Dapatkah Irak Yang Terbagi Rukun Kembali?

Doha, 4 Rabiul Akhir 1438 H/3 Desember 2017 (MINA) – Para pemimpin politik Sunni dan Shiah di menurut koresponden Al Jazeera yang berkedudukan di Doha, Omar Al Saleh, sedang berada di tengah perundingan-perundingan dalam upaya mencapai dasar-dasar bersama bagi suatu rancangan paska-ISIL (Negara Islam Irak dan Levant).

Wakil-wakil dari blok Sunni terbesar di parlemen Irak, Aliansi Kekuatan Nasional, baru-baru ini menemui Amar al-Hakim, pemimpin partai Aliansi Nasional Irak yang sedang berkuasa, yang membawahi kelompok-kelompok Shiah.

Pertemuan itu berlangsung setelah Aliansi Kekuatan Nasional menolak suatu rancangan rekonsiliasi yang disiapkan oleh Hakim dan malah mengajukan visinya sendiri untuk memerintah Irak paska-ISIL, dengan tujuan menghentikan konflik sektarian dan politik yang berkepanjangan yang melanda negara itu sejak invasi yang dipimpin Amerika Serikat pada 2003.

Rincian rancangan itu masih sedang disusun, dan belum diumumkan. Karena pertempuran di Mosul berlarut-larut, para pemimpin Sunni dan Shiah tidak memiliki batas waktu untuk mencapai suatu kesepakatan.

Menurut Mohammed al-Karbouli, anggota Aliansi Kekuatan Nasional yang terlibat dalam diskusi-diskusi tersebut, kelompoknya sepakat dengan “tulis dan usulkan sebuah rancangan yang berisi visi tentang bagaimana memerintah negara Irak, terutama di daerah-daerah genting dengan UU   Bathifikasi (yang melarang anggota partai Sadam Hussein yang sedang berkuasa duduk di pemerintahan), UU Amnesti dan wilayah-wilayah federal.

Karbouli merujuk pada permintaan Sunni yang sudah lama untuk melepaskan orang-orang Sunni yang ditahan berdasarkan UU “anti terorisme” negara itu, karena mereka yakin sasaran mereka adalah ketidak-adilan dan perjanjian pembagian kekuasaan yang tidak wajar.

“Kami akan menyerahkan naskah itu kepada perwakilan utusan PBB ke Irak pada pekan kedua Januari ini,” kata Karbouli kepada  Al Jazeera. “Ada beberapa inisiatif di waktu lampau. Hal penting adalah implementasinya.”

Dia menambahkan, “saya rasa saya akan mengandalkan pada (sebuah rencana) yang sedang diperbaiki dengan 25 sampai 30 persen. Itu semua tergantung pada disepakatinya konsesi-konsesi yang dibuat oleh Aliansi Nasional yang sedang berkuasa, oleh pihak-pihak lainnya.”

Upaya-upaya rekonsiliasi mencapai puncaknya bulan lalu ketika parlemen Irak menyetujui sebuah UU untuk mengesahkan Kekuatan Mobilisasi Populer (PMF), sebuah kelompok milisi Shiah yang sangat kuat.

Para politisi Sunni Irak yang diperlakukan kejam dalam aksi PMF, menuduh milisi terlibat dalam serangan-serangan sektarian terhadap orang-orang Sunni dalam kampanye mereka melawan Negara Islam Irak dan Levant (ISIL, juga dikenal sebagai ISIS).

Hakim tetap bertahan bahwa UU yang baru tidak akan menghalangi upaya-upaya rekonsiliasi.   “Aksi PMF memiliki aspek kemanusiaan untuk menjamin hak-hak para syuhada,” katanya di depan para aktivis muda Irak , awal bulan Desember merujuk kompensasi milik keluarga-keluarga atau para pejuang yang telah tewas.

“Penyelesaian Nasional merupakan suatu strategi penting untuk mempertahankan kesatuan Irak,  dan itu merupakan proyek menyeluruh yang menentramkan bagi semua orang Irak….. Rancangan tersebut didukung oleh PBB, yang akan mempromosikan proyek itu di dalam dan di luar Irak,” katanya.

Kelompok bersenjata disertakan       

Meskipun rincian usulan Shiah belum secara resmi diumumkan ke publik, namun bocoran yang beredar luas di media Irak mengusulkan agar di dalamnya tercakup ajakan kepada kelompok-kelompok bersenjata untuk ambil bagian dan negosiasi, guna menunjukkan bahwa mereka secara formal diakui dalam proses politik dan konstitusi Irak.

Baik ISIL maupun Partai Baath, yang memerintah Irak pada era Saddam Husein, tidak akan dilibatkan dalam proses tersebut.

Usulan itu memasukkan ketentuan-ketentuan untuk mengakhiri sistem kuota sektarian Irak, menerapkan reformasi pembagian kekuatan politik, mengecam kekerasan dan “terorisme”, membangun kembali lembaga-lembaga negara dan memberantas korupsi, menjamin keadilan pemerataan kesejahteraan dan menempatkan senjata di bawah kekuasaan pemerintah.

Namun, beberapa pengamat menilai proposal tersebut sulit diterapkan dan akan menghadapi banyak tantangan.

“Terlalu banyak ‘tuntutan’ dalam usulan tersebut. Mereka yang menyusun rancangan itu memiliki mental seseorang yang memenangkan dan menguasai kendali kekuasaan, tanpa menghormati pihak-pihak lain,” kata Mouayad al-Windawi, pengamat Iraqi Centre for Strategic Studies yang berkedudukan di Amman.

“Aliansi Nasional menghendaki kelompok-kelompok Sunni paling lemah sekalipun duduk dan bicara, sementara pihak-pihak lain tidak disertakan. Di manakah kelompok-kelompok yang menentang proses politik, grup-grup bersenjata atau kelompok liberal atau kaum Baathists?” ujarnya.

Dia menambahkan, “proses politik memerlukan banyak pertimbangan. Harus ada konsesi-konsesi yang dibuat oleh pihak-pihak terkait untuk membangun sebuah negara dan kesatuan masyarakat. Tetapi orang-orang seperti itu tidak ada di Irak.”

Bocoran-bocoran proposal menyatakan, jika semua pihak menyetujui rancangan tersebut, maka Misi Bantuan PBB di Irak (UNAMI) akan menyempurnakan sebuah rancangan akhir bagi penyelesaian nasional. Ini memerlukan restu dari Ayatollah Ali al-Sistani, otoritas keagamaan tertinggi Shiah di Irak, juga persetujuan dari parlemen dan pemerintah Irak.

“Dalam tahap ini , tidak ada draft atau usulan PBB.  Rancangan itu masih merupakan sebuah inisiatif nasional Irak,” kata juru bicara UNAMI, Samir Ghattas kepada Al Jazeera.

“Peran PBB adalah fasilitator dalam kaitan dengan mandat UNAMI untuk memberikan saran dan bantuan kepada pemerintah……tentang sejumlah masalah termasuk mempercepat dialog politik dan rekonsiliasi nasional.”

Walaupun ISIL telah kehilangan banyak daerah di wilayah Irak, kelompok itu belum bisa diabaikan dan masih tetap membahayakan bahkan kalaupun mereka dipaksa keluar dari Mosul yang didudukinya. Pemerintah PM Haider al-Abadi dan aliansi Shiah yang sedang berkuasa merasa perlu untuk menyebarkan kemenangan-kemenangan militer baru-baru ini melawan ISIL ke seluruh negeri.

“Irak menjadi sebuah proyek pembunuh bagi seluruh orang Irak, dan setelah memproklamirkan kemenangan, kami harus memiliki sebuah peta baru yang berbeda dari masa lampau,” kata Habib al-Tarfi, anggota Aliansi Nasional.

“Kami ingin suatu penyelesaian dengan para nasionalis Irak, bukan dengan mereka yang mengaku nasionalis di pagi hari dan berubah menjadi teroris di malam hari. Penyelesaian ini adalah penyelamat kami….kami tidak punya pilihan kecuiali rekonsiliasi,” ujarnya. (RS1/P1)

Sumber: Al Jazeera

Miraj Islamic News Agency/MINA

 

 

Wartawan: illa

Editor: illa

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.