Jakarta, 15 Sya’ban 1436/2 Juni 2015 (MINA) – Muslim di Myanmar mengalami pembersihan etnis secara licik dengan mencabut kewarganegaraannya, menurut Direktur Radio Silaturahim Drs. Ichsan Thalib.
Pada tanggal 16-28 Februari 2015, Pengurus Al-Irsyad Al-Islamia Bidang Ekonomi ini ikut serta dalam rombongan lembaga medis kemanusiaan MER-C (Medical Emergency Rescue Committee) mengunjungi kamp-kamp pengungsi di Sittwe, negara bagian Rakhine.
“Soal pembersihan etnis, ini sangat licik, karena dikunci dari akar masalah, yaitu kebangsaan. Itu berarti, seluruh orang (Muslim) tidak bisa mendapatkan kewarganegaraan Myanmar,” kata Ichsan kepada Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA) dalam wawancara khusus di kantornya, Cibubur, Jakarta, Selasa (2/6).
“Ada pemutusan generasi. Ada yang ayahnya memiliki KTP warga negara, tapi anaknya tidak diakui sebagai warga Myanmar,” katanya.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Berikut ini paparan lengkap wawancara khusus dengan Ichsan Thalib:
MINA : Apa yang mendorong Bapak ikut bersama MER-C mengunjungi Myanmar, khususnya negara bagian Rakhine?
Ichsan Thalib : Yang kita lakukan di sana adalah melihat dengan mata kepala sendiri, apa yang terjadi di negara bagian Rakhine, Myanmar, suatu area yang cukup luas, tapi cukup prihatin karena termasuk area yang miskin di lingkungan Burma (Myanmar), negara yang sedang bergeliat terhadap kemajuan teknologi di tiga tahun terakhir.
Kita pergi dari Yangon setelah diterima oleh Duta Besar dan stafnya. Kita juga didampingi oleh satu staf kedutaan ke Sittwe. Ini bisa terjadi setelah hampir dua tahun MER-C mengajukan satu permohonan untuk bisa mengunjungi area itu. Kita diterima oleh Palang Merah Myanmar dan seperti dinas kesehatan di kota Sittwe, termasuk pimpinan wilayah Sittwe yang seorang militer.
Kita mengunjungi lebih delapan tempat kamp penampungan yang cukup besar yang Budha dan Muslim.
MINA : Bagaimana kehidupan di dalam kamp-kamp itu?
Ichsan Thalib : Di semua kamp, kita lihat kehidupan sudah berjalan. Hanya ada satu masalah, yaitu pekerjaan bagi para pengungsi tersebut. Masalah bahwa mereka tidak bisa kembali ke kampung-kampung mereka, belum terselesaikan.
Sebenarnya masalah di Myanmar, bukan hanya bagi saudara-saudara kita Rohingya (di Rakhine), tetapi terjadi terhadap seluruh orang Muslim di Myanmar.
Baca Juga: Wawancara Ekskusif Prof Abdul Fattah El Awaisi (2): Urgensi Rencana Strategis Bebaskan Baitul Maqdis
MINA : Bagaimana awal masalah menimpa Muslim secara umum di Myanmar?
Ichsan Thalib : Muslim di Myanmar, pada peristiwa Dragon King Project 1978, disuruh mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) mereka, pada saat itu tidak ada mesin fotocopy. Sepekan kemudian, ketika mereka kembali ke kantor pemerintahan, dikatakan kepada mereka, “Anda siapa?” orang yang menerima kartu sudah berbeda. Dan di situlah dilema itu mulai berlangsung bagi Muslim Myanmar.
MINA : Pendidikan Muslim tampaknya terbelakang di Myanmar?
Ichsan Thalib : Di Myanmar, seluruh orang Islam harus memiliki dua nama, nama Muslim dan nama Myanmar. Yang jadi masalah adalah kewarganegaraannya, dicabut dari orang Muslim dan keturunannya. Kadang sebagian bisa sekolah, tapi tidak bisa mendapat ijazah, sehingga mereka tidak dapat melanjutkan ke luar negeri. Mereka tidak memiliki legalitas untuk sekolah ke luar negeri. Hampir sebagian besar Muslimin di sana diperlakukan seperti itu. Inilah yang sedang diperjuangkan oleh aktivis-aktivis Muslim di sana, termasuk di parlemen.
Baca Juga: Fenomana Gelombang Panas, Ini Pendapat Aktivis Lingkungan Dr. Sharifah Mazlina
Perjuangan mereka menjadi isu yang eksotis tahun ini karena mereka akan pemilu. Itu menjadi isu-isu yang penting. Ditambah pula dengan biksu-biksu yang keras.
MINA : Bagaimana umat Budha di sana?
Ichsan Thalib : Agak unik sebenarnya. Harusnya Budha mengajarkan kasih sayang dan lembut, tapi kenapa sepertinya di Budha ada satu tangan yang men-setting ini. Tapi di dalam masyarakat Budha, ada juga yang moderat yang tidak setuju dnegan cara-cara militer ini.
Ini seperti pergulatan eksistensi mencari jati diri sebuah negara.
Masalah ini bukan hanya menimpa Muslim di Rakhine, tapi juga seluruh Muslim di sana. Muslim di sana sekitar 10 persen (5 jutaan), sedangkan Muslim Rohingya sekitar satu jutaan dan penduduk di Myanmar sekitar 51 jutaan.
Di kota Yangon, Muslim bisa berkembang. Jamaah Tabligh bisa berkembang di sana, bahkan Kedutaan Indonesia berencana membangun masjid yang baru di dalam kedutaan.
MINA : Kenapa Muslim di Rakhine sangat menderita dibanding Muslim Myanmar di negara bagian lainnya?
Ichsan Thalib : Kalau di Rakhine menjadi dilema, karena sejarah yang panjang sekali. Ada pergolakan pemikiran.
Baca Juga: HNW: Amanat Konstitusi! Indonesia Sejak Awal Menolak Kehadiran Penjajah Israel
Sepertinya orang-orang Muslim oleh ulama-ulama di dalam kamp tidak dididik untuk bicara bahasa Burma, mereka hanya dididik untuk berbicara Urdu dan Bengali. Ini juga menjadi problem nasionalisme yang ada dalam pola pendidikan saudara-saudara kita yang Muslim. Menyangkut eksistensi, jika dia orang Myanmar, tinggal ditanya, “Apakah dia bisa berbahasa Myanmar (Burma)?” Padahal itu memang pola pendidikan internal orang-orang Muslim.
Belum lagi melihat aktivitas mereka tinggi, sementara di pihak Budha, terutama Budha yang taat, mereka tidak beranak, karena mereka biksu.
Muslim kita ini kerjanya sangat giat, menyebabkan mereka menjadi kelas menengah yang terus menanjak, di sini ada kecemburuan sosial.
Di dalam kamp yang begitu luas mereka buat pasar dan aktivitas ekonomi itu jalan. Ada motor baru dan segala macam.
Baca Juga: Basarnas: Gempa, Jangan Panik, Berikut Langkah Antisipasinya
MINA : Jadi tidak seperti gambaran kamp yang penghuninya hanya diam menunggu bantuan?
Ichsan Thalib : Tidak. Mereka diberi makan oleh UNHCR dan beberapa negara setiap bulan, seperti beras dan bahan pokok sehari-hari, namun mungkin sebagian mereka jual lagi, karena mereka juga butuh uang untuk lauk pauk.
Hidup di kamp, statusnya seperti digantung. Sebagian warga mengatakan, jika mau keluar dari kamp, mereka harus bayar mahal. Jika sakit, ada ambulans yang siap membawa. Di sana ada sistem.
Di kamp ada klinik, ada sekolah, tapi cuma sampai SD. Anak-anak tidak bisa melanjutkan. Jangankan di kamp, di Yangon saja yang sudah lulus sulit untuk mendapatkan ijazah
Baca Juga: Basarnas Siapkan Sumber Daya yang Siap dan Sigap
Kamp yang cukup besar di sana memang ditutup dengan pembatas. Mereka tidak bisa sembarangan keluar. Seperti itu sekarang kehidupan yang terjadi di kamp.
Sejak nasionalisasi besar-besaran, sangat merugikan umat Islam. Aset mereka disita oleh pemerintah. Muslim harus bekerja dari nol lagi. Namun sebagian Muslim di sana memang pekerja keras. Perdagangan menjadi andalan mereka, termasuk nelayan.
Dekat negara bagian Rakhine, ada sebuah pulau yang merupakan tempat China Oil. Pulau Kyaukpyu awalnya dihuni oleh mayoritas Muslim, tapi sekarang dikosongkan, karena memang ada pengolahan minyak. Ada masalah bisnis di sana, sehingga ada pembersihan terhadap orang di pulau itu.
Kita juga dapat laporan dari para pengungsi, di sana itu luar biasa pembersihan etnisnya. Kita tidak bisa melihat langsung ke sana, karena pihak militer sangat ketat menjaga.
MINA : Isi pembersihan etnis seperti apa yang sebenarnya terjadi?
Ichsan Thalib : Soal pembersihan etnis, ini sangat licik, karena dikunci dari akar masalah, yaitu kebangsaan. Itu berarti, seluruh orang (Muslim) tidak bisa mendapatkan kewarganegaraan. Kejadian itu bukan hanya bagi orang Rohingya, mungkin yang paling terpukul, karena keadaannya, apalagi itu adalah area yang sangat sensitif.
Ada konflik budaya. Ini kan awalnya konflik yang sedikit kemudian dibesarkan. Berawal dari pemerkosaan yang disikapi dengan luar biasa.
Di dalam kamp sendiri jika ada masalah, habis mereka. Jadi sangat refresif. Mereka sangat menjaga agar tidak menimbulkan masalah.
MINA : Berarti, meskipun ada pembantaian yang terjadi, mereka tidak akan cerita?
Ichsan Thalib : Iya. Mereka akan tutup mulut untuk itu.
Kita melihat masalah ini berawal dari King Project 1978. Settingan itu terjadi hingga sekarang, militer membatasi.
MINA : Di Rakhine, adakah Muslim Rohingya yang hidup di luar kamp?
Ichsan Thalib : Ada. Muslim Rohingya yang bisa bahasa Burma, yang bisa berkomunikasi, atau lebih sekuler, ada yang hidup seperti biasa di luar kamp. Tetapi yang dari kamp kebanyakan yang berasal dari gunung, dari tempat-tempat yang konflik itu.
Di sana sangat sensitif. Isu-isu yang menyinggung umat Budha, seperti ada yang “menggoreng”.
MINA : Apakah mereka begitu berharap dari peran dunia internasional?
Ichsan Thalib : Tekanan dunia internasional sudah terasa, tapi memang Indonesia sebagai negara ASEAN, harus lebih bisa menekan. Mereka sangat menunggu sekali peran Indonesia, tapi memang pemerintah kita tidak bisa maksimal.
Kita sudah buat diplomasi dua unit sekolah di Rakhine dan MER-C pun berencana membuat dua klinik di sana. Waktu kunjungan kami mengadakan satu ambulans untuk masyarakat Rakhine.
Yang membuat repot, kita tidak bisa membantu hanya orang Muslim, kita juga diharuskan bantu orang Budha. Jadi tidak bisa OKI hanya membantu orang Muslim Myanmar, pemerintah Myanmar tidak bisa terima. Kita diwajibkan membantu kedua belah pihak (Muslim dan Budha) walaupun kuotanya Muslim lebih banyak.
Penjagaan ketat pasti ada. Meski dikatakan sudah bukan sistem militer, tetapi pelaksana-pelaksananya tetap bekas militer.
MINA : Bagi Muslim Myanmar di ibukota atau kota lainnya, apakah mereka bisa berbuat banyak?
Ichsan Thalib : Di parlemen juga terjadi pergolakan, ini menjadi isu politik. Namun, Muslim Myanmar yang terdiri dari lima etnis, memiliki masalah masing-masing.
Mereka (Muslim di politik) ada yang membantu, tapi ada juga yang memilih berpakaian seperti biksu, dengan maksud agar mereka mudah diterima. Beberapa tokoh Muslim tidak memelihara jenggot atau kumis dengan maksud bisa lebih mudah berdialog dengan rekan-rekan mereka di parlemen dalam perjuangannya. Kecuali saudara-saudara kita yang dari Jamaah Tabligh yang tetap eksis dengan pakaian khasnya dan masuk ke berbagai kalangan.
Yahudi juga ada di sana, kita temukan komunitas Yahudi di Yangon dengan segala kegiatan mereka.
Beberapa LSM dari Indonesia juga terus membantu melalui Yangon, tetapi tidak melalui jalur resmi untuk masuk ke sana.
MINA : Dari cerita beberapa pengungsi yang terdampar di Aceh, memang ada pembantaian, tetapi ada yang terjadi sebelum 2012, bagaimana pandangan Bapak?
Ichsan Thalib : Setelah 2012, memang tidak terdengar lagi adanya pembantaian, itu yang kami dapati di sana. Jika perkelahian di kamp ada, baik antara sesama Muslim atau antara Muslim dan Budha. Di dalam kamp itu kan ada petugasnya (Budha), sedangkan dalam satu kamp itu ribuan orang jumlahnya.
MINA : Jadi apa yang sedang mereka perjuangkan?
Ichsan Thalib : Kewarganegaraan, karena itu yang menjadi masalah, sangat runyam di sana. Negeri ini didirikan oleh Muslim juga, yaitu U Rashid dari India bersama Aung San, ayah Aung San Suu Kyi pada tahun 1947. Peran U Rashid sangan besar dalam hal ini.
Kewarganegaraan lima etnis Muslim di Myanmar, itulah yang sedang diperjuangkan oleh para aktivis HAM. Yang mereka prioritaskan adalah kewarganegaraan. Adapun pembantaian sudah lama terjadi.
MINA : Lalu apa penyebab pengungsian besar-besaran yang sedang terjadi belakangan ini?
Ichsan Thalib : Pengungsian besar-besaran ini juga karena tidak adanya kewarganegaraan. Kerusuhan 2012, membuat Muslim jadi terkonsentrasi dan turun gunung, terutama di Sittwe. Banyak juga kamp-kamp yang di gunung yang tidak sempat kita kunjungi.
Pemerintah Myanmar dan masyarakat sepertinya sangat ketakutan dengan Islam. Mereka sangat jaga ini dan militeristik sangat kuat.
Yang perlu kita selesaikan adalah akar masalah ini, yaitu Muslim Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan. (L/P001/P2)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)