Derita Ibu Hamil dan Bayi Suriah di Aleppo yang Terkepung

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Pada tanggal 8 Juni, di hari kedua bulan suci Ramadhan, Fatma mengambil bayinya yang baru lahir di Rumah Sakit Anak . Sehari setelah ia melahirkan, bayi laki-laki itu mulai mengalami masalah pernapasan.

“Dia membiru,” kata ibu 29 tahun dari lima anak itu.

Dokter menempatkan bayi di salah satu dari 20 inkubator yang tersisa di Aleppo dan Fatma pergi meninggalkan rumah sakit.

Namun, beberapa saat kemudian, saat Fatma berada di dalam kendaraannya yang diparkir, ia menyaksikan rudal menghantam rumah sakit.

Serangan udara pemerintah Suriah di Aleppo yang dikuasai oleh oposisi jadi ancaman mematikan bagi dan bayi yang baru lahir di kota yang terkepung itu.

Ada tujuh perawat dan dua dokter di rumah sakit anak-anak itu pada Rabu pukul 10.05, pada saat serangan udara terjadi.

Setelah serangan itu, di tengah awan debu dan pecahan kaca, para dokter bergegas memindahkan sembilan bayi yang baru lahir ke ruang bawah tanah dan mengevakuasi sekitar 30 anak-anak dan bayi ke bagian rumah sakit yang selamat.

Kesembilan bayi itu selamat dan tinggal di inkubator bawah tanah selama dua hari. Sementara rumah sakit anak-anak itu ditutup sebagian. Relawan bergabung dengan staf rumah sakit untuk membantu melakukan perbaikan. Setelah dua hari, rumah sakit dibuka kembali dan kembali pada jadwal kerja reguler menerima antara 15 hingga 20 bayi yang baru lahir setiap hari dan untuk check-up anak.

Serangan udara itu telah menghancurkan infrastruktur perawatan kebidanan yang pernah tersedia untuk wanita hamil di Suriah.

Serangan udara pemerintah Suriah telah merusak fasilitas medis kebidanan di sebuah rumah sakit di Aleppo. (Foto: Ismael Abdulrahman/IDA/Al Jazeera)
Serangan udara pemerintah Suriah telah merusak fasilitas medis kebidanan di sebuah rumah sakit di Aleppo. (Foto: Ismael Abdulrahman/IDA/Al Jazeera)

Rumah Sakit Al-Zahra, klinik kebidanan yang tersisa di Aleppo dan Rumah Sakit Anak, keduanya didukung oleh Asosiasi Dokter Independen, sebuah LSM medis Suriah yang berbasis di Gaziantep, Turki. Mereka mengoperasikan fasilitas medis di provinsi Aleppo.

Ada dua rumah sakit umum yang tersisa, yaitu Rumah Sakit Omar Bin Abdulaziz dan Rumah Sakit Al-Quds.

Rumah Sakit Omar Bin Abdulaziz sebelumnya memiliki departemen obstetri kecil tapi telah diserang di bulan Juni. Sementara Rumah Sakit Al-Quds juga telah menutup departemen itu setelah serangan udara pada 28 April yang menewaskan sekitar 30 orang.

Hari ini, Rumah Sakit Al-Zahra mengkhususkan diri dalam perawatan kebidanan, membantu dalam kelahiran di Aleppo timur. Ini adalah yang terakhir dari jenisnya. Klinik kecilnya hanya memiliki satu ruang operasi, sembilan tempat tidur medis, dan satu ruang bersalin dengan tiga tempat tidur. Sekitar 100 wanita hamil mengunjungi kliniknya setiap hari dan rata-rata ada 30 kelahiran terjadi.

“Rumah sakit ini sangat kecil dan kami harus mengurangi waktu masa pemulihan,” jelas Dr Malek, salah satu dari tiga dokter ahli kandungan terakhir di Aleppo timur, dalam sebuah wawancara telepon dengan Al Jazeera. “Biasanya, perempuan yang menjalani caesar membutuhkan antara 12 hingga 24 jam waktu pemulihan, tetapi di sini kita melepaskan mereka dalam tiga jam.”

Kurangnya fasilitas kesehatan dan tenaga medis di Aleppo timur telah menciptakan kekosongan dalam perawatan prahamil dan pascahamil. Pasokan dokter yang sedikit tidak memungkinkan untuk tiga ginekolog (dokter kandungan) yang bekerja di Al-Zahra untuk membuat janji dengan pasien.

“Sebelum perang, ibu hamil bisa bertemu dengan dokter mereka sembilan sampai 10 kali,” kata Dr Malek.

Semua dokter kandungan bekerja 24 jam selama 10 hari berturut-turut dan bergilir, tapi itu tidak cukup. Selanjutnya, pasien masih harus menunggu rata-rata sekitar empat jam sebelum mereka bertemu dokter.

“Ini kerja melelahkan dan ada kebutuhan serius bagi rumah sakit lain di Aleppo untuk wanita hamil dan persalinan,” kata Dr Malek.

Sementara itu, kebanyakan wanita mengunjungi klinik hanya untuk melahirkan anak-anak mereka.

Akses kepada tujuh rumah sakit yang beroperasi di Aleppo Timur juga merupakan hambatan besar ketika wanita mencari perawatan kebidanan. Kunjungan ke Rumah Sakit Al-Zahra menjadi bukti bahwa usaha untuk ke sana bisa mengancam jiwa.

Transportasi umum dan taksi berhenti beroperasi di malam hari karena takut dengan serangan, sementara wanita hamil membutuhkan perawatan mendesak dan harus menunggu sampai keesokan harinya untuk mencapai klinik.

“Kadang-kadang perempuan melahirkan di pintu rumah sakit,” kata Dr Malek.

Menurut Dr Malek, kurangnya fasilitas medis, dokter dan akses aman ke rumah sakit telah menyebabkan meningkatnya klinik gelap yang dijalankan oleh “bidan berpengalaman dan bersertifikat”.

“Ini sangat berbahaya dan memiliki efek negatif pada bayi yang baru lahir,” jelas Dr Hatem, Direktur Rumah Sakit Anak. “Kadang-kadang mereka membawa bayi ke rumah sakit kami setelah dua sampai tiga jam sejak lahir dan kami mendapati mereka dalam kesehatan yang mengerikan. Banyak dari mereka yang meninggal sebelum mereka mencapai rumah sakit kami.”

Lima tahun perang saudara di Suriah telah menewaskan lebih dari 400.000 orang, menurut laporan Pusat Penelitian Kebijakan Suriah dan mendorong ribuan warga menuju ke ambang kelaparan.

Stres, kemiskinan, kesehatan yang buruk dan kekurangan gizi pada ibu hamil merupakan penyebab utama terjadinya kelahiran prematur dan keguguran. Pada bulan tertentu, Rumah Sakit Al-Zahra pernah membantu kelahiran 20 bayi prematur.

Dr Malek juga pernah menangani satu atau dua kasus anemia pada ibu hamil, tergantung pada tingkat keparahan kasus, mungkin memerlukan transfusi darah. Malnutrisi pada ibu hamil lebih sulit untuk diobati.

“Mereka membutuhkan sebuah program diet dan ini tergantung pada keadaan keuangan keluarga,” kata Dr Malek. “Mereka tidak didukung oleh LSM.”

Sementara itu, harga susu bayi di Aleppo timur sekitar 3.200 pound Suriah (sekitar Rp85.700).

“Ibu lebih memilih untuk menyusui, tapi banyak dari mereka tidak dapat mengakses bayi mereka,” jelas Dr Mustafa, seorang dokter anak yang bekerja di Rumah Sakit Anak, 300 meter dari Al-Zahra. “Mereka hanya mengirim suami mereka untuk memeriksa anak-anak mereka.”

Memang, bagi wanita yang memiliki anak-anak di rumah, mengunjungi anak-anak mereka di rumah sakit tidak selalu jadi pilihan yang masuk akal.

Ruaa, ibu satu dari sembilan bayi di dalam rumah sakit pada hari serangan udara terjadi, memilih untuk pulang ke rumah demi ketiga anaknya, setelah menyaksikan serangan terhadap rumah sakit anak itu. Selama satu jam, Ruaa tetap tidak mendapat kabar pasti tentang nasib bayinya.

Di Aleppo timur, satu kilo popok seharga 1.200 pound Suriah (Rp32.500), harga yang lumayan mahal bagi sebagian besar keluarga di Suriah.

Menurut Dr Malek, sebagian wanita meminta untuk disterilisasi setelah mereka melahirkan. Yang lain pun meminta kontrasepsi untuk membendung peluang kehamilan.

“Ada beberapa kasus perempuan yang meminta aborsi,” kata Dr Malek. Ia mengatakan, tapi rumah sakit tidak melakukan aborsi kecuali ada alasan medis darurat.

Dalam kasus ini, lanjut Dr Malek, wanita memilih metode berbahaya dan alternatif dengan bantuan bidan gelap.

Kehamilan di Aleppo terkendala dengan kerawanan dan ketidakpastian. Perempuan tidak memiliki akses yang memadai untuk mendapat perawatan pramelahirkan dan pascamelahirkan, bahkan ketika perawatan medis langka tersedia.

“Ini adalah tempat kita hidup,” kata salah satu dokter yang bekerja di Al-Zahra. “Kami tidak memiliki pilihan kecuali terus berjuang.” (P001/P4)

*) Semua nama-nama dalam artikel ini telah diubah karena permintaan subyek, kecuali Dr. Malek, yang setuju untuk menggunakan namanya dalam artikel ini. Sumber: Tulisan Lorena Rios di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.