Banda Aceh, MINA – Berbekal pengalaman Tsunami Aceh 2004 silam, Rahmat Saiful Bahri, sempat berfikir untuk naik ke atap Hotel Swiss Bell, guna berlindung dari tsunami Palu, 28 September lalu.
Rahmat Saiful Bahri, adalah Kepala Sekretariat Majelis Adat Aceh, ia menuju Palu pada 27 September untuk mengikuti acara workshop yang diadakan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
“Saya tiba di Palu itu sekitar jam 10 malam,” kata Rahmat, Rabu (3/10).
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Jumat sekitar pukul 14.00 WITA, Rahmat menuju Swiss Bell hotel, untuk melakukan registrasi peserta dan mendapatkan kamar di lantai tiga, tepat pukul 15.00 WITA, dia masuk ke kamar hotel untuk mandi, lantaran acara akan dilaksanakan pukul 18.00 WITA, di pantai, tidak jauh dari lokasi hotel tempat ia menginap.
“Pada saat saya sedang mandi, terjadi gempa yang sangat besar 7,4 SR dilanjutkan tsunami,” katanya.
Mendengar informasi tsunami dari pihak hotel, Rahmat langsung menuju lantai lima dan berfikir akan naik ke atap hotel. Setengah jam berselang, pihak hotel kembali menginformasikan tsunami telah surut, serta diminta untuk turun dan keluar dari hotel.
“Di situ saya lihat ada bekas air setinggi dua meter, dan lumpur di depan hotel, saya juga melihat bagaimana kaca pintu hotel itu hancur, saya berjalan di tengan pecahan kaca,” ujar Rahmat.
Malam gelap gulita, Rahmat dan beberapa rombongan lain, naik ke lokasi lebih tinggi. Bukit. Mereka akhirnya bertahan di sana selama dua malam satu hari. Beberapa warga yang tinggal di bukit, memberinya makanan dan minuman.
“Waktu itu kami berjalan ke bukit dalam suasana gelap. Listrik mati,” kata Rahmat.
Dua hari kemudian, Rahmat kembali ke hotel untuk mengambil barang-barangnya yang tak sempat ia selamatkan saat evakuasi. Setelah itu, Rahmat menuju bandara Mutiara SIS Al Jufri Palu, Sulawesi Tengah. Dia bertahan di sana beberapa malam sambil menunggu pesawat. Pihak bandara sempat menawarinya agar dapat pulang dengan kapal laut.
“Saya tidak mau, waktu saya ke Palu tanggal 27 September, kebetulan saya sudah membeli tiket pulang tanggal 2 Oktober. Ketika di bandara saya perlihatkan tiket saya dan akhirnya dapat pesawat,” ungkap Rahmat.
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
Menurut Rahmat, pemandangan di bandara Palu saat ini masih dipenuhi oleh orang-orang yang ingin meninggalkan lokasi gempa. Mereka ketakutan lantaran saban hari, Palu masih kerap dilanda gempa susulan.
Minimnya makanan serta terputusnya sebahagian akses, membuat warga Palu tidak ingin tetap tinggal di kota itu, melainkan pergi dan mencari lokasi aman untuk berteduh sementara.
“Masyarakat khawatir kelaparan, jadi berbondong-bondong orang keluar dari Palu,” katanya.
Kondisi Palu memang sangat mencekam saat ini, pengamanan juga sangat minim, serta peranan pemerintah kabupaten juga tidak ada sama sekali, banyak warga yang tidak terjamah oleh pemerintah setelah kejadian tsuanmi.
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
“Saya melihat masyarakat, anak-anak, ibu hamil dan orang terluka di Palu datang dalam keadaan mengenaskan, karena tidak ada perhatian apapun. Berbeda sewaktu tsunami Aceh, penanganannya sangat cepat, baik oleh SAR, BPBD, unsur-unsur pemerintah lainnya dan lembaga-lembaga kemanusiaan non pemerintah .” (L/AP/RS1)
Mi’raj News Agency (MINA)