Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

BANGKITKAN PERADABAN ISLAM DENGAN TERAPKAN NILAI-NILAI HIJRAH

Admin - Kamis, 14 November 2013 - 17:44 WIB

Kamis, 14 November 2013 - 17:44 WIB

1206 Views ㅤ

KH. Abul Hidayat Saerodjie. (Rana/MINA)

Pergantian Tahun Baru Islam (Hijriyah) seharusnya tidak hanya sekedar seremonial saja, tetapi harus dihayati makna perubahan waktu sekaligus mengkaji nilai-nilai hijrah dalam perspektif penataan umat ke depan untuk menyongsong kebangkitan peradaban Islam abad ini.

Umat Islam adalah umat yang terpimpin. Kepemimpinannya tidak mengadopsi teori barat maupun timur, tetapi mengikuti jejak para nabi terdahulu.

Islam itu dilahirkan bagi kaum muslimin agar dipundak mereka ada satu tanggung jawab besar terhadap peradaban. Mewarnai peradaban dunia ini dengan peradaban Islam.

Demikian diungkapkan KH. Abul Hidayat Saerodjie, Ketua Lembaga Bimbingan Ibadah dan Penyuluhan Islam (LBIPI) Pusat Jama’ah Muslimin (Hizbullah), dalam wawancara ekslusif dengan wartawan Kantor Berita Islam Mi’raj News Agency (MINA), Rana Setiawan di Bogor, beberapa waktu lalu.  Berikut adalah petikan wawancaranya.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El-Awaisi (3): Kita Butuh Persatuan untuk Bebaskan Baitul Maqdis

Mi’raj News Agency (MINA): Bagaimana pandangan Anda mengenai perkembangan peradaban Islam saat ini?

KH. Abul Hidayat Saerodjie: Memang ada orang menyebut sebagai kebangkitan peradaban Islam karena pada kenyataannya, Islam terus berkembang di Eropa, Amerika dan di kalangan para ilmuwan, Al-Quran betul-betul dikaji, dan sebagainya. Lambat tapi pasti nampaknya orang sudah mulai mengakui tentang benarnya syariah, misalnya di bidang ekonomi semakin banyak munculnya penerapan ekonomi syariah, bank-bank syariah walaupun di sana sini perlu dibenahi, tetapi ini sebagai awal dari sebuah kebaikan.

Satu sisi, kebangkitan peradaban Islam ini sedang berproses, pada akhirnya dari hasil proses adanya pertarungan itu akan terlihat mana yang haq (benar) dan kebenaran itu akan dicari orang. Bagaimana pun manusia itu punya hati nurani yang cenderung pada setiap kebaikan, orang jenuh dengan ketidakadilan, kedzaliman, ketidakseimbangan seperti teori-teori kapitalisme atau materialisme yang hanya melahirkan kesenjangan manusia, dalam kehidupan ada jarak, sehingga orang akan mencari alternatif. Satu-satunya alternatif ya Islam, Islam memberikan kedamaian, keseimbangan, dan kehidupan yang harmonis.

Mi’raj News Agency (MINA): Salah satu faktor kebangkitan peradaban Islam adalah generasi Islam. Namun, generasi Islam saat ini sedang terpuruk dengan adanya pergaulan-pergaulan bebas dan masuknya budaya-budaya barat. Bagaimana pandangan Anda atas fenomena ini?

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis

KH. Abul Hidayat Saerodjie: Saya pikir fenomena ini adalah suatu kenyataan dan proses. Tapi perlu diingat, sebenarnya fenomena itu tidak mewakili, sebuah kasus-kasus seperti itu memang terjadi, tapi di sisi lain ternyata generasi Islam mulai bangkit. Sebagai contoh, Al-Quran saja, makin marak orang menghafal Al-Quran, bukan satu saja tapi ribuan orang di Palestina maupun di negeri-negeri lainnya, bahkan para pemuda banyak mengkaji Al-Quran.

Jadi ini merupakan proses kristalisasi saja, nanti mana yang berkualitas mana yang tidak berkualitas akan terlihat.

Memang ada upaya gencar dari suatu kekuatan besar yang disebut westernisasi, sekulerisasi melalui teori-teori atau falsafah-falsafah liberal, materialisme, eksistensialisme, dan sebagainya dalam rangka menghancurkan, bukan hanya menghancurkan kaum muslimin tapi sebenarnya menghancurkan peradaban dunia. Ini memang proses, insya Allah haq itu akan datang dan bathil itu akan raib. Hanya, nanti Allah akan pilih generasi yang berkualitas, generasi yang tidak berkualitas akan jatuh.

Seperti yang sering saya sampaikan, hidup ini merupakan proses kematangan, hanya proses kristalisasi kualitas. Seperti sering disampaikan dalam ceramah-ceramah saya, hidup ini seperti falsafah bunga, untuk menjadi buah harus melewati proses kematangan, tidak semua bunga menjadi buah, jika ada yang tidak berkualitas dia akan rontok. Jadi, generasi yang berkualitas itulah yang akan dapat menyanggah peradaban ini.

Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina

Sudah janji Allah bahwa abad ini adalah abad kebangkitan Islam, kembalinya kaum muslimin kepada kepemimpinan dunia Islam, yang disebut Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam sebagai Summa takunu khilafatan ‘ala minhaj nubuwwah, kemudian nanti dalam proses berikutnya akan berada pada masa yang disebut Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah, kepemimpinan dunia Islam yang mengikuti jejak perjalanan para Nabi.

Mi’raj News Agency (MINA): Apa saja faktor-faktor penghambat proses kembangkitan peradaban Islam?

KH. Abul Hidayat Saerodjie: Faktor penghambat yang paling berat justru menghadapi filsafat-filsafat yang menyesatkan, misalnya liberalisme, hedonisme, eksistensialisme dan falsafah-falsafah yang sesuai dengan selera syahwat dan nafsu manusia. Liberalisme suatu pandangan yang cenderung menganggap kebebasan manusia bisa direnggut sebebas-bebasnya. Pada klimaksnya, orang akan jenuh juga, ternyata kebebasan itu hanya isapan jempol saja, mana ada manusia bebas dengan sendirinya.

Kemudian hedonisme, pandangan hidup yang menganggap orang hanya akan mendapat kebahagiaan dengan mengejar kenikmatan-kenikmatan, hura-hura sebanyak mungkin. Itu pun ada batasnya, dan pada akhirnya, orang-orang akan mencari kesenangan yang hakiki, kebahagiaan hakiki, bukan kebahagian semu dengan hura-hura karena nafsu sifatnya seperti api yang membakar tapi kemudian padam. Jadi, orang-orang akan mencari kebahagiaan yang hakiki, dimana kedamaian itu berada.

Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (1): Peran Strategis Indonesia dalam Pembebasan Baitul Maqdis

Pada kenyataannya kaum hedonis saat menganggap materi menjadi segalanya, uang segala-galanya, toh tidak bisa memberikan ketenangan dan kedamaian di hati. Buktinya, banyak orang yang untuk tidur nyenyak saja tidak bisa, harus didoping dengan obat penenang, pil tidur, bahkan banyak yang meminum minuman keras, memakai narkoba. Hal ini menunjukkan kegagalan teori hedonisme yang menganggap setiap kesenangan adalah segala-galanya. Hedonisme itu nanti akan tersingkir dengan sendirinya dan orang-orang akan mencari kebahagiaan, kedamaian, ketenteraman yang hakiki bukan semu !

Begitu pula, eksistensialisme yang sasarannya anak-anak muda, bebas dari norma dan agama akan menjerumuskan mereka sendiri pada jurang kebinasaan dan akhirnya mereka akan mencari jalan kebenaran dalam hidupnya.

Mi’raj News Agency (MINA): Menurut Anda apakah sudah ada tanda-tanda masa keemasan kebangkitan peradaban Islam di era globalisasi ini?

KH. Abul Hidayat Saerodjie: Secara akidah, Allah mempergilirkan kejayaan kepada manusia. Memang teori atau ideologi pemikiran besar manusia telah gagal menciptakan peradaban damai, peradaban harmonis, peradaban penuh persaudaraan, di mana orang menyebutnya humanis dan sebagainya, ternyata semua itu gagal total.

Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel

Justru teori matrealisme dan liberalisme melahirkan manusia-manusia yang gersang, melahirkan kelompok manusia individu yang tidak memikirkan orang lain hanya memperkaya diri. Bahkan, melahirkan persaingan-persaingan tajam dan masih terjadi hukum rimba, golongan kuat memperdayakan golongan lemah. Memang dulu pada zaman kolonialisme dan imprealisme dari barat terutama dari eropa, negeri-negeri lemah dijajah oleh negeri-negeri kuat.

Sekarang orang berfikir bahwa tindakan itu tidak manusiawi, tidak sesuai Hak Asasi Manusia, mereka rubah sistem yang mereka lakukan dengan hegemoni di bidang politik dan ekonomi. Walaupun negeri-negeri Islam sudah merdeka kecuali Palestina yang belum merdeka hingga saat ini, tapi hegemoni ekonomi terhadap negeri-negeri muslim masih berjalan.

Insya Allah, Allah akan mempergilirkan kejayaan kembali pada Islam dari tanda-tanda yang sudah muncul, adanya kebangkrutan, terutama Amerika Serikat, negara yang menganggap sebagai negara paling tangguh sekarang mengalami krisis. Karena pijakan falsafah hidup mereka memang rapuh, jika ideologi pemikirannya didasarkan pada ideologi pemikiran manusia apalagi dengan keserakahan, lambat atau pun cepat pasti akan tumbang dan hancur.

Tentu konsep dari Allah yang paling baik karena Allah yang tahu persis mengenai anatomi dan kejiwaan manusia, yaitu konsep Islam. Jadi, Insya Allah, Allah akan pergilirkan kejayaan dengan berbagai macam tanda-tanda walaupun sekarang sedang mengalami proses terjadinya kejayaan Islam itu. Pertarungan ideologi, kemudian mengarah yang tadinya negeri diktator dan otoriter, sekarang rakyatnya mulai memberontak, tidak mau dikungkung.

Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya

Kemudian di negara-negara barat sendiri banyak sekali mereka yang sudah menelaah Islam, seperti di Inggris sendiri, Islam semakin berkembang, tidak hanya soal ekonomi syariah tapi bidang-bidang lain yang mereka telaah. Banyak pandangan dari negeri-negeri barat, ternyata Al-Quran itu semakin digali semakin menunjukkan kebenaran.

Mi’raj News Agency (MINA): Negara-negara Timur Tengah sedang bergejolak. Bagaimana pandangan Anda mengenai peradaban Timur Tengah yang tidak muncul?

KH. Abul Hidayat Saerodjie: Fenomena ini merupakan skenario Allah, sepertinya seolah-olah bisa dihancurkan, tapi justru skenario Allah sedang dijalankan, ini merupakan proses kristalisasi tadi.

Wa makaru wa makarallah wallahu khoirul maakirin, mereka punya rencana, Allah punya rencana, dan rencana Allah yang paling baik. Jadi, dalam proses pastinya melewati suatu pergeseran dan pada hakikatnya Allah akan memberikan yang terbaik bagi hambaNya.

Baca Juga: Basarnas Siapkan Sumber Daya yang Siap dan Sigap

Mi’raj News Agency (MINA): Bagaimana pandangan Anda mengenai kebangkitan peradaban Islam akan muncul di Masjid Al-Aqsha, Palestina?

KH. Abul Hidayat Saerodjie: Memang Masjid Al-Aqsha dan Palestina merupakan pusat peradaban dunia, jauh sebelumnya pun sudah terjadi pergolakan di sana. Di sana menjadi satu barometer bagaimana perebutan terjadi dan sekarang masih dijajah Yahudi Zionis Israel.

Saat ini, semakin lama orang-orang semakin tidak percaya, orang-orang Eropa, Amerika, bahkan Yahudi sendiri sudah muak terhadap sikap-sikap Zionis. Dan sikap seperti itu akan terus berkobar. Karenanya, kita harus pertaruhkan pertarungan peradaban ini.

Mi’raj News Agency (MINA): Apa kewajiban umat Islam terhadap Masjid Al-Aqsha dan Palestina?

Baca Juga: Cerita Perjuangan dr. Arief Rachman Jalankan “Mission Impossible” Pembangunan RS Indonesia di Gaza (Bagian 3)

KH. Abul Hidayat Saerodjie: Umat Islam dalam kewajibannya jelas menurut tuntutan agama. Pada prinsipnya, Islam itu tidak macam-macam, pertama mengajak manusia bersujud menyembah tunduk kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala; kedua menciptakan kedamaian dan berbuat kebaikan, menjalin kasih sayang, persaudaraan antara sesama.

Islam tidak pernah dan tidak dibenarkan memulai peperangan apalagi melakukan invansi. Peperangan terjadi karena dimulai dari orang-orang kafir yang mengganggu, menghina, menghalangi dakwah. Islam tidak pernah memulai perang apalagi untuk kepentingan sendiri. Beda dengan negara-negera kafir seperti Amerika dan Israel yang melakukan invasi semata-mata untuk mencari kepentingan pribadi.

Sekali lagi, Islam mengajak manusia untuk menyembah Allah, mengajak manusia berdamai dalam kehidupan sehingga keharmonisan tercipta sekali pun di antara agama-agama lain. Islam tidak pernah mengajarkan untuk memaksa orang lain memeluknya, la iqra hafid din (tiada paksaan dalam Islam).

Tapi sekalipun mereka mempertahankan ide kekafirannya, keyakinan agama mereka, silahkan saja. Asal berdamai dengan damai yang baik. Orang-orang kafir yang boleh dan harus diperangi oleh umat Islam adalah orang-orang kafir yang memerangi umat Islam dan mereka mengusir kaum muslimin dari negeri Islam, itu yang mestinya terjadi peperangan. Selama umat di luar Islam mereka mengajak damai, maka umat Islam tidak akan memerangi mereka. Bahkan umat Islam harus lebih dulu menciptakan perdamaian dimana pun berada.

Baca Juga: Cerita Perjuangan dr. Arief Rachman Jalankan “Mission Impossible” Pembangunan RS Indonesia di Gaza (Bagian 2)

Mi’raj News Agency (MINA): Upaya-upaya apa saja yang dapat membangkitkan peradaban Islam?

KH. Abul Hidayat Saerodjie: Upaya-upaya ini tidak boleh berhenti terutama pada kalangan para ulama, pejuang, mujahid, dai, ustadz, dan berjuang dengan sekuat tenaga sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing untuk terus bergerak menyuarakan Islam, kebenaran, dan keadilan dengan berbagai macam cara, melalui media massa, pembinaan umat, pendidikan Islam, dan sebagainya.

Terutama menyerukan kepada umat Islam dimana pun berada agar bersatu, karena umat Islam itu bukan menjadi manusia yang hanya cukup sebatas ritual, shalat di masjid, puasa, haji saja. Justru Islam itu dilahirkan bagi kaum muslimin agar dipundak mereka ada satu tanggung jawab peradaban. Mewarnai peradaban dunia ini dengan peradaban syar’i, sehingga manusia dalam kemajuan keperadaban terutama sains dan teknologi saat ini diwarnai oleh ruh Islam yang sifatnya damai, jauh dari eksploitasi sesama manusia. Allah sudah menjelaskan, dijadikan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar mereka saling mengenal bukan saling menjajah, ini pesan Islam.

Hal itu bisa dilakukan jika umat Islam kompak dan bersatu. Kembali pada contoh Rasulullah dalam membangun umat, ketika hijrah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam, ada hal-hal strategis yang perlu ditelaah kembali, bahkan selain menjadi contoh teladan juga mempunyai nilai-nilai strategis yang mestinya dijadikan panutan bagi para pejuang Islam. Rasulullah hijrah ke Madinah bukan karena mempunyai target-target kekuasaan atau ingin diangkat sebagai raja, tetapi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam hijrah ke Madinah karena memang perilaku para kafir Quraisy yang akan membunuhnya. Ternyata ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam sampai di Madinah, ia diterima, dielu-elukan oleh umat Islam di Madinah yang sudah berbaiat pada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam.

Baca Juga: Wawancara dengan MER-C: Peran dan Misi Kemanusiaan MER-C di Afghanistan

Kita perhatikan dalam sejarah, setelah berada di Madinah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam tidak membangun benteng pertahanan, dalam arti tidak membangun militer. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam tidak mempersiapkan militer secara khusus. Karena risalah Islam yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam bukan untuk mengancam orang-orang kafir. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam juga tidak membangun kerajaan, dalam arti ia mulai memancangkan kekuasaannya kemudian supaya ia diangkat menjadi raja, menjadi penguasa, bukan itu yang menjadi target kenabian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam. Hal itu terbukti ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam melakukan hijrah, maka yang pertama kali dibangunnya adalah masjid. Dari sini kita bisa menilai ternyata yang akan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam bangun –pada saat hijrah itu- adalah sebuah peradaban, masyarakat religius didasarkan pada kalimat tauhid, kemudian dipersaudarakan antara sesama manusia, tidak dibatasi oleh etnis, status sosial, gender, serta teritorial tertentu, melainkan bersifat universal dan rahmatan lil ‘alamiin. Lalu mengapa ada orang yang mengatakan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam itu kepala negara?

Kemudian langkah berikutnya saat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam hijrah ke Madinah, mereka dipersaudarakan, antara kaum Muhajirin dan Anshar pada saat itu, di mana sebelumnya kedua kaum itu satu dengan lainnya saling mencurigai, bahkan bisa jadi suatu saat terjadi peperangan. Kaum Aus dan khajraj yang sudah ratusan tahun saling memerangi, dendam kesumat yang tiada habis-habisnya pun akhirnya dipersaudarakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam. Antara kulit putih dengan kulit hitam, budak dengan tuannya. Subhanallah, tidak ada satu ajaran yang bersifat universal, memanusiakan manusia seperti ajaran Islam. 

Langkah selanjutnya, ditetapkannya shalat wajib lima waktu di masjid, ini penuh makna. Kita lihat dalam shalat berjamaah di masjid, siapa pun boleh masuk ke masjid, dan shaf yang paling depan adalah yang paling dulu, tidak ada aturan shaf pertama untuk para pejabat, orang kaya, golongan bangsawan…, tidak ada itu. Siapa pun boleh menempati shaf pertama dan masuk semua ke masjid.

Kita lihat juga saat shalat berjamaah, duduk berhimpit-himpitan, duduk bersama-sama, bersimpuh semuanya hanya satu tujuannya mengharap ampunan dan ridha Allah, mengharapkan keutamaan, kedamaian, seperti itulah shalat berjamaah.

Saat iqamah dikumandangkan, tampil imam ke depan memimpin shalat. Shalat berjamaah adalah bukti yang menunjukkan umat Islam adalah umat yang terpimpin. Umat di zaman nabi langsung Rasulullah sendiri yang menjadi pemimpin, seorang nabi dan pemimpin umat. Ini juga mencontoh para nabi-nabi sebelumnya, sebelumnya para nabi adalah pemimpin umat, yang sifatnya penggembala bukan penguasa, jadi ada ditengah-tengah umat.

Kemudian, kepemimpinan umat dilanjut oleh Khulafaur Rasyidin al-Mahdiyyin, wafat Rasulullah, Abu Bakar dibaiat sebagai khalifatul Rasul, Abu bakar meninggal diganti oleh Umar bin Khatab sebagai Amirul Mukminin, khalifah khalifatil Rasul, begitu selanjutnya sampai kepemimpinan Utsman dan Ali. Setelah selesai masa Khulafaur Rasyidin itu, terjadi proses pergeseran panjang yang disebut oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam dari khilafah ‘ala minhajin nubuwwah menjadi Mulkan Ardlan dan seterusnya.

Tapi ini menunjukkan, umat Islam adalah umat yang terpimpin. Kepemimpinannya tidak mengadopsi teori barat maupun teori timur, tetapi mengikuti jejak para nabi terdahulu. Sifatnya sebagai rain, al imamun rain alan naas, imam itu sebagai penggembala atas manusia bukan penguasa. Bahkan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam sendiri mempraktekan menolak sanjungan para sahabat saat ia datang seketika para sahabat berdiri. Melihat para sahabat berdiri, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam bersabda, “Duduklah kalian. Jangan kalian hormati aku sebagaimana menghormati para raja. Aku bukan raja.”

Dalam praktek kehidupannya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Salam menunjukkan bagaimana sikap seorang pemimpin umat yang menggembala umat agar umat selamat dunia dan akhirat. Itulah kepemimpinan beliau di mana kepemimpinan ini mulai dilupakan kaum Muslimin.

Dalam beberapa hal, bahkan saya menulis dalam buku saku yang berjudul “Aplikasi nilai Hijrah” atau “Hijrah dalam Perspektif Penataan umat”, antara lain meski kita contoh Rasulullah, itu yang terbaik, pemimpin umat itu bukan raja, bukan monarki, dan pergerakan Islam itu bukan mengambil kerajaan atau kekuasaan orang lain, tapi menggembala  umat seperti kepemimpinan para nabi agar umatnya selamat sejahtera dunia akhirat. Hal itu bukan berarti kita tidak mengatur dunia, kita mengatur dunia, tetapi aturan dunia itu diatur bukan atas dasar kekuasaan atau menguasai, apalagi mengeksploitir terhadap rakyat dan umat, tapi justru sebagai khadimul Ummah, yang membawa umat sejahtera dunia dan akhirat.

Soal shalat berjamaah, kita lihat banyak pelajaran dalam aplikasi shalat berjamaah. Ternyata shalat berjamaah di masjid itu merupakan bentuk miniatur kehidupan masyarakat Islam dengan sistem hidup berjamaah. Imam menghadap kiblat setelah jamaahnya lurus dan rapih, muslimin dewasa di depan, muslimin anak-anak di belakang, muslimat anak-anak di depan, muslimat dewasa di belakang. Imam memimpin shalat berjamaah, Wa idza Kabbara Fakabbiru (apabila Imam bertakbir maka bertakbirlah), gerakannya indah, seirama, sujud bersama-sama, subhanallah, ini gambaran umat Islam, bahkan shafnya diluruskan sampai kaki itu menghadap kiblat dan rapat dengan sebelahnya, bahu dengan bahu, kaki dengan kaki, ini menggambarkan sekaligus perintah di dalamnya agar umat Islam adalah umat yang satu, tidak bisa dipisah-pisahkan dengan alasan apapun.

Jadi, nilai-nilai hijrah sangat strategis sekali bagi penataan umat.

Mi’raj News Agency (MINA): Pesan-pesan Tahun Baru Hijriyah untuk menyongsong kebangkitan peradaban Islam?

KH. Abul Hidayat Saerodjie: Kebanyakan kita dalam pergantian Tahun Baru Islam (Hijriyah) hanya sebatas seremonial saja, bahkan walaupun sudah mulai ada kesadaran dari sebagian kaum muslimin, kadang-kadang pergantian tahun cenderung pada hura-hura belaka, kita bisa lihat perayaan Tahun Baru Masehi begitu genggap gempita, semua orang tahu, namun dilepas dengan hura-hura.

Mestinya, pergantian tahun itu disertai dengan satu instropeksi diri, dengan tafakur, karena dalam setiap perjalanan waktu itu mengandung makna dan ada tanggung jawab, tapi saying jika dilepas dengan hura-hura.

Pada Tahun Baru Islam, Alhamdulillah, orang sudah mulai mengerti bahwa pergantian Tahun Baru Islam walaupun tidak segenggap gempita, seramai seperti Tahun Baru Masehi, tapi justru orang banyak pergi ke masjid melakukan tafakur, merenung, mengungkap riwayat-riwayat mengenai hijrah, serta mengevaluasi diri. Hal ini penting dan mesti dikembangkan.

Saya kira dengan pergantian Tahun Baru Islam (Hijriyah) tidak hanya sekedar seremonial tanpa makna, tetapi harus dihayati makna perubahan waktu sekaligus mengkaji nilai-nilai hijrah dalam perspektif penataan umat ke depan terutama untuk menyongsong kebangkitan peradaban Islam pada abad ini, insya Allah. (L/P02/R2).

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda