Auckland, MINA – Terdakwa serangan terorisme yang menyerang dua masjid di Christchurch, New Zealand, telah mengajukan pengaduan resmi terkait cara dirinya diperlakukan di penjara, mengatakan ia telah kehilangan hak-hak dasarnya.
Menurut sebuah sumber terpercaya, Brenton Tarrant (28), yang membunuh 50 Muslim dalam serangan itu, mengeluhkan ia tidak diberikan akses untuk menerima pengunjung dan panggilan telepon dari balik selnya di Penjara Auckland di Paremoremo. Itu adalah bui paling keras dan ketat di New Zealand.
Tarrant, warga Australia, telah didakwa dengan satu pembunuhan dan diperkirakan bakal menghadapi dakwaan lanjutan.
Salah satu situs berita ternama di New Zealand Stuff, menyebutkan si terdakwa mengajukan protes kepada Departemen Pemasyarakatan bahwa dirinya tidak mendapat hak-hak mendasar, terutama panggilan ponsel dan bertemu pengunjung.
Baca Juga: Pusat Budaya dan Komunitas Indonesia Diresmikan di Turki
Menurut Undang-Undang Pemasyarakatan, seorang tahanan berhak menerima satu tamu per pekan selama sedikitnya 30 menit. Tahanan juga berhak berbicara melalui ponsel paling tidak satu kali per pekan. Selain itu, tahanan berhak mendapat makan dan minum yang layak, tempat tidur, layanan kesehatan, dan olah raga.
Namun ada beberapa pengecualian. Hak-hak itu dapat ditangguhan karena berbagai alasan termasuk dipisahkan untuk tujuan keamanan dan keselamatan tahanan.
Sumber Departemen Pemasyarakatan mengatakan, “Dia terus-menerus diawasi dan diisolasi. Dia tidak mendapatkan hak minimum yang biasa. Jadi tidak ada panggilan telepon dan tidak ada kunjungan untuknya,” kata sumber itu.
Mengutip BBC, rakyat New Zealand masih berupaya pulih setelah aksi penyerangan berlangsung. Lebih dari 20.000 orang menghadiri acara berkabung di Hagley Park, Kota Christchurch, yang dihadiri Perdana Menteri Jacinda Ardern.
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina
Pada acara itu, sejumlah orang menyampaikan pesan penolakan terhadap ekstremisme dan merangkul kemanusiaan.
Ardern berkata, “Kami tidak kebal terhadap virus-virus kebencian, ketakutan… Kami tidak pernah kebal, namun kami bisa menjadi bangsa yang menemukan obatnya.”
Farid Ahmed, yang sempat mencegah serangan namun kehilangan istrinya dalam aksi penembakan di masjid, menyerukan perdamaian seraya berkata dirinya telah memaafkan pelaku.
Cat Stevens, yang menyandang nama Muslim, Yusuf Islam, menyanyikan lagu-lagunya yang berjudul Peace Train dan Don’t Be Shy.
Baca Juga: Lima Paramedis Tewas oleh Serangan Israel di Lebanon Selatan
Segenap nama 50 korban meninggal dunia dibacakan dalam acara itu, yang mencakup pria, perempuan, dan anak-anak. Korban termuda baru berusia tiga tahun.
Sejauh ini masih ada 22 korban yang berupaya pulih di rumah sakit, termasuk bocah perempuan berusia empat tahun yang mengalami cedera serius. (T/R11/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Joe Biden Marah, AS Tolak Surat Penangkapan Netanyahu