Oleh: Ali Farkhan Tsani*
Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إن الله لا يَقْبِضُ العلمَ انتزاعاً ينتزعُه من العباد، ولكنْ يقبِضُ العلم بقبض العلماء، حتى إذا لم يبقَ عالماً؛ اتَّخذ الناس رؤوساً جُهَّالا، فسُئِلوا ؟ فأفتوا بغير العلم، فضلّوا وأضلوا.
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari manusia. Namun Allah akan mengangkat ilmu itu dengan mewafatkan para ulama. Hingga ketika tidak tersisa lagi seorang berilmu (di tengah mereka), manusia mengangkat para pemimpin yang bodoh. Mereka ditanya, dan mereka pun berfatwa tanpa ilmu. Hingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan (orang lain)”.(H.R. Bukhari dan dan Muslim).
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Pada hadits lain disebutkan, yang maknanya: “Sesungguhnya menjelang hari kiamat kelak, akan ada hari-hari yang diturunkannya kebodohan dan diangkatnya ilmu”. (H.R. Bukhari).
Dengan wafatnya seorang ulama yang hanif (lurus, istiqamah, benar, jujur), maka ilmu pun diangkat karena kematiannya, dan kebodohan pun semankin meluas karena berkurangnya ilmu yang disebarkannya. Demikian kurang lebih makna diturunkannya kebodohan dan diangkatnya ilmu.
Ibnu Baththaal mengemukakan sehubungan dengan hadits tersebut, bahwa tanda-tanda tentang hari kiamat yang terdapat dalam hadits tersebut kini telah kita lihat. “Sungguh, ilmu telah berkurang, kebodohan merajalela, sifat kikir telah dijangkitkan dalam hati manusia, fitnah telah tersebar, dan pembunuhan banyak terjadi”, ujarnya.
Walaupun tentu saja hal itu tidaklah menghalangi untuk tetap adanya sekelompok ahli ilmu (ulama) atau kawah kaderisasi ulama di tengah umat. Namun pada waktu itu mereka seolah-olah tertutup oleh dominasi masyarakat yang bodoh akan ilmu agama.
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Begitulah, diangkatnya ilmu agama Islam terjadi dengan diangkatnya atau diwafatkannya para ulama. Yakni ilmu mengenai Al-Quran dan As-Sunnah, dan itu merupakan ilmu warisan para Nabi ‘alaihis-salaam. Dan ulama adalah pewaris para Nabi (al-‘ulamaau waratsatul anbiyaa). Oleh karena itu, kepergian mereka pertanda perginya ilmu, meredupnya sunnah, berkembangnya bid’ah, dan meratanya kejahiliyahan.
Agar tidak semakin berkembang kebodohan, dan akan tetap terjaga keilmuan Islam, Al-Quran dan As-Sunnah, maka marilah kita jaga dan kuatkan para ulama yang ada, dengan segenap harta, jiwa dan raga.
Lebih penting dari itu, marilah kita siapkan kaderisasi ulama generasi muda, yang akan tetap menjadi penjaga Al-Quran, penghidup sunnah, penerang dunia, benteng kebodohan serta pengingat masyarakat dan penyebar keberkahan.
Allah mengingatkan di dalam ayat:
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
۞ وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ ڪَآفَّةً۬ۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٍ۬ مِّنۡہُمۡ طَآٮِٕفَةٌ۬ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِى ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡہِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ (١٢٢)
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min itu pergi semuanya [ke medan perang]. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (Q.S. At-Taubah [9]: 122).
Pada ayat lain disebutkan:
وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٌ۬ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ (١٠٤)
Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Ali Imran [3]: 104).
Semoga Allah senantiasa menjaga para ulama pewaris para Nabi. Aamiin. (RS-2/P1)
Penulis, Redaktur Senior Kantor Berita Islam MINA (Mi’raj Islamic News Agency), Da’i Pesantren Al-Fatah Cileungsi, Bogor.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)