Pukul 5 pagi pada 1 Oktober 2017, untuk pertama kali dalam hidupnya Mohamed menginjakkan kaki di perahu. Pengalaman pertama itu dijalani selama lima jam dalam sebuah perahu kecil dari pantai Turki ke pulau Lesbos, Yunani.
Para penyelundup manusia mengumpulkan ia dengan pengungsi lainnya dalam perahu yang berlayar dalam kegelapan malam yang dingin. Mereka harus bersembunyi di tengah malam sambil menunggu lampu dari kapal penjaga pantai Turki yang patroli pergi menghilang.
“Itu adalah salah satu hari tersulit dalam hidupku,” kata pria berusia 22 tahun itu. “Saya menangis begitu banyak.”
Mohamed beruntung. Perjalanan itu lancar dan dia tiba dengan selamat di pantai Lesbos.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Pada tengah hari, dia menunggu untuk diproses di Moria, kamp pengungsi utama di Lesbos.
“Kami harus menunggu sembilan jam dalam udara dingin. Saya belum tidur berhari-hari. Pakaian saya masih basah karena perjalanan kapal. Saya menggigil,” katanya. “Mereka tidak memberi kami apa-apa. Hanya sebotol kecil air dan beberapa zaitun. Saya berpikir, ‘Mengapa saya datang ke tempat yang mengerikan ini?’.”
Lahir dan dibesarkan di Mosul Irak, Mohamed yang menolak nama belakangnya disebutkan adalah seorang bocah delapan tahun ketika invasi Amerika Serikat (AS) dimulai di negerinya pada 2003.
Pada tahun 2014, ia adalah seorang remaja ketika kelompok Negara Islam Irak dan Levant (ISIL atau ISIS) merampas kampung halamannya di Mosul.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Dan dia berumur 20 tahun ketika tentara Irak, dengan bantuan koalisi pimpinan AS, dengan keras merebut Mosul dari ISIS.
Dia akhirnya meninggalkan satu-satunya rumah yang pernah dikenalnya dan pergi ke Eropa.
Penderitaan yang disebabkan oleh kekerasan yang dia saksikan dan alami, baik di Irak maupun di Lesbos, sekarang membentuk ambisinya dan bermimpi untuk membantu orang lain.
“Saya ingin menjadi sukarelawan seumur hidupku. Saya ingin pergi ke mana pun yang ada perang, sehingga saya bisa membantu orang.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Mohamed menghabiskan hari-harinya sebagai penerjemah bahasa Arab di klinik medis yang melayani pengungsi, bekerja secara gratis tanpa diupah. Di malam hari, dia bergegas ke sif di fasilitas lain, tempat dia menerjemahkan sampai jam 2 pagi.
Pasukan AS Lenyapkan Keluarga Mohamed
Ketika dia bercerita tentang peristiwa tanggal 26 Desember 2016, ia menunduk melihat ke bawah, suaranya bergetar.
“Saya kehilangan segalanya pada hari itu,” katanya. “Seluruh hidupku.”
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Pada tahun 2014, Mohamed menyaksikan para pejuang ISIS menguasai Mosul. Pemimpin Abu Bakar Al-Baghdadi memproklamasikan pembentukan khalifah Islam. Pendudukan ISIS sangat brutal.
Pada satu kesempatan, pejuang ISIS menahannya di penangkaran dan menyiksanya selama 10 hari.
Pada bulan Oktober 2016, tentara Irak melakukan serangan yang didukung oleh serangan udara koalisi pimpinan AS untuk merebut kembali kota.
Pertempuran di Mosul digambarkan oleh Komandan Koalisi Letnan Jenderal Stephen Townsend sebagai “beberapa pertempuran kota paling intens sejak Perang Dunia II.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Associated Press menyatakan bahwa antara 9.000 hingga 11.000 warga sipil tewas, dengan setidaknya 3.200 nyawa hilang akibat pengeboman udara koalisi dan tembakan artileri atau mortir.
Mohamed tidak terkejut mendengar statistik itu.
“Mereka (pasukan AS) membuat banyak kesalahan. Banyak orang tewas karena kesalahan-kesalahan ini. Mereka akan mencoba untuk mengebom tempat persembunyian ISIS, tetapi mereka salah dan mengenai sebuah rumah di dekatnya. Kadang-kadang, sembilan atau 10 orang yang tidak bersalah mati.”
Pada 26 Desember, hari Senin, pertempuran masih berkecamuk.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
“Saya tinggal dengan kakekku yang sedang sakit waktu itu. Rumahnya beberapa meter dari rumah ayahku,” katanya.
Di pagi hari, ibu Mohamed mengatakan kepadanya bahwa ISIS telah memasang sniper di atap rumah ayahnya. Penembak jitu menginstruksikan keluarga untuk tidak pergi.
“(Penembak jitu) tahu bahwa AS akan menargetkan rumah jika mereka pikir tidak ada warga sipil di dalam,” kata Mohamed. “Tiga puluh menit kemudian, saya mendengar ledakan besar. Saya tahu itu dekat.”
Selama tiga hari, Mohamed terlalu takut untuk memeriksa keluarganya.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
“ISIS masih menembaki tetangga kami. Saya sangat takut. Saya tidak bisa meninggalkan rumah kakekku.”
Setelah tentara Irak mengumumkan bahwa ISIS telah meninggalkan daerah itu, aman bagi Mohamed untuk pergi ke luar.
“Ketika saya pergi ke rumah ayahku, saya melihat bahwa semuanya hancur total. Bangunan itu tidak ada apa-apa. Ketika saya melihat itu, hidupku berhenti. Hidupku berhenti sepenuhnya. Saya kehilangan seluruh keluargaku. Saya kehilangan segalanya.”
Semua keluarga Mohamed langsung tewas dalam pemboman itu: ayahnya (65), ibunya (53), tiga saudara laki-lakinya dan tiga saudara perempuannya.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Dia juga kehilangan dua saudara iparnya dan dua keponakan yang berusia satu tahun dan enam bulan.
Seorang juru bicara Angkatan Darat AS mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dia tidak mengetahui tentang pengeboman rumah Mohamed.
Dia hanya menyatakan simpati kepada korban perang yang tidak bersalah di Mosul dan menyalahkan kematian korban ke pundak ISIS.
Kondisi Moria Sangat Buruk
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Pada tahun 2015, pada puncak krisis pengungsi, Lesbos adalah pintu gerbang utama ke Eropa bagi hampir satu juta pengungsi dan migran.
Kesepakatan Uni Eropa 2016 dengan Turki mampu mengurangi jumlah arus pengungsi ke Yunani, tetapi aliran mereka yang mencari perlindungan dan suaka tetap stabil.
Hari ini ada sekitar 10.000 pengungsi di pulau Lesbos, 8.000 di antaranya telah menjejali Moria, sebuah fasilitas yang awalnya dibangun untuk menampung 3.000 orang.
“Situasi di sini, di Moria, sangat buruk,” kata Mohamed. “Tidak ada air panas. Saya tinggal di tenda bersama 13 orang lain. Makanannya sangat buruk di sini. Orang-orang sering sakit karenanya. Dan Anda harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkannya. Hanya ada satu toilet untuk setiap 70 orang. Dan ada banyak perkelahian.”
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Banyak pengamat luar setuju dengan penilaian Mohamed.
Amnesty International menyebut kamp itu sebagai “luka terbuka” bagi Eropa dan hak asasi manusia. Luca Fontana, manajer lapangan untuk Doctors Without Borders (MSF), baru-baru ini memberi tahu Al Jazeera bahwa Moria lebih buruk daripada kamp mana pun yang pernah ia kunjungi di Republik Afrika Tengah atau Republik Demokratik Kongo.
“Saya belum pernah melihat tingkat penderitaan yang kami saksikan di sini setiap hari,” katanya. “Moria adalah tempat terburuk yang pernah saya lihat.”
Yonda Poslavsky, seorang psikolog Belanda yang telah bekerja di Moria pada beberapa kesempatan, mengatakan, banyak orang memiliki masalah psikologis yang parah, terutama gangguan stres pascatrauma (PTSD).
“Sebagian besar orang yang mengalami PTSD menderita dari pengalaman berulang, serangan panik dan mimpi buruk,” katanya kepada Al Jazeera. “Karena Moria tidak aman dan tidak ada bantuan psikologis, tidak ada ruang untuk menangani trauma yang pernah mereka alami sebelumnya. Ada banyak traumatisasi ulang.”
Pada bulan Juli, Mohamed mendapat respon positif terhadap permohonan suakanya. Dia akan menerima izin tiga tahun untuk tetap di Yunani. Dia juga baru-baru ini diterima ke program sarjana untuk belajar psikologi di sebuah universitas di Athena. Ia akan memulai di akhir Oktober. (AT/RI-1/P2)
Sumber: tulisan Richard Hardigan di Al Jazeera.
Mi’raj News Agency (MINA)