaf.

Dengan demikian menurut pendapat yang benar, rukun itikaf itu hanya satu, yaitu berdiam diri di masjid.

Kedua, adapun syarat itikaf yang disepakati ada lima. Yang pertama yakni itikaf harus di masjid. Mungkin anda bertanya apa perlunya menyebut itu sebagai syarat sedangkan hal itu sebenarnya merupakan rukun ? Para ulama menjelaskan bahwa penyebutan hal itu sebagai syarat bertujuan untuk penegasan. Agar tidak ada yang mengatakan saat dirinya duduk di mushala rumahnya atau mushala lainnya, lalu mengatakan dirinya sedang beritikaf.

Adapun syarat yang diperselisihkan dan yang rajih adalah penetapannya sebagai syarat yakni syarat thaharah (suci) dari haidh, nifas dan junub. Menurut pendapat yang rajih hal-hal tersebut termasuk ke dalam syarat itikaf. Demikian juga izin tuan kepada budaknya dan izin suami kepada istrinya juga merupakan bagian dari syarat, menurut pendapat yang rajih.

Ketiga, syarat yang diperselisihkan dan dinilai tidak rajih untuk ditetapkan sebagai bagian dari syarat itikaf adalah puasa. Syarat ini menyebutkan bahwa orang yang itikaf tanpa berpuasa maka itikafnya tidak sah.

Dalam hal itu menurut pendapat yang rajih, seseorang sah beritikaf meski tidak berpuasa. Sebab tidak ada satupun dalil shahih dan jelas yang menyebut puasa sebagai syarat itikaf.

Para ulama yang mengatakan puasa bukanlah salah satu syarat itikaf berpegangan pada hadits Umar RA yang mengatakan, “Sesungguhnya aku bernazar untuk menunaikan itikaf satu malam di masjid.”

Kita tahu bahwa malam bukanlah waktu untuk berpuasa sebagai satu ketentuan khusus, melainkan hanya ketentuan yang mengikutinya seperti orang yang melanjutkan puasanya di malam hari. Sehingga selama seseorang beritikaf di malam hari dengan benar, sedangkan malam bukanlah waktu puasa secara khusus, mala hal itu menunjukkan bahwa puasa bukanlah syarat sah itikaf.

Itikafnya wanita yang istihadhah

Para ulama berselisih dalam hal ini. Dan pendapat yang benar adalah wanita yang istihadhah diperbolehkan itikaf. Dalilnya hadits shahih dari ‘Asiyah RA yang diriwayatkan Bukhari. ‘Aisyah RA mengatakan, “Salah satu istri Rasulullah shallallahu’alaihi wa salla beritikaf bersamanya dalam keadaan ia istihadhah. Saat itu ia melihat warna kuning dan merah yang mungkin saja bisa menetes dari bawahnya saat menunaikan shalat.” (HR Bukhari). Maksudnya agar tidak menodai masjid.

Ini berarti wanita istihadhah sebagaimana ia tidak boleh shalat dan dibolehkan puasa atau didatangi suaminya maka boleh baginya untuk beritikaf. Namun dengan syarat ia harus benar-benar menjaga dirinya agar tidak menodai lantai masjid.

Hukum itu juga berlaku bagi yang keluar tetesan air kencingnya, atau keluar madzi dan wadi serta yang terluka ringan. Namun dalam hal ini disyariatkan bagi mereka menjaga diri sungguh-sungguh  agar tidak menodai masjid

Tempat itikaf

Kami telah menyebutkan bahwa masjid merupakan salah satu syarat sahnya itikaf. Tidak sah itikaf tanpa di masjid. Bahkan terdapat riwayat menyebut itu sebagai keputusan ijma’. Imam Al Qurthubi mengatakan para ulama telah bersepakat bawah itikaf tidak dapat dilakukan kecuali di masjid. “Kami,” kata beliau dalam Al Mughni, “tidak tahu ada yang berselisih terkait ini.”

Ibnu Rusyd mengatakan, “Para ulama bersepakat masjid menjadi syarat sah itikaf. Kecuali Muhammad bin Umar bin Lubabah yang membolehkan itikaf di manapun. Namun pendapat ini lemah.

Bagi laki-laki tidak sah itikaf kecuali di masjid yang ditunaikan di dalamnya shalat berjamaah. Demikian agar ia tidak kehilangan shalat jamaah. Ketentuan ini berlaku bagi ia yang bukan termasuk golongan yang uzur.

Sedangkan mereka yang terkendala uzur yang tidak diwajibkan untuk shalat jama’ah maka boleh baginya beritikaf di masjid yang tidak terdapat shalat jamaah di dalamnya.

Adapun bagi perempuan maka syarat masjid tidak diwajibkan atasnya. Sehingga boleh baginya menunaikan itikaf di masjid yang tidak ada shalat jamaah di dalamnya.

Bolehkah perempuan itikaf di masjid rumahnya ?

Pendapat yang benar adalah pendapat jumhur yang mengatakan bahwa perempuan tidak boleh beritikaf di masjid rumahnya atau mushola rumahnya. Sebab itu bukanlah tempat sah untuk itikaf.

Jika mampu, hendaknya ia (perempuan) itikaf di masjid yang aman dari fitnah. Untuk itu itikaf hukumnya boleh bagi perempuan. Jika masjid itu tidak aman maka ia boleh tidak beritikaf. Dan jangan itikaf di mushola rumahnya. Pendapat demikian adalah yang rajih.

Pendapat tersebut berdasarkan hadits bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tatkala istri-istrinya meminta izin itikaf, beliau mengizinkannya. Sekiranya itikafnya perempuan itu di rumah, tentu beliau akan menunjukan kepada hal itu. Sebab shalat bagi perempuan yang utama adalah di rumahnya.

Sehingga izin Nabi shallallahu’alaihi wa sallam kepada istri-istrinya untuk menunaikan itikaf di masjid menjadi dalil bahwa rumah bukanlah tempat itikaf. Sekiranya rumah boleh dijadikan tempat itikaf sebagaimana ia menjadi tempat shalat, tentu Nabi shallallahu’alaihi wallam memerintahkan para wanita untuk itikaf di rumahnya.

Persoalan ini penting karena saya dapat info bahwa sebagian perempuan beritikaf di mushola rumahnya. Kami katakan pendapat ini tidak benar dan lemah. (L/RA 02)

Sumber : Saaid.net

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.