Belajar Menyantuni Orang Lemah

Oleh Bahron Ansori, Redaktur MINA

COBA sesekali lihatlah -orang yang ada di sekitar kita. Lalu bandingkan kondisi mereka dengan kita. Atau sesekali perhatikanlah para peminta-minta yang sering menghampiri kita tanpa diminta. Ternyata, hidup ini begitu berwarna.

Kita mungkin hari ini punya kondisi lebih baik dari orang yang meminta-minta tadi. Tapi, kita tidak pernah tahu sehari, seminggu atau sebulan kemudian orang yang meminta-minta itu kondisinya bisa jauh lebih baik dibanding kita.

Manusia sebagai makhluk sosial, maka tentu saja harus saling memperhatikan satu dengan yang lain. Yang kelebihan harta, maka perhatikanlah mereka  yang papa dan hidup serba kekurangan. Jangan pandang mereka dengan sebelah mata. Sebab di balik kepapaan mereka ada begitu banyak ladang pahala bagi orang yang kelebihan harta.

Menolong, dan menyantuni orang-orang lemah di sekitar kita adalah amal mulia. Bahkan bisa jadi, membantu orang yang lemah akan menjadi energi tersendiri bagi siapa saja yang sedang terus berproses meraih kesuksesan. Dalam kehidupan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat pun banyak kalangan orang lemah yang dibantu dan disantuni hingga mereka masuk Islam.

Ada sebuah kisah menarik antara Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan seorang pengemis Yahudi buta. Inilah kisahnya. Di sudut pasar Madinah Al-Munawarah ada seorang pengemis Yahudi buta. Hari demi hari bila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata, “Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya.”

Namun demikian, setiap pagi juga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tida mendekati orang yang bernama Muhammad.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam melakukannya setiap hari hingga menjelang wafat. Setelah kewafatan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam, tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu.

Suatu hari Abu Bakar r.a berkunjung ke rumah anaknya Aisyah. Beliau bertanya kepada anaknya, “Anakku adakah sunnah kekasihku yang belum aku kerjakan.” Aisyah menjawab pertanyaan ayahnya, “Wahai Ayahanda engkau adalah seorang ahli sunnah, hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayahanda lakukan kecuali satu sunnah saja.”

“Apakah Itu?” tanya Abu Bakar.

 “Setiap pagi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana,” kata Aisyah.

Demi mendengar hal itu, seesokan harinya Abu Bakar pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abu Bakar mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya.

Ketika Abu Bakar mulai menyuapinya. Namun si pengemis itu agak menampiknya, demi dirasakannya ada yang berbeda, sambil berkata, “Siapakah kamu?” Abu Bakar menjawab, “Aku orang yang biasa.” “Bukan!, Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku”, jawab si pengemis buta itu.

“Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu ia menghaluskan makanan tersebut, setelah itu baru ia berikan padaku,” pengemis itu melanjutkan perkataannya.

Sejenak, Abu Bakar tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, “Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya. Orang yang mulia itu telah tiada, wafat,” ujar Abu Bakar lirih.

Ia adalah Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa sallam, lanjutnya.

Setelah pengemis itu mendengar cerita Abu Bakar, ia pun menangis dan kemudian bertanya, “Benarkah demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya. Namun ia tidak pernah memarahiku sedikitpun. Malah ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi. Ia begitu mulia.

Akhirnya, pengemis Yahudi buta tersebut bersyahadat masuk Islam di hadapan Khalifah Abu Bakar.

Abu Bakar Menyantuni Para Budak

Kebiasaan menyantuni kaum lemah, selanjutnya dilakukan Abu Bakar dalam kepemimpinannya, di antaranya:

Pertama, terhadap ‘Amir bin Fuhairoh. Ia. termasuk assàbiqunal awwalun atau barisan pertama masuk Islam. Sebelum dimerdekakan oleh Abu Bakar, ia adalah budak dari Thufail bin Abdillah bin Sakhbaroh.Thufail ini adalah kakak kandung Aisyah, satu ibu,lain bapak.Dari ibu bernama Ummu Ruman.

Ummu Rumman (zainab nama aslinya) sebelum dinikahi Abu Bakar adalah janda dari Abdullah bin Harits bin Sakhbaroh. Dari pernikahan Ummu Rumman dan Abdullah,lahirlah Thufail.

Sedangkan pernikahan Abu Bakar dengan Ummu Rumman lahirlah Abdurrahman dan Aisyah. ‘Amir bin Fuhairoh setelah dibeli oleh Abu Bakar dan dimerdekakan,ia ikut serta hijrah bersama Nabi SAW dan Abu Bakar,ikut perang badar dan uhud.Wafat sebagai syahid waktu perang Bi’ru Ma’ùnah,tahun 4 H.

Kedua, terhadap Nahdiyyah dan Putrinya. Keduanya dari Bani An-Najjar.Pada suatu hari ketika mereka sedang disiksa majikannya,Abu Bakar lewat.Melihat keduanya sedang ditindih karung yang berisi tepung,Abu Bakar langsung meminta kepada sang majikan agar menurunkan tepung itu dari tubuh keduanya.

Namun sang majikan itu menolaknya dan berkata:”aku tidak berhenti menyiksa mereka dan selamanya tidak aku merdekakan”. Lalu Abu Bakar berkata:”bagaimana kalau aku mau membeli mereka berdua?,berapapun harganya aku beli”. Akhirnya sang majikan menjualnya,tentunya dengan harga yang sangat tinggi.

Ketiga, terhadap Bilal bin Rabah. Dia adalah Muadzdzin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan termasuk golongan pertama masuk Islam. Ia dibeli Abu Bakar pada saat ia disiksa oleh tuannya Umayyah bin Kholaf dengan menindihkan batu besar di punggungnya. Pada saat cuaca begitu panas. Kalimat “Ahad” tetap terus terucap ketika Umayyah terus menekannya agar keluar dari Islam.

Harga Bilal bin Rabah ketika dibeli Abu Bakar adalah 5 Awàq (Uqiyah). Menurut Syekh Abu As-Sattar dalam karyanya “Abu Bakar Khalífatu Rasulillah SAW”, mengatakan bahwa 1 uqiyah = 119 gram emas. Jadi Abu Bakar membeli Bilal seharga 595 gram emas. Masya Allah betapa luar biasa mulianya akhlak Abu Bakar Ash Shiddiq.

Lalu, bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menyantuni orang yang lemah, yang ada di sekitar kita? (A/RS3/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.