Jakarta, 17 Muharram 1438/18 Oktober 2016 (MINA) – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menaksir kerusakan dan kerugian pascabencana banjir bandang Garut mencapai Rp288 miliar. Nilai tersebut berasal dari kajian penilaian di lima sektor yaitu permukiman, infrastruktur, sosial, ekonomi, dan lintas sektor.
“Sektor permukiman dengan subsektor perumahan dan prasarana lingkungan memiliki nilai kerusakan dan kerugian sekitar Rp83 miliar,” ungkap Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho , dalam rilis tertulisnya, Selasa (18/10).
Persoalan yang sangat mendasar, kata dia, adalah pendanaan terhadap proses rehabilitasi-rekonstruksi (rehab-rekon) tersebut. Pemerintah daerah memperkirakan skema pendanaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) namun tentu jumlah yang dianggarkan mencukupi total nilai kerusakan dan kerugian.
Sutopo mengatakan dunia usaha atau pun Badan Usaha Milik Negara maupun masyarakat dapat berperan untuk mendukung proses rehab-rekon, seperti pascabencana Banjarnegara dan Purworejo. Dunia usaha dan masyarakat terbukit mampu untuk mempercepat proses rehab-rekon pascabencana.
Baca Juga: Menag Tekankan Pentingnya Diplomasi Agama dan Green Theology untuk Pelestarian Lingkungan
Di sisi lain, pemahaman warga yang terdampak atau pun mereka yang berada di kawasan rawan sangat dibutuhkan untuk mempercepat proses rehab-rekon.
Sekretaris Daerah Kabupaten Garut Iman Alirahman mengatakan, aparatnya mengalami kesulitan untuk meyakinkan warga pindah. “Sekalipun diberi rumah, mereka memaksakan untuk membangun kembali rumahnya di lokasi terdampak,” kata Iman yang menghadiri Rapat Koordinasi Rencana Aksi Rehab-Rekon Pascabencana Banjir Bandang Garut, Selasa (18/10), di Graha BNPB, Jakarta Timur.
Pemerintah Kabupaten Garut menghadapi tantangan bahwa kawasan Garut 81% merupakan kawasan hutan lindung sedangkan sisanya kawasan yang dapat dibudidayakan. Penataan kawasan menjadi problematik, khususnya terkait dengan pemukiman warga terdampak dan peghidupan. “Relokasi tidak hanya berdasarkan jumlah rumah yang akan dibangun tetapi juga penentuan kawasan yang aman,” tambah Iman.
Sementara ini, pemerintah pusat telah berkomitmen pada penyediaan dua tower rumah susun berkapasitas masing-masing 70 kepala keluarga (KK) dan 50 unit dengan skema rumah khusus.
Baca Juga: Menhan: 25 Nakes TNI akan Diberangkatkan ke Gaza, Jalankan Misi Kemanusiaan
Deputi Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB Harmensyah menekankan pada aspek build back better and safer. Konteks tersebut tidak hanya dilihat pada aspek fisik atau struktur bangunan tetapi juga aspek sosial, seperti tidak menimbulkan kecemburuan, dan prosesnya disinkronkan dengan kearifan lokal. Harmensyah menambahkan,”Perlu ada kebijakan siapa yang akan menempati rumah susun dan rumah khusus.”
Berdasarkan Surat Keputusan Bupati, data pengungsi yang terdampak banjir bandang berjumlah 787 KK (2.525 jiwa) dan data rumah rusak berjumlah 2.529 unit dengan rincian 830 rusak berat, 473 rusak sedang, dan 1.226 rusak ringan.
Rehab-rekon pascabencana banjir bandang Garut ini akan berlangsung selama tiga tahun, dari 2016 hingga 2018. Setelah tiga tahun, nantinya pembiayaan dianggarkan pada APBD Pemerintah Kabupaten Garut. Namun demikian tidak tertutup kesempatan terhadap berbagai pihak untuk bersinergi mempercepat proses rehab-rekon Garut. (T/P022/R05)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: BMKG: Waspada Gelombang Tinggi di Sejumlah Perairan Indonesia