Oleh: Rifa Berliana Arifin, Jurnalis Kantor Berita MINA
Militer Myanmar yang dikenal dengan Tatmadhaw telah menahan pemimpin partai Liga Nasional Demokrasi (NLD) yakni Aung San Suu Kyi, dengan tuduhan melakukan kecurangan dalam pemilihan umum tahun lalu yang dimenangkan NLD. Militer juga menyatakan Myanmar berada dalam status darurat selama setahun.
Kudeta yang dilakukan Tatmadaw terhadap Suu Kyi adalah sesuatu yang klasik, sebab utamanya adalah soal kekuasaan.
Meski Myanmar saat ini menganut sistem demokrasi, demokrasi itu yang sebenarnya di-create oleh Tatmadaw dengan tujuan memelihara kekuasaan.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Tatmadaw telah menguasai Myanmar sejak tahun 1962 paska Jendral Ne Win mengkudeta Presiden Win Maung. Saat itu Amerika Serikat sedang sibuk-dalam Perang Vietnam, tidak ada kesempatan untuk ‘membentuk’ Myanmar yang lebih demokratis. Saat itu nama Myanmar dikenal dengan sebutan Burma.
Masuk pada era tahun 1988 terjadi demontrasi sangat besar dipimpin Aung San Suu Kyi dengan partai barunya NLD sehingga membuat Myanmar menarik perhatian dunia.
Aun San Suu Kyi adalah anak Aung San Bapak kemerdekaan Myanmar. Mayoritas masyarakat Myanmar mengganggap Aung San sebagai pahlawan sehingga wajar jika Aun San berada dalam hari mereka. Tatmadaw melihat ini sebagai ancaman serius, terlebih pada Suu Kyi yang merupakan anaknya Aun San.
Tahun 1990 digelar pemilihan presiden, Tatmadaw setuju dan optimis partainya yakni Partai Persatuan Nasional dapat memenangkan pemilihan raya berbanding Partai Suu Kyi, tapi Partai NLD justru menang dengan jumlah kursi yang cukup banyak, Tatmadaw tidak menerima hasil keputusan. Suu Kyi ditahan sebagai tahanan rumah.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Blok Barat sangat bersimpati pada Suu Kyi dan menjadikannya sebagai pilar demokrasi Myanmar, maka tidak heran jika Suu Kyi dihadiahi Nobel Peace Price tahun 1991.
Sepanjang tahun itu, Myanmar dikenakan berbagai sanksi ekonomi oleh Barat sekaligus mendesak Tatmadaw supaya membebaskan Suu Kyi.
Menghadapi situasi ini pada tahun 2008 Myanmar mengadakani referendum, tapi Perdana Menteri (PM) Myanmar Jenderal Thein Sein menegaskan bahwa referendum konstitusi baru tidak menguntungkan militer.
Sein mengatakan, konstitusi baru itu sebagai bentuk hukum dasar yang menjadi fondasi untuk mendirikan negara demokrasi baru bagi rakyat Myanmar selamanya.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Pihak militer mengatakan, konstitusi baru itu akan membuka jalan menuju negara demokrasi dengan pelaksanaan pemilu pada 2010. Meski ada konstitusi baru, Aung San Suu Kyi tidak akan bisa mengikuti pemilu itu karena dilarang militer.
Kyi dan partainya menolak konstitusi baru itu. Konstitusi baru itu mengatur kursi parlemen sebanyak 25% yang akan dikuasai militer tanpa melalui pemilu.
Di dalam konstitusi itu, militer diizinkan untuk mendeklarasikan negara dalam keadaan bahaya dan langsung mengambil alih kekuasaan. NLD menyarankan agar rakyat Myanmar menolak konstitusi baru itu.
Apa yang diusulkan militer Myanmar dalam referendumnya memiliki kesamaan dengan Indonesia. Sejak zaman Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno, ada anggota TNI dan Polri yang diangkat sebagai anggota lembaga-lembaga perwakilan rakyat. Demikian juga di masa Orde Baru ada anggota-anggota TNI dan Polrri yang diangkat sebagai anggota lembaga perwakilan rakyat tanpa melalui pemilihan umum. Lalu di masa setelah lengsernya Presiden Soeharto memasuki Masa Reformasi, sebanyak 38 dari 500 kursi MPR harus diberikan kepada tentara dan polisi, tapi ketentuan itu dicabut tahun 2004. Menjadikan Indonesia menjadi negara demokrasi seutuhnya. Seluruh wakil rakyat dipilih melalui pemilu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Kembali ke referendum Myanmar tahun 2008 juga menetapkan siapa pun yang menikah dengan orang asing tidak dapat menduduki kursi presiden. Kebijakan itu sejatinya adalah untuk menghalangi Suu Kyi yang menikah dengan Michael Aris, warga negara Inggris.
Masuk tahun 2010, pemilihan presiden digelar. Partai NLD memilih tidak ikut .serta sehingga Partai Union and Solidarity Development Party (USDP) yang merupakan proxy Tatmadaw berhasil memenangkan 388 dari 498 kursi yang diperebutkan. Thein Sein yang merupakan mantan Perdana Menteri dalam pemerintahan militer diangkat sebagai kepala pemerintahan.
Masuk tahun 2015, pemilihan presiden kembali digelar dan partai NLD mengalahkan partai USDP dengan jumlah kursi 390 dari 498 kursi. Meskipun Suu Kyi tidak bisa menjadi presiden, tapi parlemen yang dikendalikan partai NLD mengeluarkan undang-undang yang membuat jabatan khusus yang disebut Penasihat Negara yang tidak lain adalah untuk memposisikan Suu Kyi, tapi hanya sebagai lambang, tak punya kekuasaan dan wewenang.
Jabatan yang hanya menempatkan Suu Kyi menjadi kepala pemerintahan ‘de facto’, karena yang menjabat sebagai presiden Win Hyit adalah dari partainya sendiri.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Tidak lantas diam, Tatmadaw melakukan strategi memperbesar pengaruh dan kekuasaan, dengan menggunakan isu sentimen anti-Rohingya, pada tahun 2016. Mayoritas bangsa Myanmar yang Budha tidak menyukai minoritas Rohingya yang Islam dan dianggap ras asing sehingga tidak diberi kewarganegaraan.Tatmadaw melakukan agresi militer terhadap kaum Rohingya di Rakhine. Ratusan ribu memilih melarikan diri jadi pengungsi ke luar negeri. Tujuan Tatmadaw berhasil. Merebut simpati mayoritas rakyat Myanmar dan membuat pemerintahan Suu Kyi dan partai NLD berada dalam tekanan dunia internasional yang sangat teruk. Membahana pula seruan agar Hadiah Nobel Perdamaian-nya Suu-Kyi dicabut.
Tatmadaw paham bahwa Suu Kyi adalah simbol demokrasi dan pro Barat yang tentunya akan berpihak pada Rohingya dengan alasan dan semboyan Hak Asasi Manusia. Jika ini berhasil tentu Suu Kyi akan kehilangan simpati warga Myanmar dan sangat kecil kemungkinan lolos pada pemilu berikutnya, mayoritas masyarakat Myanmar tidak menyukai warga Rohingya.
Akan tetapi yang mengejutkan adalah ternyata Suu Kyi memilih diam dan memahami strategi Tatmadaw yang menyulut propaganda Rohingya. Suu Kyi ‘mendukung’ tindakan Tatmadaw yang mengagresi warga Rohingya. Ia sanggup menerima hujatan dan kecaman dunia internasional atas sikapnya itu.
Tatmadaw gigit jari. Strateginya menghadapi Suu Kyi tidak berhasil. Jika terus begitu kemungkinan mereka akan terpinggirkan secara politik di Myanmar semakin besar.
Baca Juga: Kota New Delhi Diselimuti Asap Beracun, Sekolah Diliburkan
Maka terakhir dibuat-buatlah isu kecurangan pemilu presiden 2020 lalu sebagai alasan baru untuk menggoyang pemerintahan Suu Kyi yang menenangkan pemilihan. Suu Kyi dan Win Myint ditahan dengan tuduhan melakukan kecurangan dalam pemilu.
Isu ini akan terus menarik diamati melihat bagaimana respon negara-negara besar di kawasan seperti Cina dan India yang bertetangga dengan Myanmar. Apalagi dengan lokasi strategisnya Myanmar, keduanya ingin bersahabat dengan Myanmar.
Banyak pengamat yang menghubungkan proxy Cina di Myanmar dengan Tatmadaw, dan India yang memiliki banyak kepentingan terutama pelabuhan dan infrastruktur di Myanmar.
Tinggal bagaimana blok Barat. Amerika Serikat di bawah Biden saat ini melihat simbol demokrasi sebagai hal yang mandatory bagi terwujudnya liberal order di dunia. Salah satu agenda utama Pemerintahan Partai Demokrat di Amerika Serikat, partainya Biden, selalu adalah penegakan Hak Asasi Manusia di seluruh dunia.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Myanmar bisa dijadikan barometer bagaimana Cina dan AS kembali memperebutkan dominasi di Asia Pasifik, terlebih AS di era Trump cenderung melalaikan Asia Pasifik; Terlalu konfrontatif dengan Cina dan melupakan peran sentral AS di kawasan. (A/RA-1/P1)
Miraj News Agency (MINA)
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat