Tiga Kali Pemberontakan PKI

Foto: Detik.com

Oleh: Sajadi, Wartawan MINA

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan suatu gerakan sosial politik yang menjadi ancaman bagi Negara Indonesia karena ingin menjadikan Indonesia sebagai negara komunis dan melumpuhkan lawan-lawannya terutama kalangan Islam.

Terbentuknya PKI berawal dari sebuah organisasi bernama Indische Social Democratische Vereniging (ISDV) yang didirikan oleh seorang  sosialis Hindia Belanda, Henk Sneevliet pada 1914.

Tujuan PKI adalah untuk menanamkan paham komunisme, PKI juga berhasrat untuk mewujudkan Negara Komunis Indonesia.

Untuk mewujudkan hal tersebut, tokoh-tokoh PKI melakukan serangkaian propaganda, pembunuhan terhadap tokoh yang anti komunis, para ulama dan  pemberontakan terhadap pemerintah.

Setidaknya tercatat dalam sejarah, PKI melakukan tiga kali pemberontakan, yakni sekali di masa pemerintahan penjajah Hindia Belanda dan dua kali di masa kemerdekaan Republik Indonesia.

Pemberontakan PKI di Silungkang 1926-1927

Pemberontakan pertama Partai Komunis Indonesia (PKI) terjadi pada masa pemerintahan penjajah Hindia Belanda tahun 1926-1927.

Meski terjadi perselisihan internal, PKI tetap berani melakukan pemberontakan melawan penjajah yang saat itu kekuatan militernya begitu kuat.

Peristiwa pemberontakan tersebut terjadi di beberapa wilayah Sumatera dan Jawa, salah satunya terjadi di Silungkang, Sumatera Barat.

Rencana pemberontakan tersebut merupakan hasil rundingan dalam Konferensi Prambanan yang diadakan PKI pada 25 Desember 1925.

Dalam artikel “Pemberontakan PKI di Silungkang Tahun 1927″ (2004:5) karya Nurhabsyah, dikutip dari tirto.id, terungkap beberapa rencana pemberontakan kelompok PKI dilakukan dengan beberapa aksi terlebih dahulu.

Namun gerakan itu ternyata dapat diendus oleh Belanda. Pemerintah penjajah mengambil tindakan tegas dengan meluncurkan aksi penangkapan terhadap para petinggi PKI Sumatera Barat.

Meski para tokohnya ditangkap, anggota PKI yang lain tetap nekad menjalankan aksi pemberontakan yang puncaknya terjadi pada malam hari tanggal 1 Januari 1927.

Rombongan pertama yang dipimpin Abdul Muluk Nasution bergerak dari Silungkang ke Sawahlunto. Namun, mereka langsung disergap serdadu Belanda di Muara Kalaban dan dibawa ke penjara Sawahlunto.

Pemberontakan terus berlangsung, buruh tambang batubara di Sawahlunto ikut melawan.

Kelompok pemuda dari nagari-nagari (desa) sekitar Silungkang yang mengibar-ngibarkan bendera merah terlibat baku tembak dengan serdadu Belanda.

Pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan pada Maret 1927, setelah Belanda mengirim 12 kompi tentara dari Jawa dibawah pimpinan Mayor Rhenrev.

Empat orang pimpinan PKI, yakni Manggulung, M. Jusuf, Sampono Kajo, dan Badarudin gelar Said, dihukum gantung di penjara Sawahlunto, sisanya dibuang ke Boven Digul, sebuab kamp tahanan di Papua.

PKI kemudian dinyatakan terlarang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Pemberontakan PKI di Madiun 1948

Pada masa pelarangan, PKI terus melakukan kegiatan dengan berupaya untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan.

Pada 1935, pemimpin PKI Muso kembali dari pembuangan di Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakan di bawah tanah, tapi aktif  dalam berbagai front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh.

Pemberontakan PKI yang kedua ini terjadi di masa kemerdekaan. Dilatarbelakangi lengsernya Kabinet Amir Syarifuddin dipimpin Amir yang komunis akibat Perundingan Renville yang mendapat tantangan luas karena dinilai banyak merugikan Indonesia dan menguntungkan Belanda yang ingin terus menjajah Indonesia.

Kabinet Amir dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Dia terpaksa menyerahkan mandatnya kepada Presiden dan dialihkan kepada Kabinet Hatta dipimpin Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Amir Syarifuddin kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. Himpunan politik ini berupaya menaruh diri sebagai oposisi terhadap pemerintahan dibawah kabinet Hatta.

Selain itu, FDR juga bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan.

Muso menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk menentang pemerintah, bahkan dia sukses mengambil alih pucuk pimpinan PKI.

Beberapa aksi dijalankan oleh himpunan tersebut, seperti melancarkan propaganda anti pemerintah, mengadakan demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh lawan-lawan politik, serta menggerakkan kerusuhan di beberapa tempat.

Puncaknya yaitu pemberontakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur.

Tujuan pemberontakan itu yaitu meruntuhkan negara Republik Indonesia dan menggantinya dengan negara komunis.

Dalam pemberontakan itu, beberapa pejabat, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh dengan kejam.

Tindakan kekejaman tersebut membuat rakyat marah dan mengutuk PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang menghadapi Belanda, tetapi pemerintah RI bisa bertindak cepat.

Panglima Besar Sudirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI.

Pada 30 September 1948, Madiun dapat direbut kembali oleh TNI dan Polisi. Dalam operasi ini Muso sukses ditembak mati sedangkan Amir Syarifuddin dan tokoh-tokoh pautannya ditangkap kemudian dijatuhi hukuman mati.

Pemberontakan G30S/PKI 1965

Pemberontakan PKI yang ketiga terjadi pada 30 September 1965 dipimpin oleh DN Aidit yang merupakan ketua dari partai tersebut.

PKI dan antek-anteknya terlebih dulu mematangkan situasi dengan berbagai macam aksi mencoba melemahkan lawan-lawan tangguhnya terutama kalangan Islam. Adu domba, penyerangan kegiatan ormas Islam, fitnah, memanfaatkan konsep Nasakom (konsep persatuan kalangan Nasionalis, Agama dan Komunis) dari Bung Karno, kampanye melawan tokoh/ormas Islam yang anti komunis,  pelarangan media massa anti komunis, menanam pengaruh dalam ABRI, menyebar isyu untuk menimbullkan kegemparan dan perpecahan bangsa, agama dll.

Peristiwa yang dikenal dengan Gerakan 30 September (G30S/PKI) bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dan mengubah Indonesia menjadi negara komunis.

Tanggal 30 September malam, Letkol Untung Sutopo, seorang perwira dari Resimen Cakrabirawa (pasukan pengawal Istana) memimpin pasukan yang dianggap loyal pada PKI bergerak menculik beberapa perwira tinggi pejabat teras TNI termasuk Menko Hankam / KASAB Jendral AH Nasution dan Panglima Angkatan Darat Jendral Achmad Yani.

Lainnya Letnan Jenderal Suprapto, Letnan Jenderal MT Haryono, Letnan Jenderal S Parman, Mayor Jenderal DI Pandjaitan, Mayor Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Pierre Tendean.

Mereka kemudian dibunuh dan jenazahnya ditemukan di sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Sementara Panglima TNI Jenderal AH Nastion yang merupakan target utama PKI berhasil lolos, namun putrinya Ade Irma Suryani dan ajudannya Letnan Pierre Tendean tewas oleh peluru para pemberontak.

Setelah peristiwa G30S/PKI, rakyat menuntut Presiden Soekarno untuk membubarkan PKI. Demonstrasi digerakkan mahasiswa, pemuda, pelajar terutama dari kalangan Islam terjadi di mana-mana.

Panglima Kostrad Mayjen. sebagai perwira tinggi senior yang membawahi pasukan memimpin penumpasan PKI.

Anggota organisasi yang dianggap simpatisan atau terkait dengan PKI juga ditangkap. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Lekra, CGMI, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia, Gerakan Wanita Indonesia dan lain-lain.

S0ekarno terpaksa memberi Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)  pada Soeharto. PKI dan organisasi-organisasi di bawahnya resmi dibubarkan. Setahun kemudian MPR dipimpinan Jendral AH Nasution mengeluarkan Ketetapan Pelarangan Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Soekarno juga diberhentikan sebagai Presiden, diganti Soeharto sebagai Pejabat Presiden.  (A/RE1/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: sajadi

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.