Antara Nikmat dan Ujian

Oleh: Rendy Setiawan, Jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan di dunia ini hanyalah sementara, tidak kekal. Kehidupan di dunia ini tidak lebih dari sekedar permainan dan suatu yang melalaikan. Dikatakan melalaikan, karena di dalamnya manusia ketika memperoleh perhiasan dunia berupa kekayaan harta, ia akan lalai. Pun demikian, kehidupan di dunia ini sebagai sarana yang dijadikan oleh manusia untuk saling bermegah-megahan dan berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak.

Dalam surat Al-Hadiid disebutkan bahwa sifat manusia yang seperti ini layaknya hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani. Kemudian tanaman itu menjadi kering dan warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Sungguh di akhirat nanti akan ada adzab yang keras dan ampunan dari Allah Ta’ala serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Hidup adalah

Di kala manusia senang akan sesuatu yang telah didapatkan dari kehidupannya di dunia, manusia justru lupa bahwa hidup di dunia ini adalah sebuah ujian, baik ujian kebaikan maupun keburukan, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

… وَنَبۡلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلۡخَيۡرِ فِتۡنَةً۬‌ۖ وَإِلَيۡنَا تُرۡجَعُونَ (٣٥)

Artinya: “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya) dan hanya kepada Kami-lah kalian dikembalikan.” (QS. Al-Anbiyaa’ [21]: 35)

Mengenai ayat ini, salah seorang ahli tafsir di zaman shahabat, Ibnu Abbas radhiyallahu mengatakan: “(Kami uji kalian) dengan kesusahan dan kesenangan, dengan sehat dan sakit, dengan kekayaan dan kefakiran, serta dengan yang halal dan yang haram. Semuanya adalah ujian.”

Ibnu Yazid rahimahullah mengatakan: “Kami uji kalian dengan sesuatu yang disenangi dan yang dibenci oleh kalian, agar Kami melihat bagaimana kesabaran dan syukur kalian.”

Al-Kalbi rahimahullah berkata: “(Maksud Kami uji) dengan kejelekan adalah yang berupa kefakiran dan . Sedangkan diuji dengan kebaikan adalah yang berupa harta dan anak.”

Dalam ayat lain, Allah Ta’ala juga berfirman:

فَأَمَّا ٱلۡإِنسَـٰنُ إِذَا مَا ٱبۡتَلَٮٰهُ رَبُّهُ ۥ فَأَكۡرَمَهُ ۥ وَنَعَّمَهُ ۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَكۡرَمَنِ (١٥) وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبۡتَلَٮٰهُ فَقَدَرَ عَلَيۡهِ رِزۡقَهُ ۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَـٰنَنِ (١٦) كَلَّا‌ۖ بَل لَّا تُكۡرِمُونَ ٱلۡيَتِيمَ (١٧)

Artinya: “Adapun manusia apabila Rabbnya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: ‘Rabbku telah memuliakanku.’ Adapun bila Rabbnya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: ‘Rabbku menghinakanku.’ Sekali-kali tidak (demikian).” (QS. Al-Fajr [89]: 15-17)

Perhatikanlah ayat-ayat ini, bagaimana Allah Ta’ala menguji hamba-Nya dengan memberikan kemuliaan, nikmat, dan keluasan rezeki, sebagaimana pula Allah Ta’ala mengujinya dengan menyempitkan rezeki. Dalam ayat ini Allah Ta’ala mengingkari orang yang menyangka bahwa diluaskannya rezeki seorang hamba merupakan bukti pemuliaan Allah Ta’ala kepadanya dan disempitkannya rezeki adalah bentuk dihinakannya hamba.

Allah Ta’ala mengingkari ucapan orang tersebut melalui firman-Nya, “Sekali-kali tidak”, yakni perkara yang sebenarnya tidak seperti yang diucapkan oleh sebagian besar orang. Bahkan Allah Ta’ala terkadang menguji dengan nikmat, sebagaimana terkadang Allah Ta’ala memberi nikmat dengan cobaan.

Hal ini diperkuat dengan firman Allah Ta’ala yang lainnya:

وَهُوَ ٱلَّذِى جَعَلَڪُمۡ خَلَـٰٓٮِٕفَ ٱلۡأَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٍ۬ دَرَجَـٰتٍ۬ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِى مَآ ءَاتَٮٰكُمۡ‌ۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلۡعِقَابِ وَإِنَّهُ ۥ لَغَفُورٌ۬ رَّحِيمُۢ (١٦٥)

Artinya: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS. Al-An’am [6]: 165)

Juga firman-Nya:

إِنَّا جَعَلۡنَا مَا عَلَى ٱلۡأَرۡضِ زِينَةً۬ لَّهَا لِنَبۡلُوَهُمۡ أَيُّہُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلاً۬ (٧)

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalannya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 7)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ لِكُلِ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

Artinya: “Sesungguhnya bagi tiap umat ada fitnah (ujian yang menyesatkan), dan fitnah umatku adalah harta.” (HR. At-Turmudzi).

Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitab ‘Uddatush Shabirin’ mengutip ucapan Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah mengatakan: “Bukan termasuk yang mendalam ilmunya bila seseorang tidak menganggap bala (musibah) sebagai nikmat dan kenikmatan sebagai cobaan.”

Musibah dianggap sebagai nikmat karena musibah yang menimpa seorang mukmin adakalanya sebagai penghapus dosa yang dilakukannya, atau untuk meninggikan derajatnya, atau sebagai cambuk peringatan agar dia kembali ke jalan Allah Ta’ala.

Tidak Tertipu Dengan Nikmat

Sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menentukan watak kalian sebagaimana telah menentukan rezeki di antara kalian. Sesungguhnya Allah Ta’ala juga memberi harta kepada orang yang Dia cintai dan orang yang Dia benci. Namun Allah Ta’ala tidak memberi keimanan kecuali kepada yang Dia cintai.”

Allah Ta’ala memberikan harta dan kedudukan kepada orang yang Dia cintai dari kalangan para nabi dan wali, seperti Nabi Sulaiman alaihissalam dan shahabat ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu. Sebagaimana Dia memberi kemewahan dunia sementara kepada para musuh-Nya semisal Fir’aun dan Qarun.

Hal ini seperti yang Allah Ta’ala firmankan:

كُلاًّ۬ نُّمِدُّ هَـٰٓؤُلَآءِ وَهَـٰٓؤُلَآءِ مِنۡ عَطَآءِ رَبِّكَ‌ۚ وَمَا كَانَ عَطَآءُ رَبِّكَ مَحۡظُورًا (٢٠)

Artinya: “Kepada masing-masing golongan baik golongan ini maupun golongan itu Kami berikan bantuan dari kemurahan Rabbmu. Dan kemurahan Rabbmu tidak dapat dihalangi.” (QS. Al-Isra’ [17]: 20)

Oleh sebab itu, janganlah seorang tertipu bila melihat orang kafir dan para pelaku maksiat diberi kemewahan dunia dan kedudukan terpandang. Karena itu adalah istidraj (kesenangan sesaat) bagi hamba dari Allah Ta’ala.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ

Artinya: “Bila kamu melihat Allah Ta’ala memberi hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (kesenangan sesaat) dari Allah.” (HR. Ahmad).

Syukuri Nikmat

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

وعن أبي يحيى صهيب بن سنانٍ – رضي الله عنه – ، قَالَ : قَالَ رسولُ الله – صلى الله عليه وسلم – : (( عَجَباً لأمْرِ المُؤمنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خيرٌ ولَيسَ ذلِكَ لأَحَدٍ إلاَّ للمُؤْمِن : إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكانَ خَيراً لَهُ ، وإنْ أصَابَتْهُ ضرَاءُ صَبَرَ فَكانَ خَيْراً لَهُ )) رواه مسلم .

Artinya: Dari Abu Shuhaib bin Sinan radhiyallahu’anhu, dia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya baik baginya. Dan yang demikian itu hanya ada pada seorang mukmin. Jika mendapat kesenangan dia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan jika mendapat musibah dia bersabar, maka sabar itu baik baginya.” (HR. Muslim)

Keadaan manusia ketika mendapat musibah, ada yang beriman dan ada yang tidak beriman (orang kafir). Orang yang beriman akan bersabar dan mencari jalan keluar seraya mengharap pahala. Sedangkan orang yang tidak beriman akan senantiasa mencela/mengumpat, meratapi, berandai-andai dengan waktu.

Dan orang yang beriman jika mendapat nikmat maka dia bersyukur dengan sebenar-benarnya, memenuhi Rukun syukur, yaitu hati yang mengakui bahwa nikmat tersebut dari Allah Yang Maha Pemberi Rizki, lalu lisannya memuji Allah Ta’ala dan menyebut-nyebut nikmatnya, kemudian menggunakan nikmat tersebut dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala.

Dalam hadits tersebut mengandung perintah bersabar karena kesabaran merupakan sarana kebaikan. Begitu juga perintah untuk bersyukur, karena syukur adalah penyebab bertambahnya nikmat.

Hadits tersebut juga mengandung konsekuensi bahwa keadaan orang kafir ketika mendapat nikmat juga buruk, karena setiap langkahnya adalah maksiat kepada Allah Ta’ala, karena mereka senantiasa berada dalam kemaksiatan yang paling besar selama masih dalam keadaan kafir.

Obat Menghadapi Ujian

Berikut ini beberapa hal yang perlu diperhatikan, yang bila kita renungkan dan pahami dengan sebaik-baiknya,  insya Allah bisa membuat kita semua bisa sabar dan ikhlas dalam menghadapi ujian-Nya yang paling berat sekalipun:

Pertama, hal yang paling utama yang mampu mengobati rasa luka dan duka seseorang saat mendapatkan ujian adalah mengucapkan dan merenungi makna kalimat istirja’ ‘Innaa lillaahi wa inaa ilaihi raaji’uun’. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَىۡءٍ۬ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٍ۬ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٲلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٲتِ‌ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ (١٥٥) ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَـٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٌ۬ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٲجِعُونَ (١٥٦)

Artinya: “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji´uun”.” (QS. Al-Baqarah: 155-156).

Ini adalah obat yang paling utama yang hendaknya diucapkan seorang hamba tatkala mendapatkan suatu musibah. Kalimat ini membuatnya kembali tersadar bahwa dia adalah seorang hamba milik Allah, dan akan kembali kepada-Nya pula. Kesadaran yang mendalam akan kalimat ini, akan membuat musibah terasa ringan, betapa pun besar musibah tersebut.

Kedua, hal yang dapat mengobati duka lara saat terjadi musibah adalah seseorang memiliki keyakinan yang utuh tanpa keraguan, bahwa apa yang telah Allah tetapkan akan menimpanya, maka pasti akan ia alami. Tidak akan mungkin meleset. Dan sebaliknya, kalau itu bukan bagian dari takdirnya, maka ia tidak akan tertimpa dan mendapatkannya. Allah Ta’ala berfirman,

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ(22)

Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid: 22).

Ketiga, seseorang yang mendapatkan ujian dan musibah membandingkan ujian yang ia derita dengan ujian orang lain. Pasti akan ia dapati orang-orang yang mendapatkan ujian lebih besar dan lebih berat dibanding ujian yang sedang ia alami. Yang demikian ini, akan membantu memperingan deritanya.

Perhatikan pesan emas dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ؛ فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ

Artinya: “Lihatlah oleh kalian orang-orang yang berada di bawah kalian, dan janganlah kalian melihat kepada orang-orang yang berada di atas kalian, itu lebih baik bagi kalian supaya kalian tidak meremehkan nikmat dari Allah Ta’ala.” (HR. Muslim)

Keempat, menyadari bahwa murka dan amarah yang ia ekspresikan karena ujian dan musibah yang menimpanya, tidak akan mampu menolak musibah atau mengubah ketetapan takdir Allah atasnya. Bahkan murka dan amarahnya itu malah menjadikannya semakin tertekan dan lemah. Jika ia murka dan marah atas musibah yang ia terima, ia akan kehilangan pahala yang sangat besar dari sisi Allah.

أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ (157)

Artinya: “Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 157).

Kalau kesempatan pahala ini ia lewatkan, maka ia hanya akan mendapatkan derita saja atau bahkan dosa.

Kelima, hal yang menjadikan ujian dan musibah terasa ringan lainnya adalah tatkala kita berharap gantinya dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla. Barangsiapa yang ditimpa musibah, dia bersabar, mengucapkan istirja’ “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”, merasa takut kepada Allah, maka Allah Jalla wa ‘Ala akan gantikan yang lebih baik untuknya. Dalam Shahih Muslim, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,

مَا مِنْ عَبْدٍ تُصِيبُهُ مُصِيبَةٌ فَيَقُولُ: «إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ، اللهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا» إِلَّا أَجَارَهُ اللهُ فِي مُصِيبَتِهِ وَأَخْلَفَ لَهُ خَيْرًا

Artinya: “Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’un. Allahumma’jurnii fii mushibatii wa akhlif lii khoiron minhaa [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah, berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”, maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih baik.”

Demikianlah kita harus selalu baik sangka kepada Allah Ta’ala dan jangan pernah sekalipun meragukan dan mempertanyakan keputusan, ketetapan, pengaturan dan ketentuan Allah.  Kita harus bisa sabar dan ridha terhadap apapun keputusan, ketetapan dan pengaturan-Nya. Kalau kita masih merasa tidak puas dengan semua keputusan, ketetapan, pengaturan dan ketentuan Allah itu, maka cari saja Tuhan selain Allah.

Perhatikan firman Allah dalam hadits Qudsi, yang artinya: ”Akulah Allah, tiada Tuhan melainkan Aku. Siapa saja yang tidak sabar menerima cobaan dari-Ku, tidak bersyukur atas nikmat-Ku dan tidak ridha dengan ketentuan-Ku, maka bertuhanlah kepada Tuhan selain Aku.”(HR. Thabrani dari jalur Abu Hind Ad-Dari)

Karena itu, marilah kita sabar dan ikhlas dalam segala keadaan, yakinlah bahwa janji Allah pasti benar. Percayalah, sabar dan ikhlas, akan membuahkan kebahagiaan hidup. Wallahu Ta’ala A’lam. (P011/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)