Panglima Perang Kesayangan Rasulullah
Pada suatu hari yang cerah, seruan wahyu yang pertama turun kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
Artinya : “Bacalah dengan menyebut nama Rabb-mu yang telah menciptakan! Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Rabb-mulah Yang Maha Pemurah, yang telah mengajari manusia dengan qalam (pena). Mengajari manusia apa-apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq [96] ayat 1-5).
Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina
Kemudian datang susul-menyusul wahyu berikutnya kepadanya :
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ
قُمْ فَأَنْذِرْ
وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham
Artinya : “Wahai orang yang berselimut! bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Rabb-mu agungkanlah.” (QS. Al-Muddatstsir [74] ayat 1-3).
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ ۖ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِر
Artinya : “Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (genggaman) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah [5] ayat 67).
Tidak lama setelah Nabi Muhammad Shallallalhu ‘Alaihi Wasallam memikul tugas kerasulannya dengan turunnya wahyu tersebut, jadilah Zaid bin Haritsah sebagai orang kedua masuk Islam, bahkan ada yang mengatakan sebagai orang yang pertama.
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis
Zaid bin Haritsah adalah seorang sahabat yang dilukiskan oleh para ahli sejarah dengan perawakan biasa, pendek, kulitnya coklat kemerah-merahan, dan hidung yang agak pesek, adalah termasuk salah satu pahlawan besar dalam sejarah Islam.
Rasulullah Shallallalhu ‘Alaihi Wasallam sangat sayang kepada Zaid. Kesayangan Nabi itu memang pantas dan wajar, disebabkan kejujurannya, kebesaran jiwanya, kelembutan dan kesucian hatinya, serta terpelihara lidah dan tangannya.
Semua itu menyebabkan Zaid punya kedudukan tersendiri sebagai “Zaid Kesayangan”, sebagaimana yang telah dipanggilkan sahabat-sahabat Rasul kepadanya.
Berkatalah Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Setiap Rasulullah Shallallalhu ‘Alaihi Wasallam mengirimkan suatu pasukan yang disertai oleh Zaid, pastilah ia yang selalu diangkat menjadi pemimpinnya. Seandainya ia masih hidup sesudah Rasulullah, tentulah ia akan diangkatnya sebagai khalifah.”
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdiri melepas bala tentara Islam yang akan berangkat menuju medan perang Mu’tah melawan orang-orang Romawi. Beliau mengumumkan tiga nama yang akan memegang pimpinan dalam pasukan secara berurutan, sabdanya:
“Kalian semua berada di bawah pimpinan Zaid bin Haritsah! Seandainya ia syahid, pimpinan akan diambil alih oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan seandainya Jafar syahid pula, maka komando hendaklah dipegang oleh Abdullah bin Rawahah.”
Sampai ke tingkat inilah kedudukan Zaid di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Ia seorang anak yang pernah ditawan, diperjualbelikan, lalu dibebaskan oleh Rasulullah Shallallalhu ‘Alaihi Wasallam, lalu dimerdekakannya. Ia adalah manusia yang berhati mantap dan teguh serta berjiwa merdeka. Karena itulah, ia mendapat tempat yang tinggi di dalam Islam dan di hati Rasululah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian menikahkan Zaid dengan Zainab binti Jahsy. Sayangnya, pernikahannya tidak berumur panjang dan berakhir dengan perceraian.
Kesediaan Zainab menikah dengan Zaid, hanya karena rasa enggan menolak anjuran dan syafaat Rasulullah puterinya, Zainab dan karena tidak sampai hati menolak Zaid sendiri. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallammengambil tanggung jawab terhadap rumah tangga Zaid yang telah pisah itu. Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memanggil Zainab dan menikahinya sebagai isterinya. Kemudian mencarikan Ummu Kultsum binti ‘Uqbah yang kemudian dinikahkan dengan Zaid.
Karena peristiwa tersebut, terjadilah kegemparan di kalangan masyarakat kota Madinah. Mereka melemparkan kecaman, kenapa Rasululah menikahi bekas isteri anak angkatnya.
Tantangan dan kecaman ini kemudian dijawab oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan wahyu-Nya yang membedakan antara anak angkat dan anak kandung atau anak adopsi dengan anak sebenarnya, sekaligus membatalkan adat kebiasaan yang berlaku selama itu. Pernyataan wahyu itu berbunyi sebagai berikut :
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
مَّا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ۬ مِّن رِّجَالِكُمۡ وَلَـٰكِن رَّسُولَ ٱللَّهِ وَخَاتَمَ ٱلنَّبِيِّـۧنَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىۡءٍ عَلِيمً۬ا
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu [5], tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS Al-Ahzab [33] ayat 40).
Dengan turunnya wahyu tersebut, mulailah Zaid dipanggil dengan nama “Zaid bin Haritsah”.
Panglima Syuhada Mu’tah
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Kekuatan Islam yang pernah maju ke medan Perang Al-Jumuh, komandannya adalah Zaid bin Haritsah. Kekuatan-kekuatan laskar Islam yang begerak maju ke medan pertempuran Ath-Tharaf, Al-’Ish, Al-Hismi dan lainnya, panglima pasukannya adalah Zaid bin Haritsah juga. Begitulah, sebagaimana yang pernah dikatakan Aisyah radhiyallahu ‘anha sebelumnya, “Setiap Nabi mengirimkan Zaid dalam suatu pasukan, pasti dia yang diangkat menjadi pemimpinnya.”
Suatu ketika datanglah perang Mu’tah yang terkenal. Adapun orang-orang Romawi dengan kerajaan mereka yang telah tua, secara diam-diam mulai cemas dan takut terhadap kekuatan Islam. Bahkan mereka melihat adanya bahaya besar yang dapat mengancam keselamatan mereka. Terutama di daerah jajahan mereka, Syam (Suriah) yang berbatasan dengan negeri dari agama baru ini, yang senantiasa bergerak maju dalam membebaskan negeri-negeri tetangganya dari cengkeraman penjajah. Bertolak dari pikiran demikian, mereka hendak mengambil Suriah sebagai batu loncatan untuk menaklukan jazirah Arab dan negeri-negeri Islam.
Gerak-gerik orang-orang Romawi yang hendak menumpas kakuatan Islam dapat tercium oleh Nabi. Sebagai seorang yang ahli strategi, Nabi memutuskan untuk mendahului mereka dengan serangan mendadak sebelum diserang di daerahnya sendiri.
Demikianlah, pada bulan Jumadil Ula, tahun ke-8 Hijriyah, tentara Islam maju bergerak ke Balqa’ di wilayah Syam. Ketika mereka sampai di perbatasannya, mereka menghadapi tentara Romawi yang dipimpin oleh Heraklius, yang juga mengerahkan kabilah-kabilah atau suku-suku Badui yang diam di perbatasan.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Sementara tentara Romawi mengambil tempat di suatu daerah yang bernama Masyarif, sedangkan laskar Islam mengambil posisi di dekat negeri kecil yang bernama Mu’tah yang kemudian dijadikan nama pertempuran ini.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui benar arti penting dan bahayanya peperangan ini. Oleh sebab itu, beliau sengaja memilih tiga orang panglima perang yang di waktu malam mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, sedangkan di siang hari sebagai pendekar pejuang pembela Islam.
Tiga orang pahlawan itu adalah mereka yang siap menggadaikan jiwa raga mereka kepada Allah, yang tiada berkeinginan kembali, yang bercita-cita mati syahid dalam perjuangan menegakkan kalimat Allah, yang mengharap semata-mata ridha Allah, menemui wajah-Nya Yang Maha Mulia kelak.
Mereka bertiga secara berurutan memimpin tentara itu ialah Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah, semoga Allah ridha kepada mereka dan menjadikan mereka ridha kepada-Nya, serta Allah meridhai pula seluruh sahabat lainya.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdiri di hadapan pasukan tentara Islam yang hendak berangkat itu. Beliau melepas mereka dengan amanat, “Kalian harus thaat kepada Zaid bin Haritsah sebagai pimpinan kalian. Seandainya ia syahid, pimpinan dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan seandainya Ja’far syahid pula, maka tempatnya diisi oleh Abdullah bin Rawahah.”
Ja’far bin Abi Thalib dijadikan orang yang kedua setelah Zaid, meskipun keberanian dan ketangkasanya serta keturunan dan kebangsawanannya tidak diragukan lagi, bahkan orang yang paling dekat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari segi hubungan keluarga, sebagai anak pamannya sendiri.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memilih mereka bertiga untuk menjadi pemimpin pasukan secara berurutan, seolah-olah beliau telah mengetahui secara ghaib tentang pertempuran yang akan berlangsung. Beliau mengatur dan menetapkan susunan panglimanya dengan tertib berurutan: Zaid, lalu Ja’far, kemudian Abdullah bin Rawahah.
Dan ternyata, ketika mereka menemui ajalnya, pulang ke rahmat Allah sebagai syuhada, sesuai dengan urutan itu pula.
Kaum Muslimin melihat tentara Romawi yang jumlahnya menurut taksiran tidak kurang dari 200.000 orang, suatu jumlah yang tak mereka duga sama sekali, mereka pun terkejut.
Namun, mereka maju terus tanpa gentar, tak peduli dan tak menghiraukan banyaknya jumlah musuh. Di depan sekali tampak dengan tangkasnya mengendarai kuda, panglima mereka Zaid, sambil memegang teguh panji-panji Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Zaid maju menyerbu laksana topan, dicelah-celah desingan anak panah, ujung tombak dan pedang musuh. Mereka bukan hanya semata-mata mencari kemenangan, tetapi lebih dari itu mereka mencari apa yang telah dijanjikan Allah, yakni tempat pembaringan disisi Allah, karen sesuai dengan firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ ۚ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيَقْتُلُونَ وَيُقْتَلُونَ ۖ وَعْدًا عَلَيْهِ حَقًّا فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ وَالْقُرْآنِ ۚ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّهِ ۚ فَاسْتَبْشِرُوا بِبَيْعِكُمُ الَّذِي بَايَعْتُمْ بِهِ ۚ وَذَٰلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Artinya : “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah [9] ayat 111).
Zaid tak sempat melihat pasir Balqa’, bahkan pula keadaan bala tentara Romawi, tetapi ia langsung melihat keindahan taman-taman surga dengan dedaunannya yang hijau berombak laksana kibaran bendera, yang memberitakan kepadanya, bahwa itulah hari istirahat dan kemenangannya.
Ia terjun ke medan laga dengan menerpa, menebas, membunuh atau dibunuh. Tetapi ia tidaklah memisahkan kepala musuh-musuhnya, ia hanyala membuka pintu dan menembus dinding, yang menghalanginya ke kampung kedamaian, surga yang kekal di sisi Allah.
Ia telah menemui tempat peristirahatannya yang terakhir. Ruhnya yang melayang dalam perjalanannya ke surga tersenyum bangga melihat jasadnya yang tidak berbungkus sutera dewangga, hanya berbalut darah suci yang mengalir di jalan Allah.
Senyumnya semakin melebar dengan tenang penuh nikmat, karena melihat panglima yang kedua Ja’far melesat maju ke depan laksana anak panah lepas dari busurnya, untuk menyambar panji-panji yang akan dipanggulnya sebelum jatuh ke tanah. (P09/R1).
Mi’raj News Agency (MINA)