TRAGEDI SABRA-SHATILA, PERJUANGAN TERUS BERLANJUT

shabran syatila

Ali Farkhan Tsani
Ali Farkhan Tsani

Oleh: Ali Farkhan Tsani

Penulis Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Duta Internasional Al-Quds, dan Alumni Institut Al-Quds Shana’a Yaman

Hari ini, Selasa 16 September 2014, Pemerintah dan warga Palestina, serta kita kaum Muslimin serta umat manusia, memperingati tragedi pembantaian Sabra-Shatila, 16 September 1982.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas dalam sambutan peringatan menyatakan, pengorbanan Sabra dan Shatila, akan terus dilanjutkan dalam perjuangan Palestina, hingga mencapai hak-haknya secara sah dan penuh.

Tragedi Sabra-Shatila

Sejarah kelam menulis, tanggal 16 September 1982 atau 32 tahun lalu, pasukan Zionis Israel di bawah komando Menteri Pertahanan waktu itu, Ariel Sharon, membantai sekitar 3.500-8.000 warga sipil tak berdosa di Kamp Pengungsi Sabra-Shatila Beirut Barat, Lebanon.

Pembantaian berlangsung selama tiga hari berturut-turut, mulai tanggal 16 hingga 18 September 1982. Warga sipil terdiri dari anak-anak, bayi, wanita, dan orang tua dibantai dan dibunuh secara mengerikan.

‘Si Tukang Jagal’ Ariel Sharon dan kepala stafnya, Rafael Etan, beserta pasukan bersenjata lengkap mengepung kamp pengungsi Sabra-Shatilla, lalu bersama milisi Angkatan Lebanon Kristen di bawah komando Elie Hobeika menyerang, membunuh dan membantai ribuan pengungsi yang tidak bersalah dan tak bersenjata apapun.

shabran syatilaSabra adalah nama sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, Lebanon, bersebelahan dengan kawasan kamp pengungsi Shatila.

Shatila merupakan nama kawasan pengungsi yang dikelola oleh Badan PBB untuk Pengungsi Palestina UNRWA (The United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East ).

Kamp Pengungsi Shatila dibangun untuk para pengungsi Palestina sejak 1949. Selama bertahun-tahun, penduduk dari kedua wilayah tersebut berbaur menyatu, sehingga biasa disebut dengan “Kamp Sabra-Shatila”.

Organisasi Pembebasan Palestina PLO (The Palestine Liberation Organization), waktu itu memang menggunakan Lebanon bagian selatan sebagai pangkalan untuk melawan Zionis Israel. Sehingga pasukan Zionis Israel mengklaim bahwa pembantaian itu dilakukan untuk mencari pejuang PLO, yang menurut mereka berada di kamp Sabra-Shatila.

Padahal sesungguhnya kelompok pejuang PLO tidak berada di tempat itu. Bagaimana mungkin pembantaian tanpa ada perlawanan bersenjata, karena memang di kamp pengungsian itu hanyalah anak-anak, perumpuan, dan para orang tua.

Setelah pembantaian tersebut, alih-alih untuk menangkal kecaman dunia, Mahkamah Agung Israel membentuk Komisi Cahan untuk menyelidiki kejahatan terhadap ribuan pengungsi tersebut.

Namun apa hasilnya? Pada tahun 1983, Komisi Cahan mengumumkan hasil penyelidikan atas pembantaian tersebut dan memutuskan bahwa Ariel Sharon tidak langsung bertanggung jawab atas peristiwa itu. Maka, Sharon pun melanjutkan karier politiknya, menjadi Perdana Menteri Israel (7 Maret 2001 hingga 14 April 2006).

Kekuasaannya sebagai perdana menteri kemudian digantikan oleh Perdana Menteri (sementara) Ehud Olmert, karena Sharon terkena serangan stroke pada Januari 2006. Sejak itu, ia pun mengalami koma secara permanen selama delapan tahun, hidup tidak matipun belum.

Sharon sekarat sepanjang lebih dari 96 bulan atau lebih dari 2.920 hari. Hingga dinyatakan meninggal pada 11 Januari 2014 (85 tahun).

Nasib tidak kalah pahitnya dialami kepala staf Sharon waktu itu, Rafael Etan. Jenderal Angkatan Pertahanan Israel kelahiran 11 Januari 1929 itu tewas di Laut Tengah atau disebut juga dengan Laut Mediterania.

Etan, waktu itu 23 November 2004 (usia 75 tahun), dari Pelabuhan Ashdod, bermaksud bertamasya melihat-lihat proyek perluasan pelabuhan di wilayah jajahan Zionis Israel.

Saat ia berada di pelabuhan, tiba-tiba saja ombak besar Laut Tengah menariknya ke tengah laut, dan ia pun dinyatakan hilang di laut selama berjam-jam. Kemudian jasadnya ditemukan oleh Angkatan Laut Israel, dalam keadaan mengenaskan.

Nasib serupa menimpa Elie Hobeika (kelahiran 1956), komandan Angkatan Kristen Lebanon. Walaupun ia pernah secara ironis terpilih sebagai anggota parlemen Lebanon tahun 1990-an. Namun akhir hidupnya sungguh mengenaskan.

Pada 24 Januari 2002, Elie Hobeika bersama pemandunya, tewas terbunuh oleh ledakan bom mobil di Beirut, Lebanon. Seberat 22 pon bom jenis TNT (Tri Nitro Toluena) diletakkan dalam mobil sedan berdekatan dengan mobil Hobeika. Sebanyak empat tangki oksigen dalam mobil Hobeika memperkuat lagi ledakan.

Terus Berjuang

Ada kalimat penting sambutan Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada peringatan Sabra-Shatila. Yaitu, bahwa bangsa Palestina berjuang keras siang dan malam dengan seluruh energi yang ada, dan dengan mengakhiri perpecahan.

Abbas menjelaskan, peringatan Sabra-Shatila, menunjukkan betapa pengorbanan orang-orang terdahulu, akan kita lanjutkan dalam perjuangan Palestina, sampai memperoleh hak-haknya secara sah dan penuh.

Perjuangan itu tentu akan terus berlanjut, dengan kekuatan rekonsiliasi bersatunya Hamas-Fatah, serta dukungan seluruh kaum muslimin sedunia. Tentu memberikan dorongan kuat menuju kemerdekaan Negara Palestina dan pembebasan Masjid Al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam.

Patut pula menjadi catatan, apa yang dikatakan Kolumnis Palestina, Dr. Sri al-Qudwah, bahwa tragedy Sabra-Shatila merupakan pembantaian terburuk dalam sejarah manusia yang pernah dikenal.

Namun, menurutnya, walaupun demikian, itu juga merupakan hari ketabahan luar biasa bangsa Palestina saat itu. Sama seperti ketabahan warga Gaza saat serangan Zionis Israel beberapa waktu lalu, dan ketabahan warga di kawasan Al-Quds yang tidak leluasa shalat di Masjid Al-Aqsha, juga warga Hebron dan Nablus yang terus mengadakan perlawanan.

“Namun semua kejadian, tragedi, pembantaian, dan apapun namanya, tidak tidak akan membuat bangsa Palestina bertekuk lutut terhadap penjajahnya. Justru akan semakin meningkatkan perjuangan dan perlawanan,” tulis al-Qudwah.

Perjuangan untuk Al-Aqsha dan Palestina terus berkibar. (Foto:Afta/MINA)
Perjuangan untuk Al-Aqsha dan Palestina terus berkibar. (Foto:Afta/MINA)

Ia menyebut, seluruh warga Palestina kini tidak akan meninggalkan tanah air mereka. Mereka semua siap menjadi syuhada-syuhada selanjutnya, seperti diteladankan pendahulunya di Sabra-Shatila, dan tempat-tempat lainny.

Tentu juga, merupakan perjuangan seluruh kaum Muslimin serta manusia yang mencintai kemanusiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan hak-hak asasi manusia.

Untuk meraih semua itu, diperlukan kesungguhan yang tiada henti, keikhlasan karena Allah, persatuan dan kesatuan yang tidak mudah goyah, serta kesabaran (shabran) yang luar biasa, sesuai dengan namanya yang kita peringati ‘shabran wa syatiilaa”. (T/P4/R03).

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.

Comments: 0