Bencana Kelaparan di Gaza Utara, Pakan Ternak Jadi Alternatif 

Warga Palestina yang mengungsi dari rumahnya menunggu makanan di Kamp Al-Shaboura, di pusat Rafa, Gaza, pada Desember 2023. (Dok.WHO)

“Saya telah memerintahkan blokade total terhadap Gaza; tidak akan ada listrik dan tidak ada makanan,” kata Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant pada tanggal 9 Oktober 2023, dua hari setelah pecahnya perang saat ini di Gaza.

Mengutip Jaringan Berita Quds (QNN), sudah 108 hari setelah perang genosida Israel yang tiada henti di Jalur Gaza, sejak 7 Oktober, hampir 800.000 penduduk di wilayah utara berada di ambang kelaparan yang sesungguhnya.

Mereka yang selamat dari pemboman Israel yang membabi buta kini menghadapi ancaman kematian bukan karena bom tetapi karena kelaparan, sebagaimana ditegaskan oleh Ismail Thawabteh, Direktur Jenderal Kantor Media Pemerintah di Gaza.

Dalam pernyataannya kepada Al Jazeera, Thawabteh mencatat bahwa lebih dari 400.000 warga Palestina hidup dalam kelaparan di provinsi utara Jalur Gaza. Dia mendesak pihak berwenang Mesir untuk mempercepat pembukaan Penyeberangan Rafah untuk memungkinkan masuknya bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan.

Dia menekankan bahwa lebih dari 9.000 warga Palestina telah meninggal karena kurangnya perawatan medis, sementara lebih dari 20 penyakit berbeda menyebar di antara para pengungsi.

Tanda-tanda kelaparan muncul ketika makanan kaleng, yang menjadi andalan warga Gaza sejak awal agresi, menghilang (habis) dari pasar. Setelah itu, tepung terigu lenyap, mendorong warga Palestina untuk menggunakan penggilingan jagung dan jelai yang diperuntukkan bagi .

“Kelaparan nyata sedang terjadi di menyusul menipisnya tepung, beras, dan makanan kaleng. Kami menganggap pendudukan Israel dan sekutunya bertanggung jawab atas kematian 400.000 warga Palestina karena kelaparan,” kata Kantor Media Pemerintah di Gaza.

Di pasar kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza utara, kelelahan dan keletihan mewarnai wajah Amal Shaaban. Dia mencari tepung terigu putih untuk memberi makan kelima anaknya tetapi tidak menemukannya.

Sebaliknya, memutuskan untuk membeli tepung gandum utuh, dengan menyatakan, “Ini terbuat dari gandum berkualitas sangat buruk yang awalnya ditujukan untuk pakan ternak.”

“Saya tidak dapat menemukan tepung terigu, jadi saya membeli 3 kilogram tepung terigu utuh, yang terbuat dari ‘gandum yang sangat buruk’ yang awalnya ditujukan untuk pakan ternak,” jelas Amal.

Ia melanjutkan dengan menyoroti kesulitan yang dihadapi banyak orang di Jalur Gaza utara, dengan mengatakan, “Kami sudah lama makan nasi, dan sekarang harga beras naik tiga kali lipat, dan kami tidak mampu lagi membelinya. Tepung jagung dan barley keduanya mahal dan rasanya tidak enak.”

Amal berjuang untuk menyediakan biaya harian sebesar 50 shekel (sekitar $14 atau Rp 220.000) untuk membeli 3 kilogram tepung, dan semakin sulit baginya untuk mengumpulkan jumlah tersebut. Dia telah menggunakan sisa dananya untuk membeli pakan ternak, dan sekarang dia tidak punya uang lagi untuk membeli makanan.

Selain itu, Abdul Rahim Al-Jarbi dengan keluarga beranggotakan tujuh orang, ia mencari makanan di pasar kamp pengungsi Jabalia setelah stok tepungnya habis. Keluarga tersebut bertahan hidup hanya dengan makan remah roti dan teh selama masa agresi.

“Kami tidak lagi memahami apa pun. Kami berkeliaran siang dan malam mencari tepung yang cukup untuk satu hari, dan kami tidak menemukannya. Kami tidak tahu harus makan apa. Satu pon (3 kilogram) tepung berharga antara 50 hingga 60 shekel (13 hingga 15 dolar), dan kami tidak tahu dari mana kami bisa mendapatkan semua uang ini untuk membeli makanan bagi anak-anak kami. Saya menghabiskan sisa uang saya untuk membeli pakan ternak, dan sekarang saya tidak punya uang untuk membeli apa pun” kata Al-Jabri.

Karena truk-truk terus memasuki Gaza selatan, tidak ada satu pun truk yang mencapai Kota Gaza dan provinsi Gaza Utara. Ibarat manusia, penjual jeruk Khaled Abdel Nabi juga menghadapi masalah yang sama. Dia mulai mengumpulkan pakan ternak untuk dimakan dan memberi makan keluarganya.

Abdel Nabi mengungkapkan kemarahannya atas tantangan yang dia hadapi dalam menafkahi keluarganya, dengan menyatakan, “Ini bukanlah sebuah kehidupan. Saya mendapat 20 shekel sehari (sekitar $7), dan jumlah ini tidak cukup untuk membeli setengah pon (1,5 kilogram) tepung. Situasinya sulit; kami ingin [menjalani] kehidupan yang bermartabat.”

Mohammed Hamada, pemilik pabrik gandum di kamp pengungsi Jabalia, membenarkan tidak adanya tepung putih di pasar, dan menunjukkan bahwa saat ini hanya tepung jagung yang tersedia.

Ia menyebutkan bahwa mereka dulunya menggiling beras, namun karena harganya yang naik, mereka berhenti dan mulai membuat tepung dari biji jagung dan jelai untuk pakan ternak.

 

Untuk menghadapi kondisi kelaparan di Jalur Gaza, Kantor Media Pemerintah di Gaza menyatakan bahwa kedua provinsi tersebut membutuhkan 1.300 truk makanan setiap hari untuk meringankan krisis kelaparan, dengan 600 truk dibutuhkan untuk provinsi Gaza Utara dan 700 truk untuk Kota Gaza.

Meskipun Israel mengklaim tidak mencegah truk bantuan di perbatasan Rafah dengan Mesir, Kairo (Mesir) membantah bertanggung jawab Israel karena tidak mengizinkan bantuan masuk. Meski terjadi kemacetan bantuan di perlintasan yang telah mencapai Jalur Gaza, namun hal itu belum juga diterima.(AT/R5/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Hasanatun Aliyah

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.