Cerita Pilu Dari Ghouta Suriah

Oleh: Taufiqurrahman, Redaksi Arab MINA

Lebih dari 500 warga , Suriah, meregang nyawa hanya dalam delapan hari serangan keji militer rezim Suriah yang dibantu Rusia dan Iran. Diantara korban tersebut, tercatat 130 anak-anak meninggal, demikian dalam laporan Syrian Observatory for Human Rights (SOHR).

Banyaknya jumlah tewas dalam waktu singkat tersebut menjadikan operasi militer tersebut paling mematikan di Ghouta oleh rezim Suriah dan sekutunya sejak tahun 2013. Sebelumnya, Syrian Network for Human Rights (SNHR) melaporkan 729 warga Ghouta tewas usai 6 bulan (14 Oktober 2017 – 14 Februari 2018) terjebak pertempuran sengit antara rezim Suriah beserta sekutunya dengan pasukan oposisi. Dari jumlah tersebut sebanyak 185 anak dan 109 wanita diantaranya meninggal.

Hingga tulisan ini terbit jumlah tersebut sangat mungkin akan terus bertambah di tengah ekskalasi perang yang terus meningkat meski DK PBB telah mengumumkan dimulainya gencatan senjata Ahad kemarin (25/02) hingga 30 hari. Tampaknya sidang DK PBB hanya ajang pamer gagasan dan omong kosong soal kepedulian bagi pihak-pihak yang terlibat dalam perang Suriah. Mereka jauh lebih peduli pada syahwat kuasa dan nafsu berebut pengaruh di Suriah bahkan jika harus mengorbakan nyawa bocah-bocah dan wanita tak berdosa.

Ghouta telah menjadi bagian cerita pilu lain warga Suriah menyusul wilayah-wilayah lainnya yang telah luluh lantak akibat perang. Hasilnya lebih dari 400ribu nyawa melayang sia-sia dan hampir separuhnya anak-anak juga wanita sejak wilayah timur Damaskus tersebut mulai dilanda perang saudara tahun 2013. Kematian, kelaparan, blokade, kerusakan dan kesedihan menyelimuti hari-hari langit Ghouta.

Sepertinya warga Ghouta memang sengaja tak diberi kesempatan menghirup nafas meski sejenak. Tidak ada ruang bagi siapapun yang tinggal di sana untuk hidup. Bangunan rumah warga, gedung-gedung publik, fasilitas umum, bahkan sekolah dan rumah sakit menjadi sasaran perang. Tidak cukup itu, Ghouta pun harus diblokade. Tak ada akses lari dari Ghouta. Bantuan kemanusiaan pun terhambat.

Mungkin dalam otak para penggila perang tersebut mereka yang terkapar di rumah sakit bisa jadi bergerak melawan dengan senjata seadanya. Atau bisa jadi rumah sakit di sana menyimpan tank atau senjata canggih lainnya yang mampu menjatuhkan pesawat tempur mereka. Maka sangat layak dibumihanguskan.

Perang memang benar-benar telah membuat mereka yang terlibat menjadi gila. Mereka tak mampu lagi membedakan antara bocah, wanita dan musuh. Di mata mereka semua sama. Bahkan jika perlu mereka gunakan senjata kimia untuk membantai kaum lemah tersebut.

Pembantaian ini seperti sedang dipertontonkan secara vulgar di hadapan dunia khususnya negara-negara yang punya andil mengatasi konlik Suriah. Siapapun bisa dengan mudah menyaksikan dan membaca peristiwa di Ghouta baik lewat media massa ataupun media sosial. Namun sayang kita hanya sanggup menyaksikan atau sedikit lebih bagus, turut sedih dan mengecam keras. Kesepakatan gencatan senjata pun tak lebih dari hanya sekedar tulisan di atas kertas. Belum lagi deretan catatan pelanggaran atas hukum internasional.

Ghouta timur dalam kesepakatan internasional yang berlangsung di Mesir atas inisiasi Rusia dan Mesir Juli 2017 merupakan wilayah non ekskalasi. Artinya pihak manapun yang terlibat dalam perang di suatu negara tidak diperkenankan menjadikan wilayah tersebut sebagai sasaran perang. Ini berarti Rusia yang memprakarsai kesepakatan penentuan wilayah non ekskalasi di Suriah bersama-sama dengan Turki dan Iran dalam Perjanjian Astana tidak menghormati kesepakatan tersebut. Lebih tepatnya kesepakatan tersebut dibuat memang untuk dilanggar.

Bahkan Menlu Rusia, Sergey Lavrov terang mengancam warga Ghouta akan menjadikan wilayah tersebut menjadi Aleppo ke dua dengan dalih mengusir milisi Hay’at Tahrir al-Sham yang dianggapnya mengancam keberadaan milisi-milisi pendukung rezim. Harapan Rusia tampak kian terkabul saat berhasil merusak lebih dari separuh Ghouta.

Rusia dan Iran terus memilih opsi militer demi memperkuat pengaruhnya di Suriah meski terlihat sebagai pihak yang mendorong solusi politik. Mereka seperti tengah menggunakan opsi militer untuk menguji respon dunia internasional atas pilihan tersebut. Tatkala dunia hanya mampu mengecam, mereka tak akan berhenti melancarkan operasi militer di Suriah.

Mereka sudah benar-benar tak peduli dengan jumlah korban sipil, anak-anak dan wanita. Dan lagi-lagi kita hanya mampu berharap dan berdoa, semoga perang Suriah segera berakhir. (RA02/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)