Hari Santri telah ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 22 Oktober. Keputusan itu akan dideklrasikan pada Kamis 22 Oktober di Masjid Istiqlal, Taman Wijayakusuma, Jakarta Pusat.
Keputusan Presiden ini dilatarbelakangi pernyataan jihad melawan Belanda yang ngotot ingin menjajah Indonesia kembali, padahal Soekarno-Hatta telah memproklamirkan Kemerdekaan RI pada hari Jumat 17 Agustus 1945. para santri dan pemuka agama ketika itu berhasil meraih kemerdekaan Indonesia.
Keputusan Presiden tidak mendapat dukungan penuh khususnya dari ormas-ormas Islam terbesar. Nadathul Ulama sertamerta menyetujuinya, sedangkan PP Muhammadiyah berkeberatan karena khawatir akan membangkitkan sentimen keagamaan yang selama ini sudah mencair dengan baik.
Terkait hal itu, Mi’raj Islamic News Agency (MINA) melakukan wawancara ekslusif kepada Amir Tarbiyah (bid. Pendidikan) Jamaah Muslimin (Hizbullah), Ahmad Zubaidi. Berikut petikan wawancaranya:
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
MINA: Bagaimana tanggapan Ustadz terkait penetapan Hari Santri pada 22 Oktober 2015 mendatang?
Saya setuju atas inisiatif presiden yang menetapkan Hari Santri dengan catatan, niat beliau murni ingin memberikan penghargaan kepada perjuangan para santri sejak pra kemerdekaan sampai hari ini dan seterusnya. Bukan hanya keputusan politik yang hanya ingin mendapatkan simpati saat dia membutuhkan dukungan politik.
Hal itu akan terbukti seiring perjalanan ditetapkan Hari Santri dan perwujudan Hari Santri selanjutnya.
MINA: Bagaimana tanggapan Ustadz terkait tanggapan kelompok-kelompok yang menanggapi Hari Santri yang mempersempit makna revolusi jihad?
Itu tergantung siapa yang memaknai dan itu sangat berkaitan dengan motivasi tadi. Jika motivasinya ingin memberikan penghargaan dan penghormatan atas perjuangan dan peran santri di masa lalu, masa kini dan seterusnya, maka tidak layak untuk dimaknai mempersempit pengertian revolusi jihad seperti yang dimaksud oleh beberapa kelompok-kelompok tertentu yang bertentangan.
Karena memang justru untuk menghargai jihad para santri dalam perjuangan merebut kemerdekaan maupun saat kemerdekaan dan selanjutnya, itu sudah tercatat dalam sejarah dan sudah menjadi cita-cita yaitu hidup mulia atau mati syahid.
Jika Hari Santri ini ditetapkan, justru bagus untuk mengingatkan para santri akan perjuangan para pendahulunya saat meraih kemerdekaan dari penjajahan Belanda.
MINA: Bagaimana solusinya mengatasi perbedaan atau pertentangan tersebut ?
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Saya tidak menanggapi hal itu sebagai pertentangan, tapi usaha untuk menemukan yang terbaik tentang isi Hari Santri itu sendiri. Jangan dikonfrontir, tetapi dikompromikan. Mana dikhawatirkan keburukan yang terjadi di Hari Santri itu agar dihindari, sementara semua hal yang baik pada Hari Santri itu bisa ditetapkan dan dipertahankan.
Bagaimana tanggapan Ustadz terkait media yang memberitakan berbagai sisi dari Hari Santri?
Saya menyayangkan pada media massa yang memposisikan polemik itu sebagai pertentangan dan permusuhan.
Menurut Ustadz apa yang harus dilakukan para santri dan semua lembaga yang terkait dalam mengisi Hari Santri tersebut?
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
Pertama, hendaknya dihayati apa ruh pesantren dan para santri mereka bertekun di pesantern sekian lama.
Kedua, hendaknya sejarah tentang perjuangan para santri saat perjuangan pra kemerdekaan dan saat kemerdekaan ikut dihadirkan agar pada santri masa kini dan akan datang, agar mereka bisa meneruskan perjuangan tersebut dalam mengisi kemerdekaan.
Ketiga, santri masa kini dan yang akan datang hendaknya menjiwai cita-cita para pendiri pesantren, sehingga mereka istiqomah dalam mempertahankan identitasnya sebagai santri yang memiliki ciri khas setidaknya dua. Yaitu bisa memimpin masyarakat dengan agama Allah dan bisa menjawab tantangan yang bisa dihadapi masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam urusan rumah tangga, masyarakat, dunia, maupun akhirat.
MINA: Menurut Ustadz, sejauh mana peran pesantren dalam kehidupan masyarakat?
Besar sekali, hampir semua kegiatan keagamaan di masyarakat itu hampir dipimpin oleh lulusan pesantren. Hanya saja penghargaan pemerintah terhadap pesantren sangat terlambat dan sangat diskriminatif dibanding lembaga pendidikan yang lain.
Hal tersebut tidak terlepas dari latar belakang sejarah. Belanda menempatkan pesantren sebagai lembaga liar, karena dari pesantren lahir para pejuang yang menentang dan berusaha mengusir penjajah.
Setelah Indonesia merdeka, aturan-aturan tentang pendidikan masih melanjutkan sistem pendidikan yang dipakai di zaman Belanda. Penghargaan kepada pesantren hingga saat ini belum setara terhadap pendidikan yang lain. Buktinya, di dalam pendidikan yang lain ada sertifikasi guru, sudah pernahkah mendengar sampai saat ini ada sertifikasi guru di pesantren, pesantren murni maksudnya hingga saat ini?
Jika Hari Santri ini dalam rangka memberikan penghargaan dan pengakuan yang sama terhadap pesantren tidak hanya santri, maka sudah jadi seharusnya dilakukan untuk menebus dosa pemerintah Indonesia telah yang melakukan diskriminatif terhadap pesantren sejak kemerdekaan sampai hari ini. Walaupun sekarang sudah ada usaha untuk melakukan yang terbaik, tapi belum secara penuh.
Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel
MINA: Apa harapan Ustadz dengan penetapan Hari Santri?
Buktikan bahwa Hari Santri yang akan diresmikan benar-benar dijadikan sebagai wujud penghargaan dan perlakuan setara terhadap lembaga pendidikan pesantren dibanding lembaga pendidikan yang lain. Bukan hanya sebagai kepentingan politik.(P004/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya