Jakarta, 7 Dzulhijjah 1435/1 Oktober 2014 (MINA) – Amir Dakwah Jamaah Muslimin (Hizbullah) untuk wilayah Jabodetabek, Drs. Syamsuddin Ahmad, MM, menyatakan dengan adanya dua hari raya Idul Adha di Indonesia, akan berdampak buruk pada kemaslahatan penerapan syariat Islam, jika terus dibiarkan.
Mubaligh kelahiran Bima, Nusa Tenggara Barat itu mengatakan kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA), saat dijumpai di kediamannya, Cengkareng, Jakarta Barat, perbedaan penetapan 1 Dzulhijjah atau Idul Adha antara pemerintah dan sebagian ormas Islam adalah hal yang tidak wajar.
Berikut ini petikan lengkap wawancara MINA dengan Syamsuddin Ahmad, Selasa malam (30/9):
MINA: Tahun ini terjadi perbedaan penetapan 1 Dzulhijjah dan hari raya Idul Adha. Apakah ini sesuatu yang wajar?
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Syamsuddin: Perbedaan shalat Idul Adha ini bukanlah sesuatu yang wajar. Karena terbukti, tahun yang lalu, 1434H, shalat Idul Adha bisa sama. Maka kita lihat di sini ada perbedaan standar dalam menentukan awal bulan dalam tahun hijriah ini.
Dalam hal ini, pada menentuan 1 Dzulhijjah, di mana dalam kalender rata-rata kita dapati bahwa tanggal 29 Dzulqa’dah jatuh pada hari Rabu (24 September).
Ada tiga pandangan tentang rukyatul hilal (melihat bulan sabit muda) ini. Pertama, sebutlah ormas Muhammadiyah, jauh-jauh hari sudah menetapkan tanggal 10 Dzulhijjah jatuh pada Sabtu, 4 Oktober. Mereka sudah menetapkan tanggal 1 Dzulhijjah jatuh pada Kamis, 25 September. Mereka menggunakan metode Hisab Hakiki, maksudnya apabila dalam hisab (perhitungan) itu posisi bulan sudah 2 derajat atau lebih, sudah dianggap hilal itu sudah muncul atau sudah bisa di-rukyat dengan mata. Jika secara hisab sudah bisa, mereka sudah meniadakan rukyat. Mereka sudah menyamakannya dengan rukyat.
Pandangan kedua, seperti yang ditetapkan oleh pemerintah (Kementerian Agama). Kebanyakan ormas Islam yang ada di dalamnya menganut rukyat berdasarkan tempat atau negara. Orang Indonesia jika tidak melihat hilal, maka mereka memutuskan untuk melakukan istikmal (menggenapkan 30 hari bulan Dzulqa’dah). Persoalan negara Arab Saudi dan lainnya melihat (hilal), itu dianggap urusan lokal mereka.
Ketiga, seperti Jamaah Muslimin (Hizbullah) gunakan, yakni menganut Rukyat Global. Sentral untuk rukyat, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran bahwa Mekkah adalah Ummul Qura, pusat kotanya dunia Islam. Maka kita menghormati apa yang ada di dalam Al-Quran, sebagai petunjuk bagi kita untuk melakukan rukyat secara global.
Apa yang menjadi hasil dari rukyat saudara-saudara kita di Mekkah dan sekitarnya, negara-negara Arab, maka kita percayai itu adalah bagian integral Muslimin sejagad raya ini, termasuk kita yang ada di Indonesia. Ditambah lagi, bahwa kesaksian saudara kita, Syamsuddin asal Tanjung Priuk, yang melakukan rukyat di PLTU Jakarta Utara, sudah berhasil melihat pada 24 September itu.
Kita percaya, ketika seorang Muslim melihat hilal, kemudian dia bersyahadat sesuai sunnah sebagaimana dahulu seorang Arab Badui yang mengaku melihat hilal, oleh Rasulullah disuruh bersyahadat dan itu bisa dipercaya oleh beliau (Rasulullah) dan para sahabat yang lain.
Tiga pandangan ini, bisa clear semua bila umat Muslim ini berada di bawah satu jamaah imamah (bersatu di bawah satu imam/pemimpin), barulah bisa memahami secara terbuka, apa yang selama ini menutupi pandangan saudara-saudara kita yang lain untuk bisa melihat bagaimana mamfaat sebenarnya dari Rukyat Global itu.
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Saudara-saudara kita, Muslimin yang sekarang sedang melaksanakan ibadah haji, mau tidak mau, dari mana pun negara asalnya, mengikuti keputusan yang dikeluarkan pemerintah Arab Saudi yang berhasil me-rukyat hilal untuk menetapkan 1 Dzulhijjah terkait pelasanaan ibadah haji.
Puncak ibadah haji di Arafah, 9 Dzulhijjah, jatuh pada tanggal 3 Oktober 2014. Ini merupakan salah satu bukti tentang Rukyat Global itu. Walaupun orang juga akan menyanggah, “haji inikan terjadinya di Mekkah dan sekitarnya”.
Namun perlu kita kembali lagi bahwa Muslimin ini tidak terpecah belah sebenarnya. Muslimin ini semestinya berada di dalam satu kepemimpinan yang sentral, sehingga Muslimin yang ada dalam sentral kepemimpinan bisa dikendalikan cara pandangnya, cara memahami tentang Rukyat Global ini.
MINA: Mana yang lebih kuat antara Rukyat Lokal dan Rukyat Global dari segi maslahat?
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
Syamsuddin: Antara Rukyat Global dengan Rukyat Lokal, mamfaat terbaik yang kita ambil adalah yang sifatnya global, sebagaimana globalnya dunia Islam ini, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah diutus ke muka bumi ini untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam). Sebagaimana Q.S. Al-Anbiyaa [21] ayat 107 yang terjemahannya berbunyi: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Kebanyakan Muslimin saat ini menganut rukyat lokal. Namun jika merasa bersaudara, merasa satu tubuh, merasa bahwa tidak ada negara yang bisa memilah-milah kaum Muslimin ini, sebenarnya Muslimin ini bisa berjamaah (bersatu dengan satu pemimpin).
Selama Muslimin masih terkotak-kotak, harakah-harakah, ormas-ormas yang berbeda-beda, maka selama itu pula, pandangan yang bersifat lokal itu akan mendominasi.
MINA: Hari raya Idul Adha sendiri berpatok dari rukyat atau wukuf di Arafah?
Syamsuddin: Penentuan untuk Idul Adha ini pertama dari rukyat dulu. Berangkat dari rukyat, baru bisa menentukan tanggal 9 Dzulhijjah (wukuf diArafah). Jadi tidak mungkin menetapkan tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah apabila belum menetapkan tanggal 1 Dzulhijjah.
MINA: Berarti Rukyat Lokal tidak bisa mengakomodir pelaksanaan ibadah haji?
Syamsuddin: Rukyat lokal jelas tidak bisa mengakomodir pelaksanaan ibadah haji, karena sifat ibadah haji harus sentral pada satu hari yang sama.
Contoh, jika Indonesia melakukan rukyat pada hari Rabu (24 September), semuanya tidak bisa melihat, maka digenapkan 30 hari bulan Dzulqa’dah. Sementara 4 jam kemudian , Arab Saudi melakukan rukyat hilal, dan berhasil melihat hilal, berarti ini yang kita percayai. Karena pada hakekatnya hilal itu sudah terlihat, hanya masih belum tersingkap dalam pandangan umat Islam yang melakukan rukyat di Indonesia karena beberapa kendala, terutama hambatan ghumma (tertutup awan), sehingga tidak bisa melihat hilal.
Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel
MINA: Jika perbedaan seperti ini terus terjadi, apakah berdampak buruk bagi umat Islam di Indonesia?
Syamsuddin: Mudah-mudahan tidak terjadi dampak buruk yang mengakibatkan perpecahan dan perselisihan, menyebabkan permusuhan antar sesama Muslim. Itu yang kita harapkan.
Namun, dalam satu dinul (agama) Islam yang sama, dampaknya itu pada kemaslahatan pelaksanaan syariat Islam, jika terjadi perbedaan-perbedaan yang sangat mencolok, dalam hal ini perbedaan Idul Adha dan juga Idul Fitri yang penentuannya dengan hisab dan rukyatul hilal.
Paling tidak dengan perbedaan seperti ini, tanpa adanya jamaah imamah, tanpa adanya satu kepemimpinan sentral bagi umat Islam, akan selalu timbul anggapan bahwa perbedaan ini adalah hal yang biasa saja. Jadi umat ini, tidak terlalu peduli mana yang sebenarnya yang haq (benar). Seperti ada yang bilang “karena pemerintah sudah menetapkan, ya sudah kita ikuti saja”.
Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya
Memang sebagian umat Islam beranggapan bahwa presiden atau orang yang berkuasa di suatu wilayah atau negeri sebagai ulil amri.
MINA: Berarti dalam penetapan di Indonesia, ada sesuatu yang salah?
Syamsuddin: Ya betul, paling tidak ada kekeliruan dalam cara memandang matla’ atau tempat untuk menetapkan dalam melihat hilal.
Selama ini, jika kalender sudah menetapkan tanggal, biasanya sudah tidak bisa bergeser lagi. Maka ketika beberapa tahun yang lalu, pada awal-awal reformasi, ketika Amien Rais sebagai Ketua MPR, mulailah ada pentoleriran kepada orang yang dinilai berbeda dengan pelaksanaan Id-nya pemerintah.
Baca Juga: Basarnas Siapkan Sumber Daya yang Siap dan Sigap
Beliau mengatakan agar kita tidak melihat orang yang melaksanakan (hari raya) berbeda dengan pemerintah sebagai sesuatu yang negatif. Biarkan mereka melaksanakannya sesuai yang mereka yakini. (L/P001/R03)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)