Tuduhan Tidak Beradab Israel Terhadap Orang-orang Palestina

Oleh Dr Mohammad Makram Balawi, Penulis dan Akademisi Palestina yang tinggal di Istanbul. Dia adalah presiden Forum Timur Tengah Asia. Artikelnya sering muncul di MEMO.

Baru-baru ini, dalam insiden mengejutkan, Menteri Kebudayaan Israel Miri Regev, sangat marah terhadap novel anak-anak Palestina yang ditulis oleh Walid Dagga, seorang tahanan Palestina yang menghabiskan lebih dari 30 tahun di penjara karena menolak pendudukan. Menurutnya, dia dipenjara bukan untuk menulis novel tetapi dihukum. Hal ini mungkin aneh bagi beberapa orang, tetapi sebenarnya sangat sejalan dengan wacana resmi Israel, sebagai iblis yang hanya bisa membunuh tanpa pandang bulu untuk membentuk stereotip orang Palestina. Menulis novel? Nah, tentu saja tidak sesuai dengan stereotip ini.

Menteri Dalam Negeri Israel Aryeh Deri, mencegah acara peluncuran novel yang diadakan di kampung asal penulis. Dinas Penjara Israel menyatakan bahwa mereka akan melakukan penyelidikan penuh atas insiden itu dan menghukum penulis, yang telah menghabiskan 34 tahun di penjara.

Ironisnya beberapa bulan yang lalu, Walid dihukum oleh pemerintah Israel dengan menambahkan dua tahun lagi hukumannya karena berkonspirasi dengan seorang anggota Palestina dari parlemen Israel, Basel Ghattas, untuk menyelundupkan ponsel ke dalam penjara. Sebuah berita melaporkan bahwa pengadilan Israel menghukum Ghattas atas tuduhan penipuan, pelanggaran kepercayaan dan penyelundupan surat terlarang dan peralatan elektronik ke penjara. Dia dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Tuduhan sebelumnya, memberikan dukungan material bagi tindakan tindakan teror telah dihapus sebagai bagian dari kesepakatan dan Ghattas juga dipaksa untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Beberapa minggu lalu, saya juga menulis tentang bagaimana militer Israel dengan sengaja menargetkan pekerja media Palestina yang meliput demonstrasi di perbatasan Gaza, banyak di antaranya tewas oleh tembakan penembak jitu yang berjarak ratusan meter dari pagar. Saya juga menulis, di artikel lain, tentang bagaimana pengadilan Israel mengadili penyair Palestina Dareen Tatour dan memvonisnya dua tahun penjara karena menulis sebuah puisi yang mencerminkan simpatinya atas tragedi sesama warga Palestina. Saya juga menyebutkan Lama Khater, seorang jurnalis Palestina, penulis dan ibu dari 5 anak, yang ditangkap di rumahnya di tengah malam dan dituduh membangun organisasi teroris bersenjata. Ini bukan insiden yang terpisah, melainkan mewakili pola pikir dan praktik sistematis berdasarkan rencana yang telah disiapkan sebelumnya.

Inilah mengapa sebagian besar penyair terkenal Palestina menghabiskan sebagian dari kehidupan mereka di balik jeruji Israel, harus pergi ke pengasingan sendiri atau dibunuh. Israel tidak pernah membenci siapa pun selain para intelektual dan seniman Palestina, karena mereka adalah bukti nyata bahwa narasinya benar-benar fiktif.

Bahkan para penulis dan seniman Palestina yang tinggal di luar tanah air mereka menjadi sasaran dinas rahasia Israel, Mossad, dan terbunuh. Memori kolektif Palestina mempertahankan banyak cerita dalam hal ini, seperti Ghassan Kanafani, Abdel Wael Zwaiter, Kamal Nasser, Majed Abu Sharar dan banyak lainnya.

Bahkan ketika rakyat Palestina mampu mengatasi pembatasan dan kebencian Israel, justru Israel ingin membagi kesuksesan mereka. Israel bersikeras menyebut mereka Arab-Israel, menyiratkan bahwa ia menghargai keragaman dan mendorong “warga Arabnya” untuk melepaskan potensi mereka. The Joubran Brothers, lebih dikenal sebagai Le Trio Joubran, seorang trio oud yang memainkan musik tradisional Palestina menggunakan setiap kesempatan untuk menekankan rasa ke-Palestina-an mereka, mendedikasikan karya mereka ke Palestina secara gratis dan kepada orang-orang yang menderita di bawah pendudukan. Namun, di media Israel mereka disebut sebagai Arab-Israel dan hal yang sama berlaku untuk Mahmoud Darwish, Samih Al-Qasim dan banyak lainnya.

“Hukum Negara Bangsa Yahudi” yang baru-baru ini disahkan oleh parlemen Israel menyisakan keraguan tentang sifat dari apa yang mereka disebut negara ini. Hanya pengikut satu agama, yakni Yudaisme yang memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan penuh dan hak nasional, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri. Mengapa? Karena ini adalah Negara Yahudi. Sisanya hanya penduduk sementara menurut Dore Gold, mantan Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Israel dan sekutu kunci yang juga penasihat dekat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Ketika dia ditanya dalam sebuah wawancara dengan Mehdi Hasan jika warga Palestina juga memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri di bawah Undang-undang Negara Bagian atau hanya warga Yahudi, Gold menjawab “Tidak. Imigran Kanada di Amerika tidak mendapat hak dan begitu juga imigran Meksiko.”

Ini adalah kebencian yang bercampur dengan rasa iri karena jauh di dalam hati mereka, Zionis tahu bahwa bahkan jika mereka hidup selama dua ribu tahun atau lebih di tanah ini, mereka tidak akan pernah bisa mencintainya dan berkorban seperti yang dilakukan orang Palestina. Mereka tidak akan pernah bisa mabuk karena bau tanah, berteman dengan burung-burung kecil, menghafal wajah setiap ramuan, semak-semak di bukit-bukit, memberi nama pada semburan udara sekecil apa pun dan menyerap sinar dari Palestina untuk menjemur kulit mereka. Tanah ini bukan unit produksi yang anda pantau dari vila-vila ber-AC dengan kamera drone. Ini adalah kisah cinta ribuan tahun antara dua makhluk hidup, hanya anak-anak dari tanah itu yang mengerti. (AT/Ast/RS1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: sri astuti

Editor: illa

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.