Wartawan Itu Sejatinya Pelanjut Risalah Kenabian

Oleh : , Redaktur Senior MINA (Mi’raj News Agency)

Berita dalam bahasa Arab antara lain disebut dengan istilah “naba” (berita) bentuk jamaknya al-anba’. Maka, pembawa berita (dari langit) disebut dengan Nabi, jamaknya al-Anbiya.

Walaupun naba berarti berita, tetapi tidak setiap berita disebut naba. Hanya berita yang berguna saja, yang dapat menambah pengetahuan dan bernilai benar, yang disebut dengan naba.

Kantor berita dalam bahasa Arab disebut dengan Wakalah Al-Anba. Karena itu, di dalam kantor berita adalah berisi berita-berita besar (naba), yang mempunyai nilai informasi, kegunaan, pengetahuan dan bernilai besar.

Sebagai pun, yang bertugas mencari, menulis dan menyiarkan berita, hendaknya menampilkan berita-berita yang bernilai besar, bermanfaat luas dan diperlukan sebanyak mungkin masyarakat. Karenanya, wartawan Muslim pun sejatinya adalah dia pelanjut , dalam mencari, menulis dan menyebarkan informasi dan tulisan yang bernilai kebaikan dan kebenaran kepada publik.

Wartawan Muslim berfungsi juga sebagai juru dakwah yang menebarkan kebenaran ilahi. Ia bagaikan penyambung lidah dakwah para Nabi. Karena itu, ia pun dituntut memiliki sifat-sifat kenabian, yaitu Shiddiq, Tabligh, Amanah, dan Fathonah.

Pertama, Shiddiq. Shiddiq artinya benar, jujur, maknanya wartawan dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan adalah menginformasikan sesuatu yang benar dan membela serta menegakkan kebenaran itu dengan jiwa pemberani dan penuh tawakkal kepada Allah. Walaupun kadang harus pahit melaksanakannya.

Di dalam sebuah hadits dikatakan:

قُلِ اَلْحَقَّ، وَلَوْ كَانَ مُرًّا

Artinya : “Katakanlah yang benar meskipun itu pahit.” (HR Ibnu Hibban dari Abu Dzar al-Ghiffari).

Kebenaran itu adalah sesuai dengan kenyataan. Bahkan mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang dzalim termasuk jihad yang utama. Seperti disebutkan di dalam hadits :

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Artinya : “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran  di hadapan penguasa yang dzalim.” (HR Abu Dawud At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu).

Kedua, Tabligh. Tabligh artinya menyampaikan, yakni menginformasikan kebenaran apa adanya, bukan malah memutarbalikkan kebenaran atau mencampuradukkan yang haq (benar) dengan yang bathil (salah).

Di dalam hadits dikatakan :

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً

Artinya : “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat”. (HR Bukhari dari Abdullah bin Amr).

Hadits ini menjelaskan bahwa siapa yang mengetahui sesuatu dari ilmu pengetahuan dan kemaslahatan, maka wajib baginya untuk bertabligh (menyampaikan) kepada orang lain.

Demikian halnya sebagai wartawan Muslim, ia berkewajiban menyampaikan berita, informasi atau ilmu yang diketahuinya kepada publik untuk kemaslahatan bersama.

Itulah tabligh, menyampaikan. Penyampainya disebut dengan muballigh.

Ketiga, Amanah. Amanah artinya terpercaya, dapat dipercaya. Karenanya ia tidak boleh berdusta, merekayasa, memanipulasi atau mendistorsi suatu informasi, untuk disampaikan ke publik.

Amanah juga bermakna melaksanakan tugas dan kewajiban yang dibebankan di pundaknya dengan sungguh-sungguh dan ikhlas karena Allah semata.

Amanah juga bermakna kehormatan. Jadi kalau seseorang diberi amanah oleh Pemimpin Redaksi atau Kepala Liputan, misalnya untuk melakukan liputan, pada dasarnya ia sedang diberi kehormatan. Maka, kalau ia tidak melaksanakan amanah tersebut atau menyepelekannya, tidak maksimal, itu sama saja ia sedang melucuti kehormatan dirinya.

Tentang amanah ini kaitannya dengan keimanan disebutkan di dalam hadits :

لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ

Artinya : “Tidak ada keimanan bagi seorang yang tidak amanah.”. (HR Ahmad dari Anas Radhiyallahu ‘Anhu).

Keempat, Fathanah. Fathanah artinya cerdas, berwawasan luas. Karena itu, sebagai wartawan Muslim dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan oleh umat, dengan meneladani kecerdasan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Untuk mendapatkan tingkat kecerdasan itu maka diperlukan sikap suka atau gemar membaca, memiliki budaya literasi yang tinggi, setiap hari.

Bukan sekedar membaca koran, menyimak berita televisi atau memperhatikan peristiwa di sekitarnya. Tetapi ia juga menyeruak ke dalam di balik berita dan peristiwa tersebut. Apa dampaknya, bagaimana pengaruhnya, dan seperti apa prediksi ke depannya.

Untuk menambah daya kecerdasan itu, sekarang sudah terlalu banyak info di dunia maya. Tidak kalah pentingnya adalah bergaul, berdiskusi, dan tukar pendapat dengan tokoh dan orang-orang yang dipandang memiliki kelebihan dalam satu atau banyak hal. Sehingga wawasan dirinya juga ikut bertambah.

Karenanya, wartawan Muslim tidak akan terjebak dalam diskusi liar tanpa arah, apalagi curhat-curhatan di dunia maya yang isinya sekedar guyonan, cemoohan, atau kata-kata tanpa makna apalagi tanpa nilai kebenaran ilahi.

Pepatah mengatakan, “Bahasa menunjukkan Bangsa”. Hal ini bermakna, bahasa lisan dan tulisan yang diucapkan dan ditulis oleh seseorang itu menunjukkan siapa dia, isi otaknya, jiwanya, bangsa dirinya.

Karena itu, sebagai wartawan Muslim hendaknya ia terus menambah ilmu dan wawasannya. Bukan hanya agar semakin bertambah cerdas dan bijak. Namun menuntut ilmu itu sendiri adalah kewajiban bagi setiap Muslim, yang itu berarti bernilai ibadah.

Ini seperti disebutkan Nabi Shallallahu ‘Alahi Wasallam dalam sabdanya:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Artinya: ”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. (HR Ibnu Majah dai Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu).

Jadi, setiap pekerjaan yang dilakukan oleh wartawan Muslim, dengan keilmuannya dan kompetensi menulisnya, bernilai ibadah di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semakin banyak menulis berita dan artikel untuk kebaikan pembacanya, maka semakin banyak pula pahala yang diraihnya. (A/RS2/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.