Bangkok, 11 Sya’ban 1436/29 Mei 2015 (MINA) – Seorang wanita Myanmar yang berkerja di Thailand terpaksa harus menyewa seseorang untuk untuk menyelundupkan bayinya yang berumur tiga bulan, untuk melintasi perbatasan Myanmar.
Para peneliti menjelaskan bahwa pelayanan tersebut dilakukan karena sang ibu tidak bisa melakukan migrasi dengan membawa bayi, karena takut kehilangan pekerjaannya.
Pernyataan penelitian seperti dilaporkan Free Malaysia Today pada Rabu (27/5) mengatakan bahwa ada temuan sekitar 114 perempuan pengungsi yang berada di enam negara di sepanjang Sungai Mekong, Thailand. Sungai ini termasuk salah satu sungai terpanjang di dunia, melintasi berbagai wilayah, mulai dari Tibet, China, Myanmar, Thailand, Laos, Kamboja hingga Vietnam.
”Mereka melakukan hal tersebut karena masalah kesehatan dan pekerjaa, bahkan ada juga di antara mereka yang melakukan hal ekstrem demi menghambat kehamilan,” pernyataan penelitian.
Baca Juga: Diboikot, Starbucks Tutup 50 Gerai di Malaysia
Rebbecca Napier-Moore, seorang penulis melaporkan pada Mekong Migration Network, sebuah organisasi yang menaungi kelompok para migrasi, bahwa banyak dari mereka yang akan dipecat dan dipulangkan jika mereka hamil ketika berada di luar negeri.
Ia juga menyebutkan, bagaimana seorang wanita yang bekerja di pabrik pengalengan ikan di perbatasan Thailand-Malaysia, mengaku menyewa penyelundup karena majikannya tidak mengizinkan ia membawa bayinya ke tempat kerja, serta ia sendiri tidak mampu untuk menyewa babysitter.
“Saya mengirim bayi saya menggunakan jasa penyalur kepada orang tua saya yang berada di Mon, Myanmar. Saya terpaksa harus membayar 5.000 bath (150 dollar AS atau hampir Rp2 juta) untuk satu bayi kepada penyalur.
Para penyelundup dikatakannya akan membius bayi tersebut selama perjalanan,” ungkapnya.
Baca Juga: Kota New Delhi Diselimuti Asap Beracun, Sekolah Diliburkan
Brahm Press, Direktur Kelompok Hak Kemanusiaan MAP, sebuah yayasan di Thailand utara, Chiang Mai menulis dalam laporannya, bahwa pelayanan selundupan tersebut sudah dikenal wanita Myanmar yang ada diseluruh Thailand untuk mengirim bayi mereka ke rumah.
Jutaan penyelundup asal Myanmar, Bangladesh, dan lainnya melintasi perbatasan untuk mencari pekerjaan melalui Sungai Mekong, untuk mencari pekerjaan di luar negaranya.
Thailand adalah negara tujuan utama mereka, ada sekitar tiga juta pengungsi yang memiliki pekerjaan dengan dokumen pekerja migran dan ada juga yang tidak memilikinya, 80% di antaranya berasal dari Myanmar.
Sebagian dari mereka tidak mampu untuk mengakses layanan kesehatan yang terdapat di negara-negara tempat mereka bekerja karena deskriminasi, biaya yang tinggi, hambatan bahasa, serta perasaan takut jika ditangkap pihak keamanan dan dideportasi ke negara asalnya.
Baca Juga: Ratusan Ribu Orang Mengungsi saat Topan Super Man-yi Menuju Filipina
Penelitian menyebutkan ketika mewawancarai beberapa wanita yang bekerja di sektor bangunan, pertanian, pembantu rumah tangga, pekerja seks, dan lainnya, menyebutkan bahwa 41% dari mereka tidak memiliki dokumen migrasi.
Aborsi dan kesehatan
Sebuah akun di jejaring sosial mengejutkan berisi laporan wanita hamil, bahwa sangat sedikit wanita yang mau melakukan pemeriksaan ketika hamil. Laporan tersebut menunjukkan bahwa sekitar 57% wanita bekerja tanpa cuti hamil.
Seorang mantan pekerja seks dari Myanmar mengatakan kepada salah satu peneliti bahwa majikannya, mengirim temannya ke Myanmar untuk melakukan aborsi yang tidak aman meski dengan bidan terlatih.
Baca Juga: Filipina Kembali Dihantam Badai
“Biaya aborsi tergantung pada seberapa bulan masa kehamilan. Jika masa kehamilan masih dalam waktu satu bulan, maka kita cukup membayar 10.000 kyat (10 dollar AS atau sekitar Rp132 ribu). Beberapa wanita dilaporkan meninggal akibat aborsi tersebut,” ujar wanita yang tidak mau disebut namanya itu.
Laporan juga menjelaskan bahwa dari beberapa wanita yang disurvei, sekitar 62% di antaranya tidak memiliki asuransi kesehatan. Mereka selalu memaksakan diri untuk bekerja meski sedang sakit. Banyak dari mereka yang menggunakan obat rumahan dan mencari dukun atau apotek untuk menyembuhkan mereka.
“Lebih cepat, lebih murah dan tidak terkena deskriminasi yang ditemukan ketika di rumah sakit,” ungkap salah satu di antara mereka.
Laporan tersebut juga menuliskan bahwa kesulitan dalam bahasa membuat para migran sering mendapatkan obat yang salah, mereka juga tidak menerima resep bagaimana cara untuk mengambil obat tersebut menjadi salah satu penyebabnya.
Baca Juga: Iran, Rusia, Turkiye Kutuk Kekejaman Israel di Palestina dan Lebanon
“Obat-obatan palsu dan berkualitas buruk, terlalu sering menggunakan antibiotik dan resiko keracunan ketika mengambil obat di suatu daerah yang tidak ketat dalam mengatur apotek dalam memberikan resep, adalah faktor utama di mana mereka mengalami kesulitan,” kata laporan tersebut. (T/mar/P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Lanjutkan Kunjungan Kenegaraan, Presiden Prabowo Bertolak ke AS