Oleh Ali Farkhan Tsani, Redaktur Kantor Berita Islam MINA
Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu ’Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّيْنَارِ تَعِسَ عَبْدُ الدِّرْهَمِ، تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْصَةِ تَعِسَ عَبْدُ الْخَمِيْلَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ
Artinya: “Celakalah hamba (orang yang diperbudak) dinar, dirham, beludru dan kain bergambar. Jika dia diberi dia ridha, jika tidak diberi dia tidak ridha”. (HR Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Hadits ini mengingatkan kita betapa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah jauh-jauh masa mengingatkan umatnya agar jangan sampai diperbudak harta dunia. Di sini harta dunia itu digambarkan dengan mata uang dinar (emas), dirham (perak), dan kain. Disebutkan bahwa mereka yang diperbudak harta dunia adalah apabila melakukan berbagai amal perbuatan, semata-mata untuk mencari atau karena iming-iming harta benda.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Seandainya tidak ada harta yang bisa diraih, keuntungan yang didapat, atau materi yang diperoleh, maka dia tidak akan beramal karenanya. Inilah paham kebendaan atau materialisme. Orangnya disebut materialistis alias hamba dinar atau budak harta.
Harta bendalah yang dijadikan sebagai motivasinya untuk beramal, tujuannya untuk berusaha dan standar ukuran untuk menilai sesuatu kegiatan.
Dan ini bisa jadi tergolong pada kategori perbuatan syirik, karena orang tersebut sedang menghambakan dirinya kepada selain Allah. Ia bekerja, berusaha, beramal berjuang atau beribadah karena harta benda yang hendak diraihnya. Jika tidak ada, atau sedikit, maka menjauhlah ia dari pekerjaan itu, malaslah ia beramal karenanya, serta enggan untuk berjuang di dalamnya. Na’udzubullaahi min dzalik.
Dampaknya, akibat dari diperbudak harta dunia, antara lain :
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
- Dia akan mudah menggadaikan agamanya.
Pada akhir jaman saat ini, demi meraih jabatan dan kekuasaan, mengejar popularitas, dan untuk kepuasan harta dunia, orang seringkali begitu mudah menggadaikan agamanya.
Misalnya, demi mendapatkan kendaraan, rumah dan unit usaha, ia rela menggadaikan agamanya dengan mengikuti sistem pinjaman riba.
Karena bujuk rayu maksiat, ia pun rela menanggalkan agamanya saat itu demi kepuasan sesat sesaat. Juga demi meraih keuntungan berlipat ganda, demi kapitalisme, atau demi meraih kekuasaan jabatan, ia rela menggadaikan imannya dengan perbuatan zalim, menipu, korup, dan bekerjasama dalam kebatilan.
Begitu sangat mudahnya ia menggadaikan nilai mahal agamanya sendiri dan menukarnya dengan sedikit harta dunia.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Pikiran otaknya adalah bagaimana terpuaskan apa yang menjadi dorongan perut dan di bawah perut melalui segala cara, baik halal, haram, syubhat hantam kromo, semua dilakukan. Dan nilai dirinnya pun sebenarnya tidak lebih dari apa yang keluar dari perut itu sendiri. Manusia penuh kotoran dosa, maksiat dan kezaliman. Jika tidak segera dihapusnya dengan taubatan nasuha.
- Dia akan mudah berbuat kemunafikan
Akibat lainnya dari sikap diperbudak harta dan kekuasaan adalah merasuknya sifat dan sikap kemunafikan dalam dirinya.
Ia akan begitu mudah tanpa merasa berdoa memutarbalikkan firman-firman Allah yang suci untuk tujuannya yang kotor.
Persahabatan dinilai dari keuntungan tarhadap harta, kedudukan dan posisinya. Maka, jika budak nafsu telah merasuk ke dalm jiwanya, standar kebenaran perbuatannya bukanlah pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi pada kepentingannya.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Sehingga kalau sudah demikian, maka persahabatan akan mudah saling mengkhianati dan saling jegal. Ia pun sanggup memutuskan tali rezeki dan ikatan persaudaraan sahabat atau bahkan keluarganya sendiri, serta rela menghancurkan masa depan orang lain.
Begitulah, demi harta, uang, kekuasaan dan unsur duniawi lainnya, manusia seperti ini tidak mampu lagi untuk mengingat jasa kebaikan-kebaikan seseorang terhadap dirinya, apalagi untuk membalas kebaikan, karena semua telah diukurnya dengan uang. Demi uang pun ia sanggup menjual harga dirinya bahkan menjual dirinya, serta tidak segan-segan untuk meninggalkan keyakinan imannya kepada Allah. Dan itulah sifat dan karakter dari kemunafikan.
- Dia akan menjadikan amanah sebagai ladang kepuasan diri
Dampak lainnya adalah, karena dirinya sudah menjadi budak harta, maka amanah kedudukan dan jabatan yang ada pada dirinya akan dia gunakan untuk menambah pundi-pundi hartanya.
Ia mulai meningkatkan standar kendaraannya, rumahnya, pakaiannya, handphonenya, hingga ke dandanan assesorisnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Seharusnya, seiring meningkat amanah kedudukannya, ia lebih meningkatkan standar imannya, stantar ibadahnya, standar infaqnya dan kebaikan-kebaikan lainnya.
Karena sesungguhnya jabatan dan keududukan adalah amanah, titipan dari Allah, agar menjadi lebih tunduk dan patuh kepada Allah.
- Dia akan semakin berbuat kejahatan dan kezaliman
Begitulah, demi uang, harta, kedudukan, dan kekuasaan, manusia tidak segan-segan untuk berbuat jahat dan berperilaku zalim terhadap sesamanya. Mereka akan begitu mudah menipu rekan bisnis, merampok uang rakyat, mengkorup harta yang bukan haknya, melimpahkan kesalahan pada orang lain, dan sebagainya.
Jika ia berkuasa, ia akan menindas kaum yang lemah tak berdaya, ia akan menghancurkan kekuatan di luar diri dan kelompoknya. Demi tetap bertahannya harta dan kekuasaan dalam dirinya. Akibat diperbudak harta, ia telah menjadi gelap mata.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Begitulah, akibat diperbudak harta. Hingga harta itu telah menghujam di dalam hatinya. Ia telah menjadikan harta itu ke dalam hatinya, sehingga susah untuk menyisihkan sedikit ruang saja untuk dzikrullah.
Pepatah mengatakan “jadikan harta cukup di tanganmu saja, jangan di hatimu”. Kalau harta di tangan, ia mudah memberi, mudah bershadaqah, mudah meletakannya di tengah kesibukannya untuk beribadah kepada-Nya. Namun kalau harta sudah sampai ke hatinya, maka berat nian untuk mengeluarkannya di jalan Allah, berat juga meninggalkannya saat adzan berkumandang. Padahal semua harta itu hanyalah menipunya belaka.
Itulah kemudian manusia seperti itu dijangkiti penyakit mematikan iman dan menghancurkan akidah, yakni “Hubbub dunya wakarohiyatul maut” (cinta berlebihan terhadap dunia dan takut mati.” (HR Abu Dawud).
Kita semua berlindung kepada Allah dari hamba dinar, budak harta. Semoga Allah selalu membimbing kita menjadi hamba-Nya yang selalu bersyukur dan berbakti, berjuang dan beribadah, semata-mata karena Allah. Tidak dilalaikan dan tidak karena harta dunia. Aamiin. (P4/R02)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)