Derita Migran Afrika, Mimpi ke Eropa Berakhir di Libya

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj News Agency (MINA)

Benua Biru adalah sebutan lain dari Benua Eropa. Negara-negara di benua ini telah menjadi “” bagi orang-orang Afrika dan Timur Tengah yang tanah airnya dilanda kemiskinan atau konflik yang tak tahu kapan selesainya.

Orang-orang asal negara Afrika kebanyakan menuju ke “Negeri Impian” karena faktor ekonomi, meski ada pula yang negaranya juga berkonflik. Mereka lebih sering disebut sebagai migran.

Sementara orang-orang asal negara Timur Tengah seperti Suriah atau Irak, pergi menuju ke Eropa karena negara mereka sedang berperang. Mereka lebih umum disebut sebagai pengungsi.

Migran asal Afrika dan pengungsi asal Timur Tengah harus menyeberangi Laut Mediterania untuk sampai ke daratan Eropa, kecuali mereka datang dengan pesawat terbang.

Migran asal Afrika lebih banyak menempuh rute Mediterania tengah yang menghubungkan ke Italia. Sementara para pengungsi Timur Tengah atau asal Afghanistan pada umumnya menempuh rute Mediterania timur yang menghubungkan Turki ke Yunani.

Rute alternatif dengan jarak yang lebih jauh adalah Mediterania barat yang menghubungkan Afrika Utara ke Spanyol.

Bahaya besar di Libya

Dalam beberapa tahun terakhir, gelombang migran dan pengungsi terus mengalir menyerbu negara-negara Eropa.

Demi mencapai “Negeri Impian”, segalanya dikorbankan, dari harta yang dikumpulkan hingga nyawa dipertaruhkan. Namun, cerita-cerita mengerikan tentang nasib para musafir tersebut tidak menghentikan arus manusia menuju Eropa.

Para migran yang miskin harus mengumpulkan uang terlebih dahulu sebagai bekal biaya di dalam perjalanannya. Mereka harus membayar orang-orang yang bisa membawa mereka melintasi perbatasan, membayar transportasi, menyewa perahu untuk menyeberangi Laut Mediterania dan sebagainya.

Contoh migran asal Somalia, Ethiopia atau Eritrea, mereka harus melalui beberapa kali perbatasan negara untuk sampai ke Libya kemudian menyeberangi lautan. Beberapa kali pula mereka harus membayar uang menyogok orang-orang di perbatasan agar menyelundupkan mereka dengan aman.

Namun, tidak hanya perjalanan yang jauh, rumit dan melelahkan, tapi perjalanan itu pun mempertaruhkan keselamatan.

Migran asal Afrika di Italia. (Foto: AP/Lapresse)

Tantangan terberat harus mereka hadapi ketika memasuki Libya, sebuah negara Afirka Utara yang mengalami kekacauan konflik sejak penguasanya, Presiden Moammar Gadhafi, digulingkan dan dibunuh tahun 2011.

Pada Jumat, 25 Mei 2018, sebuah peristiwa mengerikan terjadi di Bani Walid, Libya barat laut.

Aktivis medis kemanusiaan Doctors Without Borders (MSF) di wilayah itu mengungkapkan peristiwa kaburnya lebih dari 100 migran dan pengungsi yang ditawan oleh pedagang manusia.

Mereka yang berusaha kabur dari penjara rahasia, kemudian ditembaki hingga setidaknya 15 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka.

Organisasi medis itu mengatakan, para korban sebagian besar remaja dari Eritrea, Ethiopia dan Somalia yang mencoba mencari suaka di Eropa.

Beberapa korban yang mengalami trauma mengatakan bahwa mereka telah ditahan selama tiga tahun oleh para pedagang manusia di negara itu.

Banyaknya bekas luka yang terlihat, bekas disetrum listrik, dan luka lama yang terinfeksi, menjadi gambaran betapa beratnya siksaan yang mereka derita selama ditawan.

Perbudakan hingga dikubur tanpa nisan

Akhir November 2017 lalu, seorang pedagang manusia di Libya mengungkapkan kepada Al Jazeera, ratusan pengungsi Afrika dibeli dan dijual di “pasar budak” di seluruh Libya setiap pekannya.

Presiden Komisi Afrika Chaman Mahamat Moussa Faki pada akhir KTT Uni Afrika-Uni Eropa di Abidjan, Pantai Gading, pada bulan November 2017 menyatakan, ada antara 400.000 hingga 700.000 migran yang berada di puluhan pusat penahanan Libya.

Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mengatakan, lebih dari 423.000 migran berada di penangkaran di negara Afrika Utara itu.

Seperti Yohanes yang berumur 24 tahun. Dia datang dari Ghana hampir dua tahun yang lalu. Dia ingin menyeberangi laut untuk mencapai Eropa.

Dia ditangkap oleh penjaga pantai Libya. Dia telah dipindahkan ke tiga penjara yang berbeda.

“Setelah mereka menangkap saya, mereka membawa saya ke sebuah penjara di Tripoli. Lalu pada suatu malam sekelompok anak laki-laki bersenjata masuk. Mereka membawa saya dan 50 orang lainnya dengan paksa dan membawa kami ke sebuah gudang tempat kami tinggal selama berpekan-pekan. Mereka mengalahkan kami setiap hari, kami tidak memiliki cukup air atau makanan. Jika Anda telah melihat tubuh saya, Anda tidak akan mengenali saya, saya adalah kerangka. Orang-orang Libya tidak menganggap kami sebagai manusia, mereka menganggap kami sebagai objek. Hidup kami tidak masuk hitungan, orang kulit hitam hanya dihitung ketika mereka harus dijual atau memerangi kami. Sekarang kami di sini dan siapa pun bisa masuk, membawa kami pergi dan meminta uang kepada keluarga kami untuk membebaskan kami,” ujar Yohanes mengisahkan nasibnya kepada jurnalis Francesca Mannocchi.

Yohanes mengungkapkan bahwa migran pria dijual seharga 2.000 dinar, wanita 3.000 dinar, dan wanita hamil sampai 4.000 dinar.

Sehari-hari Yohanes mengalami kekerasan sampai keluarganya mengirim uang US$ 1.500 ke milisi yang menculiknya. Karena keluarganya membayar uang tebusan, dia kini tinggal di sebuah kota kumuh di timur Tripoli.

Belum lagi menyeberangi Laut Mediterania, para migran sudah diciduk oleh jaringan pedagang manusia. Mereka ditahan, dijadikan budak, disiksa, wanita diperkosa dan dipaksa melacur, hingga keluarga di Tanah Air mengirim uang tebusan. Jika tidak, dibunuh adalah keputusan akhir penyandera lalu para migran dikubur tanpa batu nisan.

Seorang migran asal Senegal bercerita kepada IOM. Ia ditahan di sebuah rumah pribadi di Sabha bersama sekitar 100 orang lainnya. Mereka dipukuli dan dipaksa menelepon keluarga mereka untuk mengatur uang tebusan agar dibebaskan. Migran yang tidak disebutkan namanya itu kemudian dibeli oleh seorang warga Libya lainnya. Pembeli lalu menetapkan harga baru untuk pembebasannya.

Mereka yang tidak dapat membayar penculiknya dikabarkan terbunuh atau dibiarkan mati kelaparan. Saat migran meninggal atau dilepaskan, yang lain dibeli untuk menggantikannya.

Bagi mereka yang memiliki nasib lebih beruntung sehingga mendapat perahu untuk menyeberang ke Eropa, rintangan berat dan berbau maut belum berakhir. (A/RI-1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Comments: 1